Jurnalisme Warga
Mencermati Keadilan Versi John Rawls
Bagi mereka yang telah selesai dari institusi pendidikan tinggi hukum, nama itu sudah pernah dibahas dalam teori-teori hukum dan keadilan

OLEH SITI RAHMAH, S.H., M.Kn., Mahasiswi Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), melaporkan dari Aceh Besar.
Menjelang akhir bulan Mei ini saya bertemu lagi dengan teman lama.
Selama bulan puasa Ramadhan lalu kami tak berjumpa.
Seperti biasa, kami diskusi soal ilmu pengetahuan, kali ini mengenai keadilan.
Jika beberapa bulan lalu kami diskusi tentang berbagai aliran hukum, utamanya positivisme, kali ini kami bicara tentang keadilan.
Tak hanya konsep keadilan secara umum, temanku itu juga bicara tentang keadilan versi John Rawls.
Siapa sebetulnya John Rawls? Nama Rawls, agaknya, tidak asing lagi bagi mahasiswa fakultas hukum.
Bagi mereka yang telah selesai dari institusi pendidikan tinggi hukum, nama itu sudah pernah dibahas dalam teori-teori hukum dan keadilan.
Apalagi bagi saya, mahasiswa program S3 bidang ilmu hukum, malu rasanya jika tak pernah mendengar atau membaca nama Rawls yang menulis “A Theory of Justice”.
Bicara mengenai konsep keadilan itu tak lepas dari ideal pemikiran hukum, yakni salah satu tujuan hukum.
Dalam kaitan ini saya coba cari tahu bagaimana latar belakang pribadi dan intelektual John Rawl.
Baca juga: Rintihan Keluarga Korban Pelecehan Seksual di Aceh Tengah: Kami Minta Keadilan
Baca juga: Curhat Bongkar Perselingkuhan Suami 7 Tahun Hingga Punya Anak, Polwan Suci: Bantu Aku Cari Keadilan
Saya mendapatkan salah satu buku terjemahan berjudul: John Rawls, His Life and Theory of Juctice, ditulis oleh Thomas Pongge.
Buku itu awalnya dalam versi bahasa Jerman, kemudian diterjemahkan Michelle Kosch ke dalam bahasa Inggris.
John (Jack) Bordley Rawls dilahirkan pada 21 Februari 1921, di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat.
Dia anak kedua dari lima bersaudara, pasangan William Lee dan Anna Abell Rawls.
Jhon Rawls kemudian biasa disapa Rawls.
Dia adalah sarjana, penulis, dan guru.
Dia memiliki intelektualitas yang tinggi, cara berpikirnya sistematis, dan ingatannya cukup baik.
Rawls sangat berkomitmen pada intelektualitas.
Ia acap kali bermain pada level pemikiran dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri yang menggugah nalar.
Rawls pada masa kecilnya melihat betapa rasa keadilan yang tampak dari pekerjaan ibunya.
Dia juga kemudian memulai refleksinya sendiri tentang masalah ras dan kelas dalam masyarakat.
Guru pertama Rawls dalam filsafat adalah Walter T.Stace, David Bowers, dan Norman Malcolm.
Pertemuan pertama antara Rawls dan Malcolm tidak menyenangkan.
Rawls, betapapun, adalah seorang ilmuwan Amerika Serikat yang dianggap sebagai filsuf politik terkemuka abad ke-20.
Rawls pernah memberi Malcolm sebuah esai filosofis yang menurutnya cukup bagus.
Malcolm selanjutnya menjadikan esai itu sebagai kritik yang sangat keras, dan meminta Rawls untuk "mengambilnya kembali" dan "memikirkan apa yang dilakukannya”.
Rawls memuji contoh pribadi Malcolm dengan memberikan pengaruh besar pada pengembangan caranya sendiri dalam berfilsafat.
Ini untuk menunjukkan, antara lain, setidaknya bagi Malcolm, dalam tradisi berilmu secara filosofis tidaklah konstruktif untuk memberi puja-puji, melainkan adalah kritikan.
Jadi, bagi John Rawls, dalam bukunya “A Theory of Justice”, ia nyatakan bahwa keadilan itu sesungguhnya adalah kebajikan (virtue).
Buku tersebut lebih populer dengan sebutan “TJ”, dan telah diterjemahkan setidaknya ke dalam 27 bahasa berbeda.
Buku yang diterbitkan oleh Belkap Press (Cambridge) ini telah dicetak kembali pada 1991 dengan beberapa penyempurnaan di dalamnya.
Saya diminta oleh teman saya untuk mencari buku tersebut, paling kurang edisi bahasa Inggris.
“Bagaimana mungkin mahasiswa program doktor, hari gene, masih membaca edisi terjemahan ke dalam bahasa Indonesia,” katanya dengan ekspresi sinis.
