Kupi Beungoh
Catatan Perjalanan Ramadhan - Ketika Iftar Berdampingan dengan Anggur Merah dan Bir
Saya bertanya, apakah makanan enak tadi, itu makanan Turki asli Ia tertawa besar. “No”, itu sebagiannya adalah makanan Kurdi katanya
Itu adalah kawasan Fatih, sebuah kawasan paling tua yang dahulunya menjadi pusat kegiatan pemerintahan Romawi Byzantium, yang kemudian dilanjutkan dengan pemerintahan Ottoman.
Ketika kami mencari makan malam, setelah berbuka di taman Sultan Ahmad di seputar Masjid Hagia Sophia dan Masjid Biru kami menemukan ada sebuah keadaan yang unik.
Jalan relatif sepi, azan Isya berkumandang bersahut-sahutan antar masjid kecil yang berdekatan.
Orang-orang pada berlalu lalang, campuran antara yang akan ke masjid untuk sembahyang Isya dan tarawih, para turis manca negara, dan warga lokal keluar rumah sekedar berbelanja makan malam, ataupun berbagai kegiatan lainnya.
Ketika kaki melangkah ada sebuah situasi yang menggambarkan sebuah perasaan saya- muslim biasa, yang melihat suasana kontradiktif, antara telinga dan mata.
Muazzin dengan suara merdu memanggil haiyaa’lassalah, dari sebuah masjid kecil khas Ottoman yang indah.
Hanya 50- atau 100 meter dari situ, cafe-cafe atau restoran yang berwarna warni sedang melayani tamu, yang sedang makan dipasangkan dengan anggur atau bir diiringi dengan musik klasik Turki yang unik.
Suara Oud- semacam gitar khas Timur Tengah, Qanun-alat musik dawai, mirip kecapi, ditambah dengan alat musik modern, klarinet, yang meliuk-liuk seolah mengiringi, atau seolah mungkin menandingi suara azan yang merdu.
Semakin azan melengking, semakin cepat sebagian ummat berjalan ke masjid.
Di sampingnya, semakin harum bau kebab yang sedang dibakar, dan semakin banyak pula gelas anggur atau bir yang sedang dibawa oleh pelayan kepada para tamunya.
Dalam hati saya bergumam, tak pernah ada tempat yang saya kunjungi seumur hidup di berbagai negara Islam yang menurut pandangan kasat mata, surga dan neraka berdampingan secara fisik, sangat berdekatan letaknya, seperti di Istanbul ini.
Kami terus berjalan, sekitar 500 meter, dan paling kurang ada dua masjid kecil yang kami lewati yang letaknya bersebelahan di sepanjang jalan kota.
Lengking azan semakin indah dan lembut memanggil ummat di tengah kota untuk bertemu Sang Khalik, dikelilingi oleh cafe, restoran, kedai cendera mata, kedai karpet turki yang aduhai, dan berbagai cabang perdagangan lain yang cukup beragam.
Akhirnya, kami tiba di sebuah restoran yang menunya diletakkan terpampang di luar berikut dengan harganya.
Anak saya yang perempuan, yang sudah pernah berkunjung ke Istanbul beberapa tahun yang lalu, segera mengutakatik androidnya.