Peran Ulama Dayah Jaga Tradisi Keilmuan di Aceh, Prof Mujiburrahman: Dayah adalah Kampung Peradaban

Bahkan karya-karya para ulama di Aceh ini menjadi fondasi bagi eksistensi peradaban teks dan tradisi tulis di nusantara.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
Kiriman Teuku Zulkhairi
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Mujiburrahman MAg mengisi kegiatan Rapat Koordinasi Himpunan Dayah Aceh (HUDA) yang dilaksanakan di Hotel Grand Aceh Syariah Banda Aceh. 

Peran Ulama Dayah Jaga Tradisi Keilmuan di Aceh, Prof Mujiburrahman: Dayah adalah Kampung Peradaban

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Mujiburrahman MAg mengatakan bahwa para ulama di Aceh dari dulu terus terlibat dalam menjaga tradisi keilmuan di Aceh.

Bahkan karya-karya para ulama di Aceh ini menjadi fondasi bagi eksistensi peradaban teks dan tradisi tulis di nusantara.

Hal tersebut disampaikan Prof Mujiburrahman saat mengisi kegiatan Rapat Koordinasi Himpunan Dayah Aceh (HUDA), yang dilaksanakan di Hotel Grand Aceh Syariah Banda Aceh beberapa waktu lalu, sebagaimana siaran pers yang dikirimkan Dr Teuku Zulkhairi MA, Minggu (27/3/2022)

“Sejarah mencatat bahwa para ulama telah mewariskan budaya tulis dari masa ke masa. Tulisan- tulisan tangan  mereka telah tersebar dan dibaca serta diteliti secara meluas oleh berbagai kalangan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan international,” ujar akademisi yang akrab disapa Prof Mujib ini.

Baca juga: Alumni MUDI Pidie Jaya Kembali Serahkan Sumbangan Rp 50 Juta Untuk Pembangunan Dayah MUDI-II

Semua jejak intelektual masa lalu, kata Prof Mujib, terekam dalam bentuk naskah-naskah kuno tulisan tangan (manuskrip),  yang telah berubah menjadi benda cagar budaya bangsa Indonesia, karena usianya yang rata-rata lebih dari dua ratus tahun.

Dalam Konteks Aceh juga telah terjadi kesinambungan penulisan dan penyalinan karya-karya ulama dari masa ke masa.

Aktivitas ini, kata Prof Mujib, antara lain ditemukan di Zawiyah Tgk Chik Tanoh Abee, Aceh Besar.

“Bila memperhatikan  karya-karya yang terdapat di zawiyah ini didapatkan karya-karya abad  ke-17 M,  di antaranya adalah karya Abdurrauf al- Singkili, Nuruddin Ar-Raniry, Hamzah Fansury, dan Syamsuddin As-Sumatrani,”

“Kemudian dilanjutkan dengan abad ke 18 M, seperti karangan Faqih Jalaluddin. Sementara abad ke-19 M, dan 20 M dapat  dilihat karya para  pemimpin dayah ini Teungku Muhammad Ali serta Abu Dahlan,”

“Para pemimpin dayah ini terus memelihara dan menjaga tradisi penulisan dan penyalinan melalui tulisan tangan, “ kata Prof Mujib.

Baca juga: Guru Dayah di Aceh Barat di Training Ideologi Pancasila, Ini Kata Bupati dan Wakil Ketua MPR RI

Prof Mujib juga menjelaskan, bahwa kalangan ulama Aceh generasi awal secara umum  mendapat pendidikan di tingkal lokal, regional dan internasional, dengan memiliki akar keilmuan yang sama.

Sementara ulama dayah Aceh sebagai generasi penerus secara umum merupakan alumni lokal dan regional, dan sedikit sekali yang melanjutkan pendidikan ke luar negeri seperti Makkah, Madinah, Mesir dan lain-lain.

Secara umum, tambah Prof Mujib, para ulama di Aceh dewasa ini juga memiliki akal keilmuan yang sama, dimana mereka merupakan alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji Aceh Selatan.

Dayah yang terakhir itu, kata Prof Mujib, didirikan dan dipimpin oleh Teungku Syeikh Muhammad Muda Waly Al-Khalidy pada tahun 1917 hingga 1961.

“Syeikh Mudawaly merupakan ahli fiqh dan tasawuf yang sangat dihormati. Keberadaan Syeikh Mudawaly sebagai “bapak” ideologi menempatkan yang terakhir sebagai hadratus syeikh (maha guru).

“Sebagai hadratus syeikh maka ajaran, pemikiran dan tindakan-tindakannya menjadi rujukan utama para teungku dayah di Aceh, “ ujarnya menjelaskan.

Baca juga: Kisah Santri Yatim Dayah Raudhatul Huda, Antre Becak Barang ke Sekolah, dan Pulang Jalan Kaki

Memperhatikan bahwa dayah sebagai sebagai lembaga tafaqquh fi ddin yang fokus mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulm al-syar’iyyah), maka pada konteks inilah, dayah sebenarnya sangat mungkin menjadi pusat pengkajian setara research-university.

Mengutip referensi dari Mustafied dan kawan-kawan, Prof Mujib mengatakan bahwa dayah bukanlah semata institusi tingkat dasar dan menengah.

Namun juga tingkat tinggi, yang terlihat dalam potensi sumber daya, jaringan, khasanah, dan kelembagaan.

Literatur yang dikaji dayah, dalam semua disiplinnya, banyak yang diakui sebagai world-class.

Selain itu, Prof Mujib juga mengatakan bahwa dayah adalah kampung-peradaban yang menyimpan aneka pengetahuan, jejak masa lampau, potensi masa depan, yang tidak mungkin diabaikan dalam kerangka ke –Indonesia-an.

Dalam acara yang dihadiri peserta dari kalangan ulama dayah ini, selain Prof Mujiburrahman,  pemateri lainnya yaitu  Tgk H Muhamad Yusuf A Wahab yang merupakan Ketua Pengurus Besar (PB) HUDA dan Tgk H Faisal Ali yang merupakan Ketua Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (PW NU) Aceh. (ar)

AKSES DAN BACA BERITA DI GOOGLE NEWS 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved