Sosok Amina Wadud, Wanita Pertama Pimpin Shalat Jumat di AS dan Inggris, Lahir di Keluarga Pendeta

Saat usianya menginjak 19, di tahun kedua perkuliahan, pada 1972, amina mengucap dua kalimat syahadat di sebuah masjid tidak jauh dari rumah kedua ora

Editor: Faisal Zamzami
ADRIAN DENNIS
Profesor AS amina wadud (kanan) bersiap untuk berlutut di depan jemaah saat memimpin shalat Jumat untuk pria dan wanita di Oxford Center di Oxford, di Inggris selatan, pada 17 Oktober 2008. (ADRIAN DENNIS) 

"Saya meletakan meja setelah pintu masuk agar ada aliran energi sesuai feng shui," ungkap dia.

Keterbukaan amina akan keberagaman ritual dan agama tercermin sejak ia beranjak dewasa.

Ia lahir di sebuah keluarga pendeta Kristen Methodist di negara bagian Maryland, Amerika Serikat.

Meski demikian, sebelum masuk Islam, amina memeluk dan mempraktikan agama Buddha.

"Bapak saya membesarkan saya dengan kasih sayang," kata amina kepada BBC.

"Jadi saya tidak pernah memiliki pengalaman buruk yang membuat saya merasa perlu mencari alternatif (agama) lain. Tapi saya memang memiliki ketertarikan kuat terhadap keragaman agama," lanjut amina.

Agama keadilan di tengah ketidakadilan

Amina Wadud, seorang profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University
Amina Wadud (depan berlutut), seorang profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University, memimpin pria dan wanita dalam shalat di Synod House di Katedral St. John the Divine di New York, Jumat (18/3/2005). Tindakannya, yang menuai kritik tajam dari para pemimpin agama Muslim di Timur Tengah, berharap dapat menyoroti status kelas dua perempuan dalam kehidupan Muslim. (DON EMMERT)

Saat usianya menginjak 19, di tahun kedua perkuliahan, pada 1972, amina mengucap dua kalimat syahadat di sebuah masjid tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya di Washington, DC.

Pergerakan hak warga sipil keturunan Afrika di Amerika kental mewarnai latar belakang kehidupan amina kala itu.

"Di dalam komunitas warga Amerika keturunan Afrika, terdapat pemahaman Islam sebagai alternatif dari model agama Kristen, yang ada saat itu yang instrumental dalam perbudakan warga keturunan Afrika," kata amina.

Menurut amina, komunitas Amerika keturunan Afrika melihat Islam sebagai agama keadilan di tengah ketidakadilan berdasarkan warna kulit yang mereka alami saat itu.

Namun amina juga tidak menampik bahwa diskriminasi dan rasisme tidak berhenti begitu saja setelah ia memeluk Islam.

"Kita, dalam berbagai hal, naif terhadap kenyataan bahwa meski tidak ada justifikasi dalam Islam untuk rasisme, tapi tetap saja ada rasisme di dalam komunitas Muslim," lanjut amina.

Data PEW Reserch Center tahun 2019 menunjukan bahwa warga keturunan Afrika jumlahnya seperlima dari total umat Muslim di Amerika.

Sekitar separuhnya adalah mualaf.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved