Luar Negeri

Saifullah Paracha, Narapidana Tertua Guantanamo Dibebaskan, 19 Tahun Dipenjara Tanpa Persidangan

“Kami senang bahwa seorang warga negara Pakistan yang ditahan di luar negeri akhirnya bersatu kembali dengan keluarganya.”

Editor: Faisal Zamzami
GAROWE ONLINE via TWITTER
Saifullah Paracha, warga negara Pakistan, ditangkap di Thailand pada 2003 dan dituduh mendanai Al Qaeda tapi tidak pernah didakwa seperti kebanyakan tahanan di Guantanamo. 

SERAMBINEWS.COM, ISLAMABAD - Saifullah Paracha, narapidana tertua di Guantanamo yang dikelola Amerika Serikat (AS) di Kuba, dibebaskan ke negara asalnya Pakistan setelah 19 tahun ditahan tanpa pengadilan.

“Kementerian Luar Negeri menyelesaikan proses antar-lembaga yang ekstensif untuk memfasilitasi pemulangan Paracha,” kata kementerian negara Asia Selatan itu dalam sebuah pernyataan pada Sabtu (29/10/2022) sebagaimana dilansir Al Jazeera.

“Kami senang bahwa seorang warga negara Pakistan yang ditahan di luar negeri akhirnya bersatu kembali dengan keluarganya.”

Paracha, yang adalah seorang pengusaha, ditangkap pada 2003 di Thailand dan dituduh mendanai kelompok bersenjata. 

Pria ini tetap mempertahankan pernyataannya bahwa dia tidak bersalah.

Pada Mei, AS menyetujui pembebasan Paracha yang hanya menyimpulkan bahwa dia “bukan ancaman berkelanjutan” bagi AS.

Baca juga: Kisah Hambali Otak Bom Bali, 16 Tahun Dibiarkan Membusuk di Guantanamo, Nasibnya Digantung AS

Seperti kebanyakan tahanan di fasilitas penahanan Teluk Guantanamo, Paracha (berusia 74 atau 75 tahun) tidak pernah didakwa secara resmi dan memiliki sedikit kekuatan hukum untuk menentang penahanannya.

Penjara militer rahasia AS didirikan setelah serangan 9/11, untuk menahan tersangka anggota Al Qaeda yang ditangkap selama invasi ke Afghanistan pada 2001.

Tetapi dari 780 narapidana yang ditahan selama periode yang disebut "perang melawan teror" AS, 732 dibebaskan tanpa tuduhan.

Banyak dari mereka dipenjara selama lebih dari satu dekade tanpa sarana hukum untuk menentang penahanan mereka.

Hampir 40 tahanan tetap berada di fasilitas penahanan paling terkenal di dunia, yang telah menjadi simbol pelanggaran hak asasi manusia tersebut.

 
Kepulangan Paracha ke negaranya pada Sabtu (29/10/2022) terjadi setelah Presiden AS Joe Biden tahun lalu menyetujui pembebasannya, bersama dengan seorang warga negara Pakistan lainnya Abdul Rabbani (55 tahun), dan penduduk asli Yaman Utsman Abdul al-Rahim Uthman (41 tahun).

Biden berada di bawah tekanan untuk membersihkan tahanan yang tidak didakwa di Guantanamo dan melanjutkan persidangan mereka yang dituduh memiliki hubungan langsung dengan Al Qaeda.

Di antara sekitar 40 narapidana yang tersisa adalah beberapa pria yang diduga memiliki peran langsung dalam serangan 9/11 dan serangan Al Qaeda lainnya.

Paracha, yang mengenyam pendidikan di AS, memiliki bisnis ekspor-impor yang memasok pengecer besar AS.

Pihak berwenang AS menuduhnya melakukan kontak dengan tokoh Al Qaeda, termasuk Osama bin Laden dan Khalid Sheikh Mohammed.

Baca juga: Amerika Serikat Bebaskan Seorang Tahanan Guantanamo ke Aljazair, Usai Ditahan 20 Tahun Penjara

Pada 2008, pengacara Paracha mengatakan pengusaha itu bertemu bin Laden pada 1999, dan setahun kemudian, sehubungan dengan produksi program televisi.

Reprieve, sebuah badan amal hak asasi manusia yang berbasis di Inggris, menggambarkan Paracha sebagai "tahanan selamanya".

Sejak pertama kali dibuka, Guantanamo menjadi terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia dan fakta bahwa pemerintah AS tidak menganggap tahanannya berhak atas perlindungan apa pun menurut hukum internasional.

 

Nasib "Tahanan Abadi" di Penjara Guantanamo: 18 Jam Sehari Disiksa, Dipenjara Tanpa Pengadilan

Selama 14 tahun lamanya Mohamedou Ould Slahi mendekam di penjara teror Guantanamo. Sebanyak 70 hari dalam setahun dia mengalami penyiksaan, 18 jam sehari selama tiga tahun. 

Mohamedou dituduh memangku fungsi penting di jajaran pemuka Al Qaeda dan ikut merencanakan serangan teror 11 September.

