Jurnalisme Warga

Boh Meuria, Oleh-Oleh Meulaboh yang Kian Langka

Kurang lengkap rasanya bila kita bepergian ke suatu tempat, tapi tidak membawa pulang buah tangan (oleh-oleh) yang merupakan kekhasan daerah tersebut

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Boh Meuria, Oleh-Oleh Meulaboh yang Kian Langka
FOR SERAMBINEWS.COM
MUHAMMAD SYAWAL DJAMIL, Pengajar di Sekolah Sukma Bangsa Pidie dan Anggota FAMe, melaporkan dari Meulaboh, Aceh Barat

OLEH MUHAMMAD SYAWAL DJAMIL, Pengajar di Sekolah Sukma Bangsa Pidie dan Anggota FAMe, melaporkan dari Meulaboh, Aceh Barat

Kurang lengkap rasanya bila kita bepergian ke suatu tempat, tapi tidak membawa pulang buah tangan (oleh-oleh) yang merupakan kekhasan daerah tersebut.

Bila kita bepergian ke Sabang misalnya, maka wajib bawa pulang bakpia atau dodol jahe.

Lalu kalau kita pergi ke Langsa, mesti pula saat pulang membawa barang 1 atau 2 kilogram terasi atau kecap Langsa.

Semua daerah tentu punya kekhasan sendiri, baik dari segi kuliner, artefak, atau semacamnya yang menjadi simbol untuk dijadikan buah tangan yang juga menandakan kita sudah melintasi tempat tersebut.

Seperti halnya kami yang bepergian ke Aceh Barat beberapa waktu lalu.

Sepuluh hari kami di sana dalam rangka visitasi terhadap calon siswa penerima beasiswa dari PT Mifa Bersaudara dan PT BEL untuk bersekolah di institusi kami, Sekolah Sukma Bangsa Pidie.

Kami keliling Aceh Barat, mulai dari kota yang jalannya beraspal hingga ke pelosok desa dengan jalan yang berkerikil dan berlubang bekas genangan air hujan.

Ironisnya, tak satu pun kami temui jajanan berupa buah rumbia (Aceh: boh meuria) yang sedianya hendak kami beli dan cicipi saat berkunjung dari satu desa ke desa lainnya.

Rumpun rumbia sebenarnya tak susah untuk kita temui karena masih terlihat di banyak tempat di pedalaman Aceh Barat.

Melihat realitas yang demikian, tentu tidak salah bila kita berkesimpulan bahwa boh meuria yang dalam bahasa Latinnya Metroxylon sagu, merupakan satu dari beberapa jenis buah-buahan kian yang langka di Aceh.

Baca juga: Pantai Jagu, Destinasi Wisata Baru di Kota Lhokseumawe yang Makin Ramai Dikunjungi

Baca juga: Berkeliling Danau Laut Tawar, Peserta Tour de Aceh Lalui Beberapa Destinasi Wisata

Sudah sangat jarang kita temukan orang menjajakan boh meuria, baik di pasar wilayah perkotaan maupun di pasar perkampungan.

Rumbia merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh dengan bagus di daerah yang memiliki lahan gambut, rawa-rawa, atau lahan yang tergenang di mana tumbuhan lain susah tumbuh.

Oleh karena demikian, di beberapa wilayah yang rawa-rawanya banyak, maka rumbia membentuk kebun atau semacam hutan sagu.

Di Aceh, daerah penghasil buah rumbia yang sudah sangat terkenal tak lain dan tak bukan adalah Meulaboh, Aceh Barat.

Karena itu pula, berbicara tentang boh meuria, apalagi yang sudah diasinkan, maka yang teringat adalah kota Meulaboh.

Meulaboh memang terkenal sebagai wilayah penghasil boh meuria.

Namun demikian, pascatsunami 2004, boh meuria mulai dirasakan langka.

Ada banyak pohon rumbia di Meulaboh, tapi sayangnya yang menghasilkan buah semakin sedikit.

Fakta ini sangat jauh berbeda dengan tahun-tahun pratsunami, saat boh meuria Meulaboh bisa “diekspor” hingga ke kabupaten-kabupaten tetangga.

“Boh meuria eksistensinya semakin ke sini semakin redup,” ucap salah satu rekan kami yang ikut menjelajah wilayah Meulaboh.

Cerita penjaja Keinginan kami untuk membawa pulang buah tangan, berupa boh meuria dari Meulaboh, hampir saja terwujud.

Kami temukan penjaja boh meuria di pasar tradisional pinggir jalan nasional dan masih dalam kawasan wilayah Aceh Barat.

Tepatnya di Desa Peuribu, Kecamatan Arongan Lambalek.

Namun sayangnya, kami tak dapat membawa pulang buah tangan tersebut karena belum “dipeujruek” (diasinkan) dan khawatir bila tak langsung dimakan, maka boh meuria tersebut keburu busuk dalam perjalanan pulang kami ke Pidie.

Apalagi harus singgah di Aceh Jaya untuk beberapa malam.

Cerita dari pedagang yang kami datangi itu, boh meuria merupakan bagian dari “buah tangan” yang sangat diminati dan dicari oleh setiap orang yang singgah di kios buah yang ia buka.

Selalu saja ada orang yang singgah membelinya.

Hingga boh meuria yang ia datangkan dari Sinabang laris manis saban harinya.

Boh meuria yang ia jajakan itu dijual dengan harga kisaran Rp50.000 per kilogram.

Katanya, harga itu masih murah, karena kalau sudah diasinkan bisa lebih mahal lagi.

Tidak perlu menunggu hingga satu pekan boh meuria itu sudah habis dibeli oleh setiap pelancong atau orang yang melintasi wilayah pantai barat selatan.

Bahkan, salah satu dari rombongan kami nyelutuk,“Sudah mahal boh meuria ketimbang buah salak, ya?” Buah rumbia memang agak mirip dengan buah salak dan dulu harga salak lebih mahal ketimbang buah rumbia.

Bedanya kalau buah rumbia sisik buahnya agak besar, bundar, dan rasanya kelat, tapi kalau sudah tua rasa kelatnya sedikit hilang dan mulai berasa manis.

Sementara cara menikmatinya mudah sekali bisa dimakan langsung, seperti kita menyantap buah pada umumnya, Yakni, hanya dengan membersihkan kulitnya lalu dimakan buahnya.

Atau bila ingin lebih nikmat boh meuria bisa diasinkan agar rasa kelatnya hilang.

Punya segudang manfaat Pohon rumbia sudah dimanfaatkan oleh masyarakat, terutama daunnya, sebagai atap, buahnya sebagai antidiare dan batangnya sebagai sumber karbohidrat (Hasyim, 2016).

Di Indonesia, khususnya masyarakat Aceh, sebelum masuknya obat-obat modern, masyarakat menggunakan boh meuria sebagai bagian dari pengobatan tradisional.

Sehingga, di Aceh dikenal obat diare paling ampuh dan manjur itu, tak lain dan tak bukan adalah boh meuria.

Berbagai penelitian membuktikan bahwa boh meuria memiliki segudang manfaat bagi kesehatan.

Sebagaimana hasil temuan dalam penelitian Dewi Isnaini dkk dan dimuat di majalah Farmasi Universitas Indonesia Timur Makassar bahwa ekstrak daging buah rumbia ternyata dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus.

Buah rumbia merupakan salah satu tanaman yang mengandung tanin.

Tanin memiliki rasa sepat dan bersifat sebagai astringent di mana zat ini dapat meredakan diare dengan menciutkan selaput lendir sehingga menghambat sekresi jaringan.

Sayangnya buah ini sudah sangat langka untuk dimanfaatkan kandungannya, meski kita pergi mencari ke lumbung penghasilnya, yakni Aceh Barat.

Kita berharap agar para sarjana pertanian yang ada di wilayah setempat atau Aceh umumnya meneliti ihwal penyebab pohon rumbia yang semakin susah berbuah sehingga menjadikannya langka.

Dengan demikian, diharapkan nantinya kalau sudah ada penelitian, akan ada sebuah formula untuk merevitalisasi pohon rumbia agar terus menghasil buah yang memiliki banyak manfaat itu.

Mudah-mudahan saja, boh meuria ini tidak menjadi buah mitos di masa mendatang dan masih bisa dinikmati kekhasan rasanya oleh anak-anak dan generasi kita, meskipun “buah-buahan kota” sudah masuk dan menggempur pasar-pasar tradisional kita.

Nyan ban.

Baca juga: Dua Destinasi Wisata Aceh Tengah Masuk Nominasi API Award 2022

Baca juga: Inong Aceh Rekomendasi Destinasi Wisata di Daerah Ini yang Instagramable untuk Milenial

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved