Opini
Uang, Agama dan Keadilan
Dua pernyataan tersebut menjadi pembuka sekaligus kunci memahami arah tulisan ini dihadirkan dalam ruang publik
Mungkin penalaran di atas agak bersifat ekstrem, namun demikian fenomena sedemikianlah yang sedang terjadi dalam aktivitas beragama dan bernegara hari ini.
Jumlah uang mampu menjalankan program beragama sesuai yang “direncanakan”, dengan jumlah uang pula praktik keadilan dapat bergeser, tajam ke bawah tumpul ke atas, sunat masa hukuman koruptor elite, tepat dalam menghukum koruptor pemula.
Uang seakan- akan menjadi instrumen pengatur ampuh dalam bernegara hari ini.
Dalam kehidupan sosial juga sedemikian, seorang yang memiliki banyak uang, kemungkinan akan banyak saudaranya, padahal dalam konsep keagamaan adalah setiap umat beragama adalah saudara kemanusiaan tanpa disekat seberapa banyak uangnya.
Hasrat atau ketergantungan manusia terhadap uang tampak semakin kuat dari pada hasrat ketergantungan seseorang dengan agamanya.
Artinya, apabila bergantung pada uang, kehidupan manusia dapat diukur secara realistis dan konkret.
Baca juga: Pencuri Kambing di Singkil Ini tak Perlu Mendekam di Penjara, Berkat Pendekatan Keadilan Restoratif
Apabila bergantung pada yang dijanjikan agama seolah-olah masih bersifat abstrak dan membutuhkan rentang waktu untuk diuji kesabarannya manusia.
Seiring meningkatnya kehidupan manusia yang instan, praktis dan berbanding lurus dengan kecanggihan inovasi teknologi yang semakin cepat, tantangan manusia dalam beragama semakin menantang.
Ketika manusia tidak memaknai agama (Islam) sebagai jalan keselamatan yang hakiki, maka kekeliruan pikir dan sikap terkait uang akan menjadikan manusia salah kaprah dalam beragama, sehingga uang dan agama dimaknai secara dikotomi atau bertentangan.
Demikian pula terkait posisi wujud nyata keadilan dalam bernegara.
Cita-cita proklamasi Indonesia mendasari terwujudnya negara yang mampu menciptakan adil dan makmur bagi rakyatnya.
Namun pada perjalanan waktu pascakemerdekaan, keadilan dan kemakmuran tampak tersandera dalam permainan jumlah uang dan manipulasi agama demi kekuasaan.
Yang semestinya keberadaan uang, agama dan keadilan dipadukan sebagai daya tekan untuk mendaulatkan rakyat di negerinya sendiri, justru yang terjadi saat ini adalah uang, agama dan keadilan mengalami benturan, tidak saling menuju pada upaya kesejahteraan rakyat oleh peran negara.
Adanya praksis yang menguat demi uang dapat mengobral agama, demi uang memanipulasi keadilan, hingga seorang yang paling paham agama dan adil telah dapat disematkan pada orang yang mampu menghamburkan uang, mesti uang yang dihamburkan tersebut berdampak pada daya lenting kesenjangan sosial.
Maka masa kini tidak perlu heran saat melihat adanya pihak-pihak yang berlindung pada nama besar agama demi mendapat kenikmatan uang tanpa peduli terhadap sikap bijaksana.