Internasional
Kerusuhan Seperti Perang Meletus di Peru, Pemerintah Berlakukan Jam Malam Selama Tiga Hari
Pemerintah Peru mengumumkan pemberlakukan jam malam di wilayah Puno selatan dalam upaya meredam kerusuhan.
SERAMBINEWS.COM, PUNO - Pemerintah Peru mengumumkan pemberlakukan jam malam di wilayah Puno selatan dalam upaya meredam kerusuhan.
Sehari sebelumnya, 18 orang tewas dalam bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan.
Perdana Menteri Peru Alberto Otarola mengatakan jam malam tiga hari akan berlangsung mulai pukul 20.00 hingga 04.00 waktu setempat, seperti dilansir AFP, Rabu (11/01/2023).
Total 40 orang telah tewas selama sebulan protes menuntut Presiden Dina Boluarte mundur, yang mengambil alih setelah penggulingan dan penangkapan Presiden Pedro Castillo pada 7 Desember 2022.
Pada Selasa (10/01/2023) kantor kejaksaan Peru mengatakan sedang membuka penyelidikan genosida terhadap Boluarte dan pejabat tinggi lainnya akibat dari kematian tersebut.
Wilayah Puno yang berbatasan dengan Bolivia dan merupakan rumah bagi banyak orang Pribumi Aymara telah menjadi episentrum gerakan protes yang dipimpin oleh pendukung Castillo.
Baca juga: Kekacauan Pecah di Brasil, Demonstran Sempat Kuasai Gedung Kongres, Istana Kepresidenan dan MA
Demonstran juga menjarah toko dan menyerang kendaraan polisi di wilayah tersebut.
Sebagian besar pertumpahan darah di sana terjadi ketika demonstan mencoba menyerbu bandara di kota Juliaca yang dijaga oleh aparat keamanan.
Sebanyak 14 orang tewas, banyak yang menderita luka tembak, menurut seorang pejabat di rumah sakit Juliaca.
Tiga orang lagi tewas dalam penggeledahan sebuah pusat perbelanjaan di Juliaca.
Sedangkan korban terakhir yang diketahui, seorang petugas polisi yang menurut PBB tewas setelah kendaraannya dibakar.
Pemerintah telah membela tindakan pasukan keamanan di Juliaca, mengklaim mereka yang menjaga bandara menghadapi upaya kudeta terorganisir oleh ribuan demonstran.
Tetapi juru bicara Kantor Hak Asasi Manusia PBB Marta Hurtado meminta pihak berwenang untuk melakukan penyelidikan yang cepat, tidak memihak dan efektif atas kematian dan cedera.
Baca juga: Jaringan Media Sosial Hapus Konten Propaganda, Polisi Brasil Bubar Paksa Sopir Truk Blokade Jalan
Marta meminta pertanggungjawaban mereka dan memastikan para korban menerima akses ke keadilan dan pemulihan.
Protes meletus sebulan yang lalu ketika Castillo yang berhaluan kiri menghadapi beberapa penyelidikan korupsi dipaksa mundur dari jabatannya.
Dia ditangkap atas tuduhan pemberontakan setelah berusaha membubarkan parlemen dan pemerintahan melalui dekrit.
Ketegangan sejak itu meningkat di kota Puno dan Juliaca di mana pemogokan umum selama seminggu telah memaksa bisnis tutup.
Kedua kota tersebut berada pada ketinggian sekitar 3.800 meter dekat perbatasan Andes yang tinggi dengan Bolivia.
Demonstran telah membuat blokade jalan di enam dari 25 departemen di negara itu.
Baca juga: Mahkamah Agung Brasil Perintahkan Penangkapan Pejabat Publik Terlibat Kerusuhan
Para pejabat mengatakan ada 53 blok jalan terpisah.
Di wilayah Andean selatan Ayacucho, ribuan orang berbaris melalui jalan-jalan kota Huamanga menuntut pengunduran diri Boluarte dan pemilihan baru, yang telah dimajukan dari 2026 hingga April 2024.
Jumlah korