Video
Kolonel Jun H Mastra Sang Penjaga Makam Raja-Raja Aceh - Part 1
Kolonel CHB Jun Hisatur Mastra (Jun H Mastra), merupakan Kepala Perhubungan Kodam (Kahubdam) Iskandar Muda.
Penulis: Syamsul Azman | Editor: Syamsul Azman
BANDA ACEH - Sosok Kolonel satu ini tidak asing lagi bagi masyarakat peduli sejarah, khususnya sejarah Aceh. Ia Beberapa bulan terakhir ia menjadi sorotan karena turut berpartisipasi merawat makam kuno di kawasan Aceh.
Adalah Kolonel CHB Jun Hisatur Mastra (Jun H Mastra), merupakan Kepala Perhubungan Kodam (Kahubdam) Iskandar Muda.
Jun dilahirkan di Desa Besuk, Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri, pada 24 April 1974, merupakan anak dari orang tua yang berprofesi sebagai guru Sekolah Dasar (SD).
Tahun 1996, Jun masuk Akademi Militer, setelah lulus ia bertugas di Kostrad, hampir separuh masa penugasan dihabiskan di Kostrad, pernah pula bertugas di Papua dan pada September 2021 lalu, Jun melanjutkan tugas Hubdam IM.
Jun menerangkan, awal mula dirinya menyukai sejarah semenjak bertugas di Aceh, tepatnya pada Oktober 2022 lalu, ketika sedang liburan akhir pekan, Jun mendengar suara kerja bakti dari balik semak-semak.
Ketika Jun mendekati asal suara, ternyata ada beberapa pemuda dari Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh) sedang menata kembali makam kuno.
"Sedang apa kalian di sini?," ucap Jun memperagakan pertama kali berjumpa dengan anggota Mapesa.
"Kami sedang membersihkan makam Indatu pak," tambahnya menceritakan.
"Apa itu indatu?," tanya Jun kembali pada anggota Mapesa waktu itu.
"Indatu adalah nenek moyang," jawab anggota Mapesa diterangkan Jun H Mastra.
Karena penasaran, Jun mendekat dan terkejut, terdapat nisan-nisan indah dan banyak kaligrafinya.
Dari perjumpaan dengan Mapesa dan menyaksikan langsung ukiran indah kaligrafi di batu nisan, menjadi awal mula perjalanan Jun H Mastra berpartisipasi serta turut andil menegakkan kembali nisan-nisan kuno yang berserakan imbas terkena Tsunami Aceh 2004 silam.
Bukan Pemerhati Sejarah
Jun menyebut, dirinya bukanlah orang yang menaruh perhatian besar pada sejarah, bukan pula berasal dari keluarga yang mengoleksi benda-benda sejarah.
Kemauannya dan kecintaanya terhadap benda bersejarah dalam hal ini makam kuno, karena menurutnya nisan kuno tersebut tergolong benda-benda cagar budaya yang mesti dilindungi dan diselamatkan.
Jun juga bukan seorang yang suka mengoleksi benda-benda bersejarah, karena khawatir tidak sanggup merawatnya.
"Awalnya saya prihatin dengan makam kuno ini, nisan-nisan kuno yang kita temukan di Aceh bernilai benda cagar budaya, benda ini terkena tsunami dan pindah dari posisinya semula, muncul keinginan saya untuk mengembalikan makam-makam yang berserakan ini kembali pada tempat semula," terangnya.
Kahubdam IM ini juga mengatakan, tidak semua orang berani membersihkan makam kuno, meskipun makam tersebut di depan mata mereka berantakan.
"Tidak semua orang berani membersihkan makam kuno di Aceh, seperti adanya cerita-cerita mistik dan berbagai persoalan lain," terangnya.
"Lokasi makam kuno di Aceh kebanyakan lahan milik pribadi, sehingga apabila hendak membersihkan makam kuno, sering bermasalah pada perizinan, itulah permasalahan yang sering dihadapi, terkadang mau membersihkan makam kuno, namun pemilik tanah tidak berada di Aceh, itu permasalahannya," tambahnya.
Kitab Sanggamara
Selain aktif melakukan gotong royong membersihkan makam kuno, Jun juga menaruh perhatian menerjemahkan kitab Sanggamara, menurutnya ungkapan Sanggamara sering didengar, sering diucapkan oleh prajurit TNI khususnya bertugas di Aceh, sehingga menimbulkan tanda tanya dalam dirinya untuk menelusuri makna dibalik ungkapan Sanggamara.
Setelah melakukan penelusuran, akhirnya Jun menemukan kitab asli Sanggamara di Pustaka Wilayah (Puswil) Aceh, kitab tersebut ia salin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, karena sebelumnya berbahasa Aceh masa lampau, bahasa Arab.
“Kitab Sanggamara sudah berjalan dan hampir selesai proses diterjemahkan, kitab ini merupakan hikayat, menceritakan kehidupan masyarakat Aceh pada zaman kesultanan silam, hikayat ini diterbitkan tahun 1928, ketika masa konflik dengan Belanda di Aceh. Masa itu, masyarakat Aceh terpengaruh dengan budaya Eropa dan perlahan-lahan kehilangan jati diri sebagai bangsa Aceh,” katanya menerangkan.
“Karena adanya pengaruh budaya dari luar, Teuku Masoer Leupung membuat hikayat, bertujuan untuk mengembalikan adat dan budaya Aceh,” tambahnya.
Proses menerjemahkan Kitab Sanggamara telah berjalan selama tiga bulan, tujuannya untuk dokumentasi internal, karena menurutnya ungkapan Sanggamara sangat melekat dengan prajurit TNI yang bertugas di Aceh, sehingga ia merasa terpanggil untuk memahami dan mencari tahu arti Sanggamara.
Ketagihan Meuseuraya
Kolonel Jun H Mastra, mengakui telah menaruh hati dan ketagihan melaksanakan kerja amal berupa membersihkan makam kuno, merawat dan menata kembali ke tempat semula.
Meskipun kegiatan meuseuraya (gotong royong) dilakukan rutin setiap hari Jumat pagi, tidak ada kebosanan pada dirinya, ia selalu merasa terpanggil untuk membebaskan makam kuno dari semak belukar serta tertutup dengan tumbuhan liar.
“Saya tidak merasa adanya kejenuhan ketika melaksanakan bersih makam kuno, karena ini kepentingan ibadah, sebagaimana diketahui kebersihan merupakan sebagian dari iman, membersihkan makam kuno ini juga tergolong menjaga kebersihan, sehingga beginilah mencari pahala yang mudah, dengan cara bersih-bersih,” Jun menerangkan.
Ketagihan Jun membersihkan makam kuno bukan hanya sekedar melepaskan keinginan melihat nisan-nisan berkaligrafi terbebas dari tumbuhan yang mengerogoti, Jun merasakan sangat bahagia, seperti rindu yang tersampaikan setelah melaksanakan Meuseuraya.
“Saya sangat senang, bahagia seperti rindu yang tersampaikan ketika makam kuno berhasil dibersihkan, sulit diceritakan namun demikianlah, seperti ada kerinduan terus-menerus melihat nisan kuno kembali berdiri tegak,” cerita Jun mengungkapkan perasaan.
Harapan
Membersihkan makam kuno, apabila tidak berkelanjutan tentu sia-sia, karena semak akan kembali tumbuh dan menyentuh lagi nisan kuno, apabila tidak dilakukan perawatan.
Untuk menjaga nisan kuno, agar selalu dan tetap indah dilihat, dalam hal ini butuh peran masyarakat terutama warga desa yang menetap tidak jauh dari lokasi makam kuno.
“Harapan saya, muncul kepedulian masyarakat, perhatian masyarakat tumbuh terhadap makam-makam kuno, karena masyarakat yang berperan besar dalam melindungi benda-benda bersejarah ini,” harapnya.
“Peran desa juga besar untuk menjaga makam kuno, perangkat desa bisa mensosialisasikan dari pengeras suara, agar masyarakat selalu melihat dan perhatian pada makam kuno di sekitar mereka,” tambahnya memberi solusi.
Akhir percakapan, Jun merincikan keberadaan makam kuno di Aceh bisa menjadi objek wisata religi dan bisa mendatangkan peziarah dari negara luar.
“Dari sisi ekonomi, jika kita menaruh perhatian pada benda bersejarah tersebut, lokasi-lokasi makam kuno bisa dijadikan wisata budaya dan religi, karena banyak juga makam leluhur bangsa-bangsa lain di Aceh, hal ini bisa menjadi daya tarik peziarah untuk mengunjungi makam-makam kuno di Aceh,” tutupnya. (Serambinews.com/Syamsul Azman)
Profil
Nama: Kolonel CHB Jun H Mastra
TTL: Kediri, 24 April 1974
Jabatan: Kahubdam IM September 2021- sampai saat ini
Nama Istri: Susilawati
Nama Anak:
1. Ananta
2. Aditya
3. Tigrisa
4. Cakra.