Haji 2022
Serba-Serbi Melontar dan Mabit di Mina
SELEPAS mabit di Muzdalifah dan sebelum tahallul (mencukur atau menggunting sebagian rambut), jamaah haji diwajibkan untuk melontar jumrah Aqabah
SELEPAS mabit di Muzdalifah dan sebelum tahallul (mencukur atau menggunting sebagian rambut), jamaah haji diwajibkan untuk melontar jumrah Aqabah pada tanggal 10 Zulhijjah.
Saat haji wada', setelah melontar jumrah Aqabah, Nabi bergegas kembali ke Mekkah untuk melaksanakan thawaf dan sa'i ifadhah, rukun haji terakhir.
Setelah itu, Nabi kembali ke Mina untuk menjalankan mabit (bermalam).
Sedikit berbeda dengan haji wada', setelah lontar jumrah Aqabah, jamaah tidak ke Mekkah, tapi diarahkan kembali ke tenda di Mina untuk bertahallul dan mabit.
Sedangkan Thawaf Ifadhah dilakukan setelah pelaksanaan mabit di Mina tuntas.
Ini untuk mensiasati sulitnya melakukan mobilisasi jutaan jamaah dalam satu waktu pada satu tempat secara bersamaan.
Kecuali jamaah melakukan thawaf ifadhah secara mandiri, tanpa difasilitasi pihak Maktab (otoritas haji Arab Saudi).
Tidak ada ketentuan manasik yang dilanggar dengan menunda pelaksanaan thawaf ifadhah.
Hanya saja jamaah haji belum dibolehkan berhubungan badan suami-istri, meskipun semua larangan ihram lain tidak lagi berlaku.
Baca juga: Dokter Rumah Sakit Riyadh Beri Layanan Virtual ke Jamaah Haji di Mekkah
Baca juga: Jamaah Haji Akhiri Ibadah, Semuanya Senang Dengan Layanan Kerajaan Arab Saudi
Meskipun sama-sama wajib haji, namun mabit di Mina berbeda dengan mabit di Muzdalifah.
Mabit di Muzdalifah dilakukan dalam semalam, sedangkan mabit di Mina boleh dilakukan dalam dua pilihan, nafar awal (10-12 Zulhijjah) dan nafar tsani (10-13 Zulhijjah).
Selama mabit di Mina, jamaah haji juga diwajibkan melontar jumrah.
Jika pada tanggal 10 Zulhijjah cuma wajib melontar jumrah Aqabah, maka pada tanggal 11-13, jamaah haji wajib setiap harinya melontar tiga tiang jumrah sekaligus.
Ula, Wustha dan Aqabah.
Tujuh butir kerikil wajib dilontarkan pada masing-masing tiang, sehingga jumlah kerikil yang dilontar setiap harinya berjumlah 21 buah kerikil.
Dalam praktik melontar, ada saja ulah jamaah melontar seenak hati, jauh dari tuntutan manasik.
Misalnya, saat melontar jumrah tanggal 11 Zulhijjah, seorang jamaah dengan memekikkan “bismillah, Allahu Akbar" melontarkan sebuah botol minuman berisi 21 butir kerikil sekaligus pada tiang jumrah Ula.
Saat dikoreksi, jamaah tadi menjawab dengan cuek.
“Hana peu Tgk, jeut bagah leh, loen pih ka hek, Allah maha peu ampon desya (Tidak apa-apa Tgk, saya sudah letih, Allah Maha Pengampunan Dosa),”.
Hanya kalimat terakhir yang benar dan saya aminkan, selebihnya noise (riuh) dan bukan voice (suara) yang patut didengar.
Sebelum pelaksanaan Armuzna, banyak jamaah haji Aceh yang ngotot meminta nafar tsani kepada petugas haji.
Kesempurnaan haji menjadi alasan.
Tetapi setelah sehari di Mina, merasakan tidur berdesak-desakan, antrean panjang di toilet yang tidak pernah berakhir, bertapak lebih 8 kilometer ke lokasi jamarat setiap hari, ditambah lagi lelah wukuf Arafah dan mabit Muzdalifah yang belum terobati, membuat nyali sebagian besar jamaah haji Aceh ciut.
"Ustaz kita ambil nafar awal aja boleh?" tanya seorang jamaah yang menjadi juru bicara dari ratusan jamaah yang lain setelah lontar jumroh Aqabah selesai.
Tanpa menjawab, memori saya di bawa mengenang karakter orang Aceh saat di meja ngopi.
Kuat bicara, lemah eksekusi.
Karakter yang terbawa ke Tanah Suci.
Air beriak tanda tak dalam, air tenang menghanyutkan.
Tong kosong nyaring bunyinya, tong penuh tidak berguncang. (*)
Baca juga: Anggota Pramuka Arab Saudi Bantu Jamaah Haji Lontar Jumrah Saya Siap Membantu Anda
Baca juga: Robot Pintar Keliling Masjidil Haram, Bagikan Al- Quran ke Jamaah Haji Sebelum Tinggalkan Mekkah