Cendekiawan Muslim Aceh Sebut Erick Thohir sebagai Jembatan Generasi Nonmilenial dengan Milenial

Tokoh Sumatera harus muncul karena prestasi, bukan populasi. Tokoh asal Sumatera juga harus memiliki karakter yang unik atau mudah dikenal milenial.

Penulis: AMALIA PURNAMA SARI | Editor: AMALIA PURNAMA SARI
Tangkapan Layar YouTube Tribunnews
Talkshow Series Memilih, Damai dengan tema Membaca Suara dari Daerah: Sumatera, Selasa (21/11/2022). 

SERAMBINEWS.COM - Pengamat sekaligus Founder Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan sistem politik atau pemilihan umum (pemilu) di Indonesia adalah sistem terbuka.

Dengan begitu, sistem tersebut tidak bertendensi untuk memenangkan calon presiden (capres) tertentu yang harus berasal dari pulau Jawa.

Menurutnya, semua tokoh atau pejabat negara yang ada di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk memimpin Indonesia melalui proses demokrasi, dalam hal ini pemilu.

"Sistem politik kita terbuka, makanya sekarang ini kita tidak berbicara lagi soal apa namanya pusat-pusat kepemimpinan berbicara lagi soal penguasaan segelintir orang, karena sistem demokrasi kita itu ya ada orang menyebut terlalu liberal malah dan seterusnya," kata Ray.

Hal itu disampaikan Ray saat menghadiri Talkshow Series Memilih, Damai dengan tema "Membaca Suara dari Daerah: Sumatera", Senin (21/11/2022).

Menurut Ray, sejauh mana persaingan ini betul-betul melahirkan kompetisi berkualitas, maka harus ada calon pemimpin luar pulau Jawa yang memang layak bersaing di kancah nasional, salah satunya Pemilihan Presiden (Pilpres).

"Sekarang pertanyaannya, misalnya, apa namanya pemimpin-pemimpin dari Sumatera ada tidak dari delapan provinsi yang ada sekarang layak kita dorong sebagai sebagai calon presiden wakil presiden yang memiliki prestasi dan diperbincangkan di tingkat nasional dari Aceh hingga Lampung," ujarnya.

Diterangkan Ray, Ganjar Pranowo merupakan satu-satunya nama yang secara geografis dan etnis berasal dari Jawa.

Sedangkan kandidat lain seperti Anies Baswedan, Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, Erick Thohir hingga Puan Maharani bisa disebut bukan betul-betul dari Jawa.

"Jadi kalau 10 nama besar presiden itu saya kira 70 persennya bukan dalam artian geografi dan etnik orang Jawa, tapi luar Jawa. Kalau ditanyakan ke sistem tidak ada lagi masalahnya nanti itu, justru kalau ditarik lagi ke pemilihan presiden dipilih MPR itu masalah lagi, karena oligarkinya makin kuat dan penguasa di oligarki itu adalah sekelompok orang yang memang memiliki kekuasaan akses selalu kepada partai kekuasaan," ucapnya.

Meski demikian, Ray mengaku bahwa mengajukan capres bukanlah hal yang main-main.

"Contohnya jika Ketum PDI-P Megawati misalkan memaksakan mendorong Puan Maharani tapi nyatanya elektabilitasnya hanya 2-3 persen dan jika didorong hal itu tidak akan laku," tutur Ray.

Dijelaskan Ray, pemilihan langsung saat ini membuat semua orang punya kesempatan untuk berkompetisi, untuk masuk ke dalam yang atau rekam jejak yang memungkinkan kandidat dilihat di pasar pemilu.

Terlebih, sebut dia, ada orang yang ingin memilih orang lain berdasarkan kedekatan, bukan sekadar uang semata.

"Meskipun tetap mengambil uang itu nanti, tapi pilihannya siapa yang tahu. Sehingga orang itu harus kampanye dengan prestasinya selama ini. Kandidat yang ada saat ini menjual prestasi yang telah mereka lakukan saat menjabat, tidak ada calon pemimpin yang tiba-tiba muncul dan itu sudah habis sejak 2024 mendatang," paparnya.

Diungkapkan Ray, jika nantinya Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara resmi pindah ke Kalimantan, maka Jakarta bukan lagi pusat untuk presiden-presiden selanjutnya, seperti Joko Widodo yang awalnya Gubernur DKI Jakarta.

"Dengan berpindahnya pusat pemerintah dari Jakarta ke Kalimantan, jelas hal itu nanti merubah pusat, dan besar dugaan saya Gubernur Jawa Barat dan Jawa Tengah akan dilirik masyarakat, karena pemilihnya banyak, tetapi luar jawa juga memiliki kesempatan.

"Sehingga siapa yang sukses disana maka punya kesempatan memimpin Indonesia. Namun, lagi-lagi, siapkah kita berkompetisi dengan sebaik mungkin dalam sistem yang terbuka ini, yang liberal ini sebelum dikunci oleh para oligarki," bebernya.

Cendekiawan muslim asal Aceh Fachry Ali menilai, politik identitas Jawa-non Jawa tidak ada sejak masa revolusi itu "dikotomi Jawa dan luar Jawa" seperti yang ditulis oleh Umar Kayam di Tempo pada tahun 1980-an

"Di tembok-temboknya itu tertulis slogan Soekarno-Hatta padahal maksudnya itu sukar (sulit) tanpa Hatta itu di Yogyakarta," tutur Fachry.

Namun, dia mengakui bahwa pertarungan politik sejak dahulu memang sering terjadi pembelahan antara partai Jawa dan non-Jawa.

"Dalam hal ini Masyumi yang memiliki basis tersebar di masing-masing daerah, yang tak dipungkiri penduduk di pulau Jawa sangat dominan saat ini.

"Menurut saya dari 1955 walaupun ini sangat hipotesis sampai dengan 1959, itu dikotomi Jawa dan luar Jawa itu tidak menjadi persoalan politik pada masa itu, tidak menjadi isu karena orang masih merindukan Hatta. Tapi setelah terjadinya Dekrit Presiden 1959 dikotomi itu kemudian meluas pendalaman karena kemudian terjadi keresahan-keresahan yang bersifat ekonomi," tandasnya.

Setelah itu, sebut Fachry, keresahan-keresahan akan politik identitas muncul. Hal ini diperparah dengan munculnya Orde Baru yang bisa dianggap pengukuhan politik identitas, bukan dalam perilaku politik saja.

Ia menjelaskan, model kekuasaan kemudian kembali pada model sejarah politik dan sosial ekonomi Jawa yang kemudian diciptakan.

"Lalu, tokoh-tokoh yang menjadi model politik itu adalah berasal dari dunia pewayangan, sehingga kemudian dirinya sebagai anak Aceh pun itu punya pendapat bahwa jika tidak bisa memahami Indonesia tanpa memahami Jawa," sebut dia.

Meski bisa memahami Jawa, sebut Fachry, mereka belum tentu memahami Indonesia. Oleh karenanya, penting untuk menguasai salah satu daerah luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh, Sumatera Utara, ataupun Sulawesi Selatan. 

"Jadi kalau kita tahu daerah luar Jawa, itu baru Anda bisa mengklaim bahwa Anda kenal Indonesia. Jadi kalau kita lihat proses politik yang semacam ini itu adalah suatu proses yang berlangsung secara tidak sengaja, karena pemilu yang tidak tuntas 1955 lalu kemudian negara baru merdeka dimana wilayah luar Jawa itu yang muncul secara dominan, sebagai kontributor dari ekonomi secara nasional karena mereka adalah sumber utama bagi ekspor komoditas ekspor, sementara wilayah Jawa itu yang dominan adalah pertumbuhan penduduknya," paparnya.

Menurut Fachry, pemindahan ibu kota dari Pulau Jawa akan memicu munculnya politik pasca-Jawa, yakni kurangnya sopan santun dalam berpolitik. Selain itu, pembangunan infrastruktur luar Jawa juga akan meningkat.

"Apakah ini akan melahirkan tokoh di luar Jawa, itu sebuah pertanyaan dari sebuah periode baru yang sedang bangkit sekarang ini," tanyanya

Dilanjutkan Fachry, tokoh Sumatera harus muncul karena prestasi, bukan populasi. Tokoh asal Sumatera juga harus memiliki karakter yang unik atau mudah dikenal pemilih milenial.

"Kalau di Sumatera ada dua tokoh yang kita lihat, yang satu sudah senior sekali yaitu Surya Paloh. Ia adalah orang luar Jawa yang mendirikan partai nasional tapi bukan calon presiden dan kedua Erick Thohir (Menteri BUMN)," paparnya.

Surya Paloh sendiri menurutnya adalah tokoh hebat yang berani memimpin tanpa memandang etnis. Sedangkan Erick Thohir dinilai bisa menjadi pemimpin nasional ke depan, entah sebagai presiden atau wakil presiden.

"Dalam basis konteks demografi (Erick Thohir) adalah jembatan antara generasi non milenial dengan milenial, Saya pernah membuat tulisan pengantar buku tentang dia, di dalam itu dia adalah jembatan bukan reproduksi dari Orde Baru, karena ia lahir ketika Orde Baru itu mulai mengkonsentrasikan kekuatan materialnya ditangan keluarga.

"Sedangkan kemampuan dia (Erick Thohir) didasarkan pada teknikal dan profesional. Inilah basis dia sedikit bombastis, inilah basis politik ekonominya. Jadi dia diakui sebagai orang buka massa, tapi kemampuan profesional dan ditunjukkan di nasional," pujinya.

Sedangkan, Dekan FISIP Universitas Sriwijaya (Unsri) Profesor Alfitri menerangkan, jika berbicara mengenai hal historis peradaban Indonesia, bangsa Melayu sebenarnya memiliki kekuatan lebih besar karena memiliki Mataraman Jawa yang lebih oligarkis.

"Nah, Melayu inilah sebetulnya akar dari demokrasi sebenarnya dan yang saya lihat beberapa potensi-potensi yang memang menjadi akar demokrasi itu memang muncul di Sumatera, ada marga Sumatera Barat ada Nagari, di Sumatera Utara juga ada marga.

"Inilah pembelajaran demokrasi Indonesia, sehingga pada saat kita melihat potret bagaimana Melayu memberikan semacam sumbangsih demokrasi kepada bangsa ini sangat terasa pada saat memutuskan Sumpah Pemuda," papar Alfitri.

Alfitri melanjutkan, Indonesia perlu mencari orang Jawa yang bisa menghargai bahasa Indonesia yang akarnya adalah bahasa Melayu.

"Kemudian yang kedua ketokohan yang tadi singgung Soekarno Hatta yang memang begitu tunggal ini adalah model politik awal dalam membangun Indonesia ke depan," tuturnya.

Dia menilai bahwa ada semacam pencitraan bahwa presiden harus orang Jawa dan luar Jawa. Contohnya seperti Soekarno-Hatta, Soekarno-Malik, dan Soekarno-Jusuf Kalla (JK).

"Menurut saya bagaimana jalan tengah yang dipilih untuk memimpin Indonesia dengan keberagaman, jadi pluralistik Indonesia ini merupakan sebuah kekuatan ketika itu sudah dibangun oleh para pendiri bangsa ini.

"Termasuk pada saat Orde Baru menerapkan politik ekspansi dengan program transmigrasinya di sinilah, memulai bahwa peradaban peradaban ini Jawa dan luar Jawa ini mulai membaur, dalam kacamata tadi yang unggah-ungguhnya mulai luntur kemudian otokrasinya juga mulai memudar termasuk juga budaya di Melayu itu sudah lebih Jawa daripada orang lain ini yang kita lihat, bahwa sudah terjadi semacam persilangan dimana orang sekarang bermimpi terhadap keadilan," jelasnya.

Alfitri mengungkapkan, keadilan perlu diperhatikan ketika melihat tokoh-tokoh asal Sumatera. 

"Tetapi kalau misal ada tokoh yang bisa mengusung prinsip keadilan, terutama di dalam membangun Indonesia peluang itu akan besar dengan tidak memandang dia dari mana Menurut saya di pada Pemilu 2024 akan menarik dan ditunggu oleh publik, bagaimana keadilan itu bisa menjadi tawaran bagi calon-calon kedepan, " tambahnya.

Sementara itu, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang Profesor M Sirozi mengungkapkan, Pemilu 2024 didominasi oleh generasi Z dan generasi milenial yang dibesarkan pada era digital.

Menurutnya, pemilih pemula memiliki satu karakter dan selera politik berbeda. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk melihat secara kuantitatif.

"Karena suara ini sangat penting. Kalau saya baca, data dari statistik generasi Z itu merepresentasikan 28 persen dari penduduk kita dan generasi milenial itu merepresentasikan 24 persen, sehingga kalau dikombinasikan merepresentasikan hampir 58 persen dari penduduk kita, atau hampir 144 juta," jelasnya.

Dengan demikian, sebut Raden, generasi Z dan milenial merupakan kelompok penting yang harus diperhatikan calon presiden dan calon wakil presiden.

Ia juga mengingatkan calon pemimpin untuk mewaspadai sikap generasi Z dan milenial yang realistis, sehingga sulit diimingi-imingi janji palsu atau gombalan politik tertentu.

"Jadi tidak bisa dibohongi, karena mereka ini cari info terus, mereka punya informasi dan mereka sangat Intens berkomunikasi Jadi mereka selalu verifikasi. Kedua, mereka ini sangat independen mereka ini disebut dengan generasi yang tidak mau terlalu diatur-atur. Sehingga capres cawapres jangan coba-coba dengan mendikte dan menggurui yang membuat mereka tidak suka, "ujarnya.

Selain itu generasi Z dan milenial ini sangat terbuka, sehingga diperlukan gagasan, ide dan terobosan baru yang tidak konvensional yang memberikan perspektif baru untuk masa depan Indonesia.

"Kita ini kan hidup di era global karena kita penduduk kita ini masih lokal. Anak muda sekarang itu mereka tidak ingin hanya jadi warga lokal, mereka ingin menjadi warga internasional dan ini tidak mudah,” tutur Raden.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved