Pj Gubernur Aceh
T Kemal Fasya: Masyarakat Aceh Masih Trauma Konflik, Sebaiknya Pj Gubernur Aceh dari Kalangan Sipil
Pj Gubernur Aceh yang paling tepat adalah dari kalangan sipil dengan beberapa pertimbangan.
Penulis: Zaki Mubarak | Editor: Taufik Hidayat
Laporan Zaki Mubarak | Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE – Trauma dengan keadaan konflik masyarakat Aceh butuh treatmen-treatment psikis yang sifatnya merekonsiliasikan, dengan stakeholders yang selama ini bertikai.
Dimana Penjabat (Pj) Gubernur untuk Provinsi Aceh tak lama lagi akan resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian.
Belum lagi tersebar kabar dari legislatif Aceh yang mengusulkan dari kalangan Militer.
Pembahasan soal Pj Gubernur Aceh terus memuncak dan membuat perhatian serius dikarenakan masa jabatan Gubernur Aceh, Nova Iriansyah pada 5 Juli 2022 berakhir.
Pakar Antropologi Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya M.Hum, menyebutkan, banyak pihak yang memberikan pernyataan, sebaiknya mereka yang menjabat Pj Gubernur Aceh di emban oleh kalangan sipil.
Dirinya menjelaskan, sejumlah kalangan pun turut khawatir penunjukan anggota Militer disebabkan luka lama masyarakat Aceh saat ditetapkan sebagai wilayah DOM di masa lalu.
“Pj Gubernur Aceh yang paling tepat adalah dari kalangan sipil dengan beberapa pertimbangan,” kata Teuku Kemal Fasya, kepada Serambinews.com, Jumat (1/7/2022).
Ia mengatakan, pertama, sebenarnya sudah tertutup kemungkinan dari kalangan TNI/Polri aktif untuk bisa menjadi Pj berdasarkan keputusan pemerintah dan MK.
Kedua, memilih dari kalangan militer termasuk yang telah pensiun masih mengibaratkan Aceh belum cukup kondusif. Padahal 2,5 tahun depan adalah waktu yang panjang dan bukan hanya mempersiapkan keamanan pelaksanaan Pemilu Serentak 2024.
“Ketiga, kita memerlukan kepemimpinan sipil yang dekat dengan ide-ide perubahan dan demokrasi, apalagi Aceh saat ini yang sudah bisa dikatakan cukup kondusif untuk menjalankan program pembangunan dan kesejahteraan,” jelasnya.
Menurutnya, mengisi dari kalangan militer masih mengandaikan situasi Aceh yang belum cukup aman.
Hal ini yang pasti terkendala jika dari kalangan militer apalagi masih memiliki pandangan bahwa dinamika dan friksi sosial harus diselesaikan dengan pendekatan keamanan atau represif, dan bukan dengan model dialogis dan patisipatif.
“Meskipun sudah MoU, tapi rasa ketakutan terhadap intimidasi, terror dan sebagainya itu masih sangat melekat.
Seharusnya dengan situasi Aceh yang sudah bergerak dari situasi post-conflict menuju pemantapan peace-building kita memerlukan sosok Pj yang beroientasi pada pembangunan, bukan keamanan,” ungkapnya.
Apalagi sebutnya, tantangan Pj Gubernur ke depan sama seperti gubernur definitif yaitu menyelesaikan masalah fundamental Aceh yaitu kemiskinan, pengangguran, sempitnya lapangan pekerjaan, dan perlindugan sumber daya alam Aceh dari aksi predatoris yang mengejar keuntungan olgarkis.
“Hal lain dia juga perlu mengawal implementasi Otsus Aceh agar bisa mengarah sebagai politik kesejahteraan.
Di sini, pengetahuan sipil-demokratis lebih dikedepankan dibandingkan isting keamanan-represif.
Maka hanya figur sipil yang memiliki kompetensinya, bukan dari insting militer yang penuh sikap indoktrinatif-militeristik,” terangnya.
Terakhir tambah Kemal, Pj Gubernur juga bisa menjaga marwah Aceh sebagai entitas masyarakat yang punya cara pandang khusus tentang dirinya.
“Jangan sampai situasi kondusif saat ini, rusak lagi, sehingga alih-alih membuat masyarakat terkonsolidasi menjadi terfragmentasi,” demikian Teuku Kemal Fasya.(*)
Baca juga: Aceh bukan Daerah Konflik, Impas Tolak Pj Gubernur Aceh dari Unsur Militer