Jangan terkejut, teman saya ini memang begitu adanya.
Kadang kami suka bertengkar soal ilmu.
Dia memberikan tantangan kepadaku, jika sudah ketemu buku “A Theory of Justice”, baru kami akan melanjutkan diskusi.
Saya mencari TJ ke beberapa perpustakaan di lingkungan Kampus USK, tapi saya tidak menemukannya.
Mungkin bukunya sedang dipinjam.
Akhirnya, saya coba cari bukunya secara online.
Saya temukan buku dengan cover wajah John Rawls melalui latar warna putih, judulnya “A Theory of Justice”, dan di bawahnya tertulis Teori Keadilan, buku terjemahan lagi-lagi.
Harganya sangat terjangkau, apalagi ongkirnya.
Saya pun memesan buku tersebut dengan rasa nano-nano, malu kalau ketahuan membaca buku terjemahan.
Seminggu kemudian, buku TJ itu sampailah ke rumah saya.
Jujur, saya kaget bukunya tebal sekali, 782 halaman.
Buku tersebut harus saya lahap dengan penuh rasa nano-nano, termasuk rasa nikmat agar saya bisa memahami dan menguasai isinya.
Walaupun hanya buku terjemahan, saya merasa sangat penasaran dengan isi buku tersebut.
Saya akan mengupasnya dari bab per bab, begitu tekad di hati saya, agar mampu memahami konsep keadilan versi Rawls.
Buku TJ itu berisi sembilan bab.
Bab pertama, diawali dengan pembicaraan mengenai keadilan sebagai ‘fairness’.
Pada bab ini, Rawls menceritakan peran keadilan, subjek keadilan, posisi asali dan justifikasi, utilitarianisme klasik, sejumlah kontrak yang terkait instusionisme, persoalan prioritas, dan sejumlah penilaian tentang teori moral.
Rawls membuat sketsa gagasan-gagasan utama mengenai teori keadilan.
Dia memulai dengan cara menggambarkan peran keadilan dalam kerja sama sosial dan dengan penilaian singkat tentang subjek utama keadilan dalam struktur dasar masyarakat.
Rawls menyajikan gagasan keadilan sebagai ‘fairness’ adalah suatu teori keadilan yang menggerenalisasikan dan mengangkat konsepsi tradisional tentang kontrak sosial ke level atraksi yang lebih tinggi.
Ia juga mengungkapkan konsep keadilan versi ulititarian klasik dan intuisionis.
Tujuan Rawls adalah untuk memunculkan teori keadilan yang bisa menjadi abtraktif bagi doktrin-doktrin yang telah lama mendominasi filsafat kita.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran yang terdapat dalam sistem pemikiran.
Setiap orang memiliki kehormatan yang berdasarkan pada keadilan sehingga seluruh masyarakat sekalipun tidak dapat membatalkannya.
Atas dasar ini keadilan menolak jika lenyapnya kebebasan bagi sejumlah orang.
Dalam masyarakat yang adil, kebebasan warga negara dianggap mapan, hak-hak dijamin oleh keadilan, tidak tunduk pada tawar-menawar politik, atau kalkulasi kepentingan sosial.
Rawls meyakini bahwa keadilan merupakan kebajikan utama dalam keberadaan pranata sosial (social institutions).
Namun, dalam pandangannya, kebaikan masyarakat secara keseluruhan tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan setiap orang yang mendapatkan rasa keadilan, terutama yang lemah.
Dengan demikian, beberapa orang melihat pandangan Rawls sebagai "pandangan egaliter liberal tentang keadilan sosial.
" Secara khusus, Rawls memanfaatkan sepenuhnya ide-ide kreatifnya yang dikenal sebagai “original position” dan “veil of ignorance” dari setiap warga negara untuk mengembangkan ide tentang prinsip keadilan.
Secara umum, setiap teori kontrak sosial harus memiliki asumsi, dan konsep Rawls tentang kontrak sosial yang adil tidak terkecuali.
Dia mencoba posisikan situasi yang sama dengan setiap orang yang sama dalam masyarakat.
Apakah di lingkungan komunitas kita berlaku asas: tidak boleh ada yang lebih unggul dari yang lain, seperti posisi kuasa, status sosial, pangkat, kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain-lain.
Mungkinkah orang-orang membuat kesepakatan dengan orang-orang lain secara seimbang? Bagaimana penafsiran ‘original position’ dari Rawls dalam kaitan dengan asas hukum di negara kita bahwa “semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan”? Sampai jumpa pada diskusi selanjutnya.
Baca juga: Keadilan dalam Warisan
Baca juga: Uang, Agama dan Keadilan