Namun, selama masa penahanan yang panjang itu, militer Amerika Serikat tidak mampu mengumpulkan bukti hukum untuk meloloskan dakwaan. Selama itu pula dia menjalani hukuman kurung tanpa proses pengadilan.

Mohamedou yang kini berusia 50 tahun akhirnya dibebaskan tanpa syarat. Dakwaan terhadapnya digugurkan.

Kamp Guantanamo membuat Amerika menjadi negara, "di mana prinsip negara hukum tidak dihormati,” kata Nancy Hollander, pengacara yang berulang kali mewakili narapidana Guantanamo.

Menurutnya, "situasinya serupa bencana,” terkait nasib 13 narapidana yang hingga kini tanpa pengadilan, dan juga terdakwa pelaku teror 11 September yang dijuluki "tahanan abadi,” karena masih menunggu pengadilan, 20 tahun setelah serangan tersebut.

Pelanggaran prinsip negara hukum

Menurut Daphne Eviatar dari Amnesty International, ketidakjelasan status hukum narapidana Guantanamo termasuk bagian dari kalkulasi politik bekas Presiden George W Bush.

 "Mereka membangun penjara di luar negeri untuk tidak terikat hukum Amerika Serikat,” kata dia.

Dalam laporan Amnesty, AS dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di Guantanamo, termasuk penyiksaan terhadap narapidana. Menurut Daphne, laporan tersebut disusun dari berbagai penyelidikan, termasuk laporan komisi dinas rahasia di Senat AS.

Kamp Guantanamo di pesisir selatan Kuba sudah menjadi pangkalan militer AS sejak lebih dari 100 tahun lalu. Namun, baru pada Januari 2002, kompleks tersebut direnovasi untuk ikut menampung sebuah penjara rahasia untuk tersangka teroris.

Anthony Natale, kuasa hukum terdakwa teroris, Abdul Rahim al Nashiri, ikut mengecam kebijakan di Washington. "Kita mengorbankan semua yang menjadikan negara ini sebuah negara bebas, dengan kesetaraan hak untuk semua,” tukasnya.

 

 
Rencana penutupan

Rencana awal penutupan Guantanamo sudah pernah diumumkan pada era George W Bush. Penerusnya, bekas Presiden Barack Obama juga menjanjikan penutupan. 

Namun, AS saat itu kesulitan mencari negara yang mau menampung bekas tahanan Guantanamo.

Obama kehilangan momentum politik ketika Partai Republik merebut mayoritas di Kongres, yang kemudian meloloskan Undang-undang untuk melarang "semua individu yang pernah ditahan di Guantanamo untuk memasuki wilayah AS,” kata Nancy Hollander. 

Dengan begitu tertutup kemungkinan untuk memindahkan para tahanan dari Guantanamo ke daratan Amerika.

Upaya politik menutup penjara Guantanamo terhenti di era bekas Presiden Donald Trump.

 Dia secara terang-terangan mengumumkan niat untuk tetap membuka penjara teror di negeri jiran tersebut.

 Partai Republik berdalih, Guantanamo masih menjadi jaminan keamanan bagi AS untuk menghadapi terorisme global.

Kini giliran Presiden Joe Biden yang mengumumkan niat untuk menutup Guantanamo selama masa jabatannya. Namun, ketika komisi dinas rahasia di Senat AS membahas rencana tersebut, tidak seorang pun pejabat pemerintahan Biden yang ikut hadir.

Hal itu, kara Nancy Hollander, membuktikan betapa pemerintahan AS "tidak pernah berusaha menepati janjinya.”

 

Penjara tanpa bukti

Saat ini pemerintahan Biden sedang disibukkan oleh proyek infrastruktur dan anjloknya tingkat kepuasan publik di AS. 

Guantanamo sebabnya diyakini belum akan mendapat prioritas utama. Bagi narapidana, situasi ini semakin mengaburkan harapan untuk segera dibebaskan.

Sebagian tahanan saat ini sudah bisa menghirup udara bebas, antara lain berkat perjanjian pemulangan narapidana dengan negara asal. "Ketika jumlah tahanan terus berkurang, maka semakin jelas betapa anehnya semua ini,” kata Nancy Hollander.

Menurutnya biaya operasi penjara di Guantanamo mencapai 13 juta dollar AS atau sekitar Rp 182 miliar per tahun untuk setiap tahanan

Biaya akan lebih murah jika tahanan dipindahkan ke Amerika Serikat, katanya.

"Kita tidak bisa menahan orang selama 20 tahun tanpa dakwaan, karena kurangnya bukti-bukti, tapi bersikeras bahwa mereka berbahaya.”

Masa depan Guantanamo tidak lagi bisa ditentukan dengan argumen rasional, kata dia.

Baca juga: UKM BSPD USK Lakukan Bakti Sosial Terintegrasi IV Selama Lima Hari di Aceh Jaya

Baca juga: Tour De Aceh 2023 Dilaunching, akan Diundang Tim Sepeda Nasional

Baca juga: 132 Orang Tewas akibat Jembatan di Gujarat India Runtuh karena Kerumunan

 

Kompas.com: Saifullah Paracha, Narapidana Tertua Guantanamo Dibebaskan Setelah 19 Tahun Dipenjara Tanpa Persidangan

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved