Breaking News

Kupi Beungoh

Tradisi Mak Meugang di Aceh, Masak Sie Reboh: Jangan Sampai Kalap Bisa Picu Penyakit

Tradisi ini bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi sudah menjadi suatu keharusan bagi warga di Aceh khususnya yang apabila tidak dilakukan akan terasa

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/FOR SERAMBINEWS.COM
Ully Fitria SKM, mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. 

Oleh: Ully Fitria SKM*)

Mak meugang/uroe meugang (Bahasa Aceh) merupakan suatu tradisi yang diwariskan oleh orang tua terdahulu di Aceh, turun temurun sampai ke anak cucu hingga sekarang masih kita rayakan.

Tradisi tersebut yaitu dengan mengonsumsi daging sapi atau pun kerbau yang sudah dipotong, kemudian dagingnya dimasak.

Ini dilakukan tiga kali dalam setahun yaitu menjelang puasa Ramadhan, menjelang Idul Fitri dan Idul Adha.

Tradisi ini bukanlah suatu kewajiban, akan tetapi sudah menjadi suatu keharusan bagi warga di Aceh khususnya yang apabila tidak dilakukan akan terasa hambar karena tidak sah puasa dan lebaran rasanya tanpa merayakan mak meugang terlebih dahulu.

Sejarah mak meugang di Aceh

Mak meugang pertama sekali dimulai sejak masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, yang berkuasa pada masa1607-1636 di Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada saat itu, Sultan Iskandar Muda memerintahkan orang kepercayaannya untuk menyembelih hewan ternak baik sapi atau kerbau dalam jumlah yang sangat banyak, dagingnya dipotong-potong dan dibagi-bagikan kan bagi seluruh rakyatnya.

Terapi Shalat untuk Penderita Stroke

Rakyat sangat bergembira pada saat itu. Perayaan ini dimaksudkan sebagai ungkapan rasa syukur dari sang Sultan kepada Allah SWT atas Kemakmuran dan kesejahteraan yang mereka rasakan pada saat itu, dan sebagai ucapan terima kasih kepada seluruh rakyat Aceh yang selalu memberi dukungan kepada dirinya dalam hal memerintah kerajaan Aceh.

Prosesi meugang ini telah termaktub dalam Kitab Kuno (Qanun Al Asyi, Aceh Darussalam) yang berisi tata cara pelaksanaan meugang dengan terlebih dahulu mendata semua warganya terutama fakir miskin, anak yatim dan janda-janda, yang dilakukan sebulan menjelang puasa Ramadhan, data yang sudah diperoleh diverifikasi oleh lembaga kesultanan untuk kemudian dipilih siapa yang berhak menerima daging.

Pergeseran tata cara ak meugang masa Kini

Namun, seiring berjalannya waktu, tata cara pelaksanaan mak meugang mulai berubah, tidak sesuai lagi dengan yang sudah termaktub dalam kitab tersebut.

Sekarang ini, para pemimpin tidak lagi membagikan daging meugang untuk rakyat yang kurang mampu, walaupun kita lihat masih ada dalam suatu instansi misalnya membagikan daging meugang atau pun dalam bentuk uang dengan tujuan membelikan daging meugang untuk keluarganya.

Umumnya sekarang setiap pribadi membeli sendiri daging untuk dikonsumsi oleh keluarga masing-masing.

Ini memang sungguh berbeda jauh dengan tata cara zaman kesultanan dulu, tetapi nilai yang diperoleh masih sama.

Bulan Puasa Sebagai Momentum Latihan Berhenti Merokok

Di pedesaan sendiri Aceh, mereka memiliki suatu budaya pada saat meugang, mengumpulkan uang dalam satu kelompok dengan jumlah anggotanya sesuai dengan harga seekor sapi, membelikan seekor sapi, menyembelih bersama-sama dan dagingnya nanti setelah disembelih dibagi sesuai jumlah uang yang dikumpulkan tadi.

Nilai kebersamaan sangat terlihat di sini.

Mak meugang menjadi wadah silaturahmi

Tradisi mak meugang menjadi suatu wadah untuk dapat menjalin tali silaturahmi, karena semua warga Aceh yang sedang dalam perantauan umumnya mengupayakan diri untuk bisa mudik ke kampung halamannya supaya bisa merasakan masakan daging mak meugang dari ibu tercinta.

Dari yang jarang berjumpa dengan saudara dan tetangga karena ada momen mak meugang ini, orang-orang jadi bisa berkumpul untuk makan bersama menikmati daging meugang.

Di desa-desa di Aceh, biasanya setelah dimasak, daging meugang ini dibawa ke meunasah untuk disantap bersama sambil duduk bercerita menjalin kehangatan memupuk tali silaturahmi.

Daging mak meugang ini bisa dimasak dengan berbagai variasi menu tergantung wilayah dan adat istiadat setempat, umumnya sajian kuliner di kota Serambi Mekkah ini yang tidak pernah absen saat mak meugang adalah “sie reboh (Daging rebus)”.

Daging yang dimasak dengan menggunakan “cuka jok (cuka nira)” khas Aceh, ditambah campuran rempah-rempah tradisional Aceh, dimasak dengan “beulangong tanoh (kuali tanah liat)” yang menambah cita rasa dari sie reboh itu sendiri.

Uniknya, sie reboh ini bertahan sampai berbulan-bulan, konon masakan ini merupakan cara orang Aceh mengawetkan daging dengan cara kuali tanah liat tadi digantung di atas kompor kayu sebagai penyimpanan selayaknya kita memasukkan dalam lemari pendingin zaman sekarang.

Masakan sie roboh ini juga dijadikan sebagai “Peunajoh prang” (logistik perang) yang menjadi bekal orang Aceh saat berburu ke hutan dan juga banyak dibawa oleh warga Aceh saat melakukan perjalanan ke Tanah suci Mekkah saat melaksanakan ibadah haji karena itu tadi, bertahan lama tidak cepat basi.

Inilah yang membuat warga Aceh dalam perantauan selalu rindu kampung halaman saat tiba perayaan mak meugang.

Kalap konsumsi daging bisa picu penyakit

Daging mengandung lemak yang dibutuhkan oleh tubuh. Kendati demikian dalam mengonsumsinya harus dibatasi jangan kalap (berlebihan).

Sesuatu yang dikonsumsi dalam jumlah berlebihan tentunya akan berdampak negatif untuk tubuh.

Hal ini sejalan dengan ajaran Islam, “Makan saat lapar dan berhenti sebelum kenyang”. Dalam surat Al-A’raf ayat 31 juga disebutkan, “Wahai anak cucu adam! Pakailah pakaianmu yang bagus di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minum tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang berlebihan."

Mengonsumsi makanan dalam jumlah banyak memang memiliki kepuasan tersendiri, namun sayangnya tubuh tidak demikian, makan berlebihan justru akan membuat banyak masalah dalam tubuh.

Begitu pula makan daging berlebihan bisa berdampak negatif untuk tubuh.

Menyantap daging dalam jumlah banyak bisa memicu berbagai penyakit.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menyatakan bahwa orang yang kebanyakan makan daging, baik itu daging sapi, daging kambing, ayam dan unggas lainnya setidaknya memiliki risiko 30% lebih mudah terkena kanker.

Berdasarkan angka kecukupan gizi dari Kementerian Kesehatan RI kebutuhan protein bagi orang dewasa antara 55 -62 gram perhari (Berita Online, 28 Juli 2020).

Risiko terlalu banyak makan daging

Berbagai risiko yang ditimbulkan jika terlalau banyak menyantap daging antara lain: mengalami gangguan pencernaan karena daging tidak mengandung serat banyak sehingga membuat perut kembung, sembelit dan paling parah menyebabkan ambien (hemmorhoid).

Mengonsumsi daging berlebihan juga bisa memicu kolesterol, muncul gejala kesemutan, sakit tengkuk dan nyeri dada.

Penyakit jantung, radang paru -paru. Selain itu juga menyebabkan bau mulut karena tubuh terlalu banyak membakar lemak sehingga menghasilkan keton yang menjadi penyebab bau mulut, kenaikan berat badan dan kondisi paling parah adalah bisa memicu kanker usus besar.

Demikian bahaya banyak mengonsumsi daging sapi yang harus kita waspadai, silakan kita menyantap daging mak meugang sesuai selera kita, tetapi yang harus diingat adalah tetap dikontrol jumlahnya jangan kalap (berlebihan).

Untuk mengurangi resiko berbagai penyakit tersebut, maka penting juga untuk mengonsumsi makanan yang bervariasi, perbanyak makan buah-buahan, sayur-sayuran, makanan kaya serat dan perbanyak minum air putih. Dengan begitu, kondisi tubuh akan selalu terjaga dan siap merayakan hari raya bersama keluarga tercinta.

*) PENULIS adalah Mahasiswi Magister Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA ARTIKEL KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved