Berita Banda Aceh
Terkait Isu 4 Pulau Masuk Wilayah Sumut, Nurzahri Sebut Itu Keputusan Kemendagri Sepihak
Padahal sejak 2018 status ke empat pulau itu bersengket dan belum ada penyelesaian antara Pemerintah Sumatera Utara dan Aceh.
Penulis: Subur Dani | Editor: Mursal Ismail
Padahal sejak 2018 status ke empat pulau itu bersengket dan belum ada penyelesaian antara Pemerintah Sumatera Utara dan Aceh.
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri dianggap memutuskan secara sepihak terkait empat pulau di Aceh Singkil yang kini dinyatakan masuk wilayah Sumatera Utara (Sumut).
Padahal sejak 2018 status ke empat pulau itu bersengket dan belum ada penyelesaian antara Pemerintah Sumatera Utara dan Aceh.
Hal itu disampaikan Jubir Partai Aceh (PA) yang juga mantan Anggota DPRA, Nurzahri ST, MA saat menjadi narasumber dalam podcast Hurriah Foundation dan Serambi Indonesia, Sabtu (28/5/2022).
Podcast yang dipandu Tieya Andalusia itu juga menghadirkan Antropolog UIN Ar-Raniry, Dr Kamaruzzaman dan Dr Badri Hasan selaku peneliti hukum di Aceh.
“Pihak kemendagri dan Kementerian KKP menjanjikan akan mempertemukan Aceh dan Sumatera. Tapi itu nggak pernah terjadi.
Tiba-tiba saja Kemendagri memutuskan keputusan sepihak. Kenapa Aceh tidak pernah dilibatkan. Itu keputusan sepihak,” katanya.
Baca juga: Pemuda Aceh Tuntut Kepmendagri Dibatalkan, FPA Tegaskan 4 Pulau di Aceh Singkil Masuk Provinsi Aceh
Sebagaimana diketahui, empat pulau di Aceh Singkil yang diklaim masuk wilayah Sumatera Utara adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Keempat pulau itu berada di Kecamatan Singkil Utara, Kabupaten Aceh Singkil.
Dalam podcast tersebut, Nurzahri mencerita kronologis awal mula terjadi sengketa ke empat pulau tersebut.
Menurutnya, persoalan batas wilayah memang telah menjadi persoalan sejak masa silam.
“Ini isu sensitif dan jadi perhatian pihak Aceh dan pusat. Itu sebabnya salah satu klausul perjanjian damai juga disebutkan soal perbatasan,” kata dia.
Baca juga: 4 Pulau di Aceh Jadi Milik Sumut, Warga Aceh Singkil Terus Meradang, Dinilai Jatuhkan Marwah Aceh
Soal batas wilayah Aceh Sumatera Utara katanya, dulunya hanya ada peta manual yang dibuat oleh TNI. Namun batas wilayah kemudian menjadi persoalan, sehingga pada tahun 1988 dilakukan pertemuan pertama membicarakan hal itu.
“Bukan hanya Singkil tapi Tamiang dengan Langkat juga. Ada beberapa pertemuan tahun 1988, 1992, 2002, 2004, 2008, 2009, dan 2010 itu pertemuan yang melibatkan pemerintah Aceh dan Sumatera Utara,” katatanya.
Dalam semua pertemuan itu disepakati bahwa permasalahan wilayah Aceh dan Sumatera merujuk pada peta topografi yang dibuat TNI pada tahun 1978.
“Dan dalam peta itu ke empat pulau yang menjadi sengketa hari ini, dan juga di perbatasan Tamiang dan Langkat itu masuk ke Aceh,” katanya.
Lalu, pada tahun 2017 ada perintah pusat untuk semua provinsi di Indonesia membuat peta RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil).
Baca juga: Kapuspen Kemendagri Jelaskan Perjalanan Pembahasan 4 Pulau antara Aceh-Sumut
“Sumatera Utara sudah duluan buat, nah dalam peta yang dibuat itu mereka memasukkan keempat pulau tersebut ke dalam wilayah mereka.
Kita sendiri buatnya di 2019, jadi sama-sama memasukkan wilayah itu ke dalam peta kita masing-masing,” katanya.
Namun, setelah itu status pulau tersebut menjadi status sengketa. Sayangnya kata Nurzahri tidak ada penyelesaian antara kedua pihak yang bersengketa, Aceh dan Sumatera Utara.
“Harusnya jika merujuk ke undang-undang, penyelesaian sengketa di negara kita kan mempertemukan kedua pihak yang bersengketa, tapi ini tidak pernah.
Harusnya pusat kembalilah pada aturan yang ada,” katanya.
Secara sosiopolitik lanjut Nurzahri, terjadinya klaim keempat pulau itu kembali memunculkan kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pusat.
Selebih itu, ia khawatir akan terjadi konflik dan gesekan-gesekan terkait isu tersebut.
“Ini yang mungkin bisa jadi potensi konflik karena kondisi sosiopolitik Aceh mungkin sudah terlalu banyak dikecewakan pemerintah pusat.
Pemerintah kembali ke aturan yang dibuatnya sendiri minimal ke undang-undang penyelesaian konflik,” pungkasnya. (*)
