Berita Banda Aceh
Terkait Logo Halal Terbaru, Ketua MPU Sebut Aceh Punya Kewenangan Khusus
“Setelah dilakukan audit yang wajib mengeluarkan sertifikat halal itu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ini yang...
Penulis: Mawaddatul Husna | Editor: Nurul Hayati
“Setelah dilakukan audit yang wajib mengeluarkan sertifikat halal itu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ini yang terjadi, Undang-Undang itu mengamanahkan adanya logo. Jadi logo yang baru disinilah terjadi permasalahan kita sekarang ini. Tapi untuk konteks Aceh, kita ada kewenangan khusus,” jelas Lem Faisal sapaan akrabnya.
Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk H Faisal Ali menjelaskan terkait alasan Aceh tak memakai logo halal terbaru, karena yang pertama Aceh mulai 1999 dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 yang diperkuatkan lagi dengan Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintah Aceh untuk memberikan kekhususan kepada Provinsi Aceh.
Termasuk kekhususan, dalam hal keterlibatan para ulama dalam pembangunan Aceh pada bidang keagamaan.
Berdasarkan kewenangan-kewenangan itu, dan Undang-Undang tersebut maka beberapa qanun yang mendelegasikan daripada Undang-Undang ini lahir di Aceh untuk penguatan-penguatan keterlibatan para ulama.
“Salah satu fungsi di ulama itu mengeluarkan fatwa hukum. Jadi fatwa itu baik tentang hukum-hukum yang sifatnya tentang ibadah, ideologi, akhlak dan akidah. Dan juga fatwa terkait kehalalan produk, apakah produk kuliner, obat-obatan, dan kosmetik. Kewenangan itu berdasarkan Qanun Nomor 8 Tahun 2016 adalah di MPU Aceh,” sebutnya dalam Wawancara Khusus dengan tema “Apa Alasan Aceh Tak Wajib Pakai Logo Halal Terbaru”, bersama News Manager Serambi Indonesia, Bukhari M Ali, Senin (14/3/2022).
Dikatakan Tgk Faisal Ali, MPU Aceh selama ini sudah melakukan audit kepada seluruh pengusaha-pengusaha yang memohon untuk diaudit dan sudah diberikan oleh pihaknya sertifikat halal dengan logo Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, yang logonya mirip dengan logo MUI Pusat.
Namun dalam perjalanan waktu, Negara Kesatuan Republik Indonesia melahirkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Sistem Jaminan Produk Halal. Dalam Undang-Undang itu, kriteria halal berdasarkan fatwa MUI, namun audit itu bisa dilakukan oleh bermacam lembaga, dan bisa dilakukan oleh NU, Muhammadiyah tapi pedoman audit itu tetap fatwa MUI.
Baca juga: Terkait Label Halal Baru Dari Kemenag, MUI: Lebih Kedepankan Seni Daripada Kata Halal Berbahasa Arab
“Setelah dilakukan audit yang wajib mengeluarkan sertifikat halal itu Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama. Ini yang terjadi, Undang-Undang itu mengamanahkan adanya logo. Jadi logo yang baru disinilah terjadi permasalahan kita sekarang ini. Tapi untuk konteks Aceh, kita ada kewenangan khusus,” jelas Lem Faisal sapaan akrabnya.
Ia melanjutkan, usaha kuliner, obat-obatan, kosmetik yang usahanya tidak beredar di luar Aceh, maka pelaku usaha masih bisa menggunakan logo aceh tidak harus menggunakan logo yang dikeluarkan oleh BPJPH tadi.
“Karena itu kita menggunakan kekhususan. Tapi bagi pengusaha yang ingin melebarkan sayapnya ke luar Aceh, tentunya mungkin mereka harus mengikuti ketentuan yang sifatnya nasional. Tapi untuk Aceh tidak perlu, tidak wajib karena kita punya ketentuan tersendiri selama MPU Aceh belum mengeluarkan logo yang baru, maka kita tetap menggunakan logo yang ada sekarang,” sebutnya.
Tgk Faisal Ali menyampaikan bagi produk dari luar Aceh yang beredar di Aceh, maka tetap berlaku logo badan yang ada di luar Aceh, termasuk luar negeri.
Seperti Malaysia, Singapura, Thailand yang masing-masing memiliki sertifikat halal tersendiri.
“Itu di juknis kita sudah mengakui lembaga-lembaga resmi pemerintah, jadi kita tidak perlu lagi melakukan audit. Cuma sekedar pengawasan saja, kalau memang mereka membuat usahanya di sini,” sebutnya. (*)
Baca juga: Logo Halal Terbaru tak Wajib di Aceh, Akademisi: Terkesan Mendegradasi Otoritas MUI