Breaking News

Opini

Menuju Aceh Bebas Rabies

Menurut laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah kasus gigitan HPR dan kematian manusia akibat rabies

Editor: mufti
IST
Faisal Jamin 

Dr drh Faisal Jamin MSi, Dosen mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan USK dan anggota PDHI Cabang Aceh

RABIES adalah penyakit mematikan. Hingga hari ini, rabies masih menjadi masalah kesehatan global. Per tahun, lebih dari 59.000 manusia meninggal akibat penyakit ini, terutama di Benua Asia dan Afrika. 80 persen kasus terjadi pada anak-anak di daerah pedesaan karena kontak langsung dengan anjing tanpa vaksinasi. Menurut laporan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa jumlah kasus gigitan HPR (hewan penular rabies) dan kematian manusia akibat rabies masih sangat besar. Pada 2024 dan awal 2025, puluhan ribu kasus gigitan HPR terjadi dan lebih dari 100 kasus berujung kematian. Ini menegaskan rabies masih menjadi masalah nasional yang memerlukan intervensi berkelanjutan dari berbagai pihak.Di antara kabupaten yang sangat menonjol kasus tersebut adalah Aceh Tengah dan Bireuen. Fakta ini menunjukkan perlunya fokus dan sinergisitas semua pihak dalam mengendalikan wabah tersebut. Seperti membentuk satuan tugas (satgas) dengan melibat Dinas Kesehatan, akademisi dan praktisi di lapangan untuk koordinasi dan merancang teknis pengendalian.

Implikasi di lapangan tingginya angka gigitan, meski tak semua berujung kasus rabies menuntut pencegahan primer (vaksinasi anjing), namun kesiapsiagaan klinis, serta surveilans yang lebih baik menjadi hal yang penting diperhatikan. Seperti menerapkan prinsip One Health (tripartit human–animal–environment): kolaborasi antara dinas kesehatan, dinas peternakan/veteriner, pemerintah daerah, dan pemangku kepentingan lingkungan untuk vaksinasi anjing, manajemen populasi anjing, surveilans gigitan, serta akses PEP (Profilaksis Pasca Pajanan) pada manusia. One Health adalah inti strategi eliminasi global.

Konsep zona bebas rabies mensyaratkan bukti (surveillance) ketiadaan penularan selama periode tertentu dengan kontrol pergerakan hewan dan program vaksinasi yang berkelanjutan. Negara/wilayah dapat memenuhi kriteria deklarasi bebas rabies berdasarkan standar WOAH. Pengelompokan zona memungkinkan intervensi bertahap.

Dalam peringatan Hari Rabies Sedunia pada 28 September tahun ini mengambil tema “Bertindak Sekarang: Anda, Saya, dan Komunitas”. Dimana WHO menargetkan dunia bebas rabies pada tahun 2030. Untuk mencapainya target tersebut perlu tindakan kolektif semua komponen karena pengendalian rabies itu bukan saja tugas pemerintah atau tenaga medis veteriner namun tanggung jawab bersama.

Oleh karenanya, perlu adanya road map dan target global inisiatif, dimana menempatkan eliminasi kematian manusia akibat rabies melalui vaksinasi anjing massal, PEP, dan surveilans sebagai prioritas. Dalam upaya pengendalian, Aceh secara spesifik memiliki karakteristik kuat terutama dengan adanya penerapan syariat Islam, di samping kultur komunitas adat yang kuat, dan berkembangnya destinasi pariwisata Islami. Dua identitas ini tidak hanya menjadi ciri khas budaya, tetapi juga dapat berperan strategis dalam membangun kesehatan masyarakat, termasuk dalam upaya menzerokan rabies dari Bumi Serambi Mekkah.

Di Aceh, syariat Islam dapat menjadi instrumen kuat dalam mengatur segala perilaku masyarakat tak terkecuali dalam menjaga kesehatan hewan. Islam menekankan konsep rahmatan lil ‘alamin, dimana kasih sayang untuk seluruh makhluk. Merawat hewan secara bertanggung jawab, tidak membiarkannya liar, serta mencegah bahaya dari hewan penular, merupakan bagian dari amanah keagamaan.

Nilai di atas merupakan di antara faktor yang dapat digunakan untuk menguatkan kesadaran masyarakat agar patuh pada program vaksinasi hewan, menjaga kebersihan, serta segera berobat bila digigit. Di sisi lain, pariwisata Islami yang kini digalakkan menuntut citra daerah yang aman, sehat, dan bebas penyakit zoonosis. Wisatawan tidak hanya mencari keindahan alam dan budaya, tetapi juga rasa aman dari risiko kesehatan.
Dengan menargetkan Aceh sebagai zona bebas rabies, pemerintah daerah tidak hanya menjaga keselamatan masyarakatnya, tetapi juga meningkatkan daya tarik wisata Islami yang berbasis pada kenyamanan dan jaminan kesehatan.

Integrasi syariat dan pariwisata Islami akan menciptakan sinergi sosial yang unik. Kolaborasi ulama, akademisi, dan pemerintah dapat menyampaikan pesan pencegahan rabies melalui mimbar keagamaan, khutbah Jumat, maupun program dakwah. Sementara sektor pariwisata dapat mendorong standar kesehatan hewan di area publik, desa wisata, dan atraksi budaya.

Dengan demikian, kesadaran individu, kepedulian komunitas, dan sistem sosial berbasis nilai islami dapat bersatu untuk mencapai Aceh bebas rabies. Target dunia bebas rabies tahun 2030 sejalan dengan visi Aceh sebagai daerah syariat dan tujuan wisata Islami. Bila masyarakat mampu mengamalkan nilai agama dalam mengelola hewan dengan penuh tanggung jawab, serta menjadikan kesehatan sebagai bagian dari pelayanan wisata, maka impian Aceh “zero rabies” bukanlah utopia melainkan visi nyata yang bisa dicapai.

Kearifan lokal

Ada dua provinsi yang telah berhasil menekan bahaya rabies secara efektif Bali dan NTT. Bali misalnya, provinsi dengan ritual agama dan komunitas adatnya yang kuat itu merupakan daerah wisata internasional yang juga pernah mencatat ribuan kasus gigitan HPR. Namun, upaya penanggulangan rabies di Bali tidak hanya mengandalkan vaksinasi massal, tetapi juga melibatkan banjar (komunitas adat) dan tokoh agama Hindu.

Melalui ritual dan ajaran tentang keseimbangan alam, masyarakat digerakkan untuk ikut serta menjaga hewan peliharaan, melaporkan anjing liar, hingga mendukung program sterilisasi. Pendekatan berbasis budaya ini membuat pesan pencegahan rabies lebih mudah diterima masyarakat, karena sejalan dengan keyakinan religius dan struktur sosial masyarakat.

Demikian juga Flores (NTT), provinsi yang dikenal dengan solidaritas komunitas adatnya yang tinggi itu menjadikan anjing sebagai hewan penjaga rumah sekaligus simbol adat sehingga dengan mudah mengarahkan warganya untuk menjaga kesehatan anjing.

Program pencegahan ini dijalankan dengan melibatkan kepala suku dan tokoh adat sehingga vaksinasi anjing tidak dipandang sekadar program pemerintah, melainkan bagian dari tanggung jawab kolektif menjaga komunitas. Kearifan lokal tentang “anjing sebagai saudara penjaga kampung” digunakan untuk menanamkan kesadaran bahwa kesehatan hewan berarti kesehatan manusia.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Indahnya Islam 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved