Kupi Beungoh
Anies dan Omongan Kedai Kopi Aceh: “Batat”, “Lisek”, dan “Peurancut” (II-Habis)
Yang menjadi anomali justru Partai Aceh yang bekerja keras membawa nama Prabowo kehilangan 11 kursi, yang sebagiannya beralih ke Gerindra.
Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
Pada Pilpres 2019 Jokowi berupaya luar biasa untuk menang di Aceh.
Ia melakukan kunjungan sekitar 10 kali dalam masa jabatan pertamanya, terbanyak dari seluruh Presiden RI.
Kimia emosi dengan Aceh, dilakukan dengan publikasi besar-besaran bahwa Jokowi adalah anak Aceh karena pernah tinggal di Gayo dan Lhokseumawe selama tiga tahun, dan bahkan punya orang tua angkat di Bener Meriah.
Semua itu tak mempan, hasilnya justeru lebih tragis dari Pilpres 2014.
Prabowo- Sandi menang telak, lebih dari 85 persen.
Cukup banyak alasan yang membuat kemenangan Prabowo-Sandi pada pada Pilpres 2019 di Aceh.
Konsistensinya sebagai opisisi dan pengaruh gerakan 212 di Jakarta yang “melawan” Ahok sekaligus mengajukan Anies sebagai cagub adalah tiga hal utama yang membuat pemilih Aceh memihak total kepadanya.
Memori pelanggaran HAM Prabowo di Aceh dikesampingkan.
Keislaman Prabowo yang tak jelas, termasuk pengakuannya tak pernah puasa, tak bisa membaca Alquran, dan tak jelas shalatnya, dilupakan.
Kesaksian Ustad Somad, dan totalitas Habib Rizieq Shihab seolah menjadi misi suci Prabowo yang tak ada tandingannya.
Tidak hanya Jokowi-Ma’ruf kalah, partai besutan putra Aceh, Surya Paloh juga dihukum pemilih.
Nasdem kehilangan 2 kursi DPR RI dari Aceh.
Enam kursi NasDem di DPRA hasil Pemilu 2014 juga menguap tak berbekas.
Berbeda dengan nasib Nasdem, saudara angkat Partai Aceh, Gerindra memperoleh keuntungan besar.