Jurnalisme Warga

Seberapa Amankah Aceh Bagimu?

Selepas itu, beberapa santri diminta untuk menceritakan pengalaman rasa tidak aman yang pernah mereka alami di lingkungan kehidupan sehari-hari

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Seberapa Amankah Aceh Bagimu?
IST
AYU ‘ULYA, Tim R&D The Leader, melaporkan dari Meulaboh, Aceh Barat

OLEH AYU ‘ULYA, Tim R&D The Leader, melaporkan dari Meulaboh, Aceh Barat

“PERNAHKAH kamu merasa tidak aman?” tanya salah seorang anggota tim The Leader yang langsung diiyakan serempak oleh para santri Dayah Diniyah Darussalam, Aceh Barat.

Secara bergantian para santri menuturkan definisi dan harapan mereka terkait tema rasa aman di Aceh.

Selepas itu, beberapa santri diminta untuk menceritakan pengalaman rasa tidak aman yang pernah mereka alami di lingkungan kehidupan sehari-hari.

Ada kisah yang terkesan lucu, haru, hingga menggidikkan bulu roma.

Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf menghadiri Haul ke-1 Dayah Diniyah Darussalam di Desa Meunasah Buloh, Kaway XVI, Aceh Barat, Selasa (15/9). SERAMBI/RIZWAN
Muzakir Manaf menghadiri Haul ke-1 Dayah Diniyah Darussalam di Desa Meunasah Buloh, Kaway XVI, Aceh Barat. SERAMBI/RIZWAN ()

Diskusi tersebut berlangsung selepas isya, di malam nisfu Syakban pada pertengahan minggu ketiga bulan Maret 2022.

Dayah Diniyah Darussalam merupakan pesantren tradisional di Aceh Barat yang juga menerapkan konsep rumah aman bagi para penyintas tindak kekerasan.

Di bawah kepemimpinan Umi Hanisah Abdullah, dayah tersebut telah berdiri sejak l5 tahun silam.

Kini Dayah Diniyah Darussalam pun telah melebarkan sayap pendidikannya melalui dibukanya dua kelas pendidikan formal tingkat sekolah menengah dasar (SMP).

Baca juga: Twitter Buka Mode Keamanan Anti Pelecehan untuk Jutaan Pengguna di Sejumlah Negara Ini

Baca juga: Amankan Piala Dunia di Qatar, Turki Siap Kirim 3.250 Petugas Keamanan, 100 Orang Pasukan Khusus

Sejauh ini, terdapat 30 santri yang menetap di dayah dan sekitar 200-an santri yang ikut program pengajian setiap malamnya.

“Pesantren ini awalnya bertujuan untuk menaungi anakanak yatim piatu korban konflik dan tsunami.

Kemudian, merangkap fungsi sebagai rumah singgah sementara bagi perempuan dan anak yang mengalami kasus kekerasan,” papar Teungku Inong tersebut.

Teungku Inong merupakan sebutan untuk perempuan ulama di Aceh.

Kebanyakan mereka berprofesi sebagai pemimpin pesantren tradisional (dayah), pengajar Al-Qur'an dan hadis, hingga pendakwah, dan biasanya memiliki sejumlah jamaah.

Umi Hanisah sendiri mengutarakan, rumah aman yang dikelolanya itu hadir untuk melindungi dan menampung korban kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap anak di bawah umur, baik laki-laki maupun perempuan.

Dia menjelaskan bahwa rumah aman menaungi para korban agar merasa aman dan membantu mereka bangkit dari keterpurukan.

“Sedari kecil umi sudah berempati terhadap orangorang yang butuh pertolongan.

Jadi, ketika mendapati kasus kekerasan, terutama terhadap anak, langsung umi rujuk agar diamankan ke pesantren kita,” tutur ulama perempuan yang aktif di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh tersebut.

Menurut pengalaman pembinaan yang Umi Hanisah dan para guru di dayah lakukan, diperoleh fakta bahwa anakanak penyintas kekerasan tidak aman berada di rumah mereka, sebab kebanyakan pelaku merupakan orangorang terdekat.

Baca juga: Jemaah Umrah Harus Karantina 7 Hari Saat Pulang ke Tanah Air, Luhut: Buat Keamanan Kita Semua

Dia juga menyayangkan tindakan pengusiran yang dilakukan sebagian masyarakat terhadap anak-anak korban kekerasan seksual yang dilabeli sebagai aib karena dianggap berzina.

Hal seperti ini misalnya, terjadi di sebuah kecamatan di Pidie tahun lalu.

Seorang anak perempuan yang hamil akibat hubungan inses dengan adik kandungnya dan juga diperkosa oleh dua teman adiknya itu justru diusir dari kampung, karena dianggap sudah mengotori desa tempat tinggalnya.

Ulama perempuan yang sempat mengenyam pendidikan agama nyaris satu dekade di Dayah Darussalam Labuhanhaji ini menilai bahwa sejatinya kasus kekerasan di Aceh masih banyak yang terselubung, ibarat fenomena gunung es.

Baginya, pola kekerasan semakin meningkat dikarenakan semakin terkikisnya praktik akhlakul karimah.

Dia juga menambahkan, ketiadaan pengamalan ilmu pengetahuan dan hilanganya keteladanan di dalam keluarga, lingkungan masyarakat, dan pemerintahan ikut menjadi faktor pemicu meningkatnya kerusakan moral di Aceh.

“Anak-anak itu tidak paham, mengapa mereka yang dianggap berdosa? Yang sesungguhnya berdosa adalah kita—para aparat desa, pemimpin daerah, bahkan ulama—yang mengabaikan anak-anak ini.

Tidak peduli, bahkan mengusir korban kekerasan, itulah sebenarbenarnya dosa besar,” tegas Umi Hanisah.

Di samping pengayoman melalui rumah aman, Umi Hanisah juga memberikan saran pencegahan kasus kekerasan, terutama bagi perempuan.

Dia berpendapat bahwa penting bagi setiap pasangan muda yang ingin menuju ke jenjang pernikahan untuk mempersiapkan diri mereka secara matang.

Menurutnya, minimal ada tiga persiapan yang harus disadari oleh kedua calon mempelai agar kelak dapat terhindar dari potensi melakukan atau menerima perlakuan kekerasan.

Pertama, katanya, persiapan ilmu dan amalan bekeluarga serta membangun kesadaran untuk berpegang pada Allah semata.

Kedua, dia tambahkan, kedua calon mempelai harus memiliki keterampilan kerja dan kesiapan ekonomi.

Ketiga, sarannya, agar kedua calon mempelai melalui proses perkenalan yang cukup, tidak tergopoh-gopoh dalam memutuskan untuk menikah, tidak memaksakan pernikahan jika tidak cocok, dan diperbolehkan membuat perjanjian pranikah jika dibutuhkan.

“ Kekerasan dalam rumah tangga dapat dihindari jika kedua calon mempelai bisa saling terbuka, percaya, dan mengerti satu sama lain.

Pilihlah yang cocok, bukan sekadar yang terlihat alim,” pungkasnya.

Antologi rasa aman Kunjungan ke Dayah Diniyah Darussalam merupakan sekeping agenda dari banyaknya rangkaian acara bertemakan “Antologi Merasa Aman di Rumah Sendiri” yang sedang dijalankan oleh The Leader.

The Leader merupakan sebuah organisasi kepemudaan nonprofit di Banda Aceh.

Organisasi ini memiliki misi untuk meningkatkan kapasitas dan kapabelitas kaum muda, khususnya di Aceh.

“Buku Antologi Rasa Aman ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi kaum muda di Aceh untuk mengekspresikan diri mereka.

Kami berharap buku ini dapat menampung aspirasi dan kegelisahan mereka,” jelas Direktur The Leader, Khalida Zia.

Zia menilai bahwa penting untuk menampilkan perspektif anak muda Aceh dari beragam sisi.

Dia mengajak kaum muda di negeri 1.001 warung kopi ini untuk bersuara, mencurahkan pemikiran, perasaan, dan pengalaman mereka terkait rasa aman tanpa harus merasa tertekan.

“Karena Aceh seharusnya menjadi ruang aman bagi semua suku, etnis, agama, dan identitas hidup yang tinggal dan bertumbuh di wilayah penuh berkah ini,” jelasnya.

Mengusung hastag #Aku- BeraniCerita, program pelatihan ini akan dijalankan secara daring dari bulan Maret-Juni 2022.

Program ini ditujukan bagi anak muda berusia 12-30 tahun yang berdomisili di Aceh.

Untuk informasi lebih lengkap terkait program rasa aman dapat dipantau melalui media sosial The Leader di www.instagram.com/theleader_ id/ atau melalui link pendaftaran program bit.ly/akuberanicerita berikut.

Baca juga: Gubernur Nova dan Stafsus Presiden Bahas Dinamika Sosial Politik dan Keamanan Aceh

Baca juga: DPRA Terkejut, Tingginya Aktivitas Pelabuhan Malahayati, Minta Penjagaan Keamanan Ditingkatkan

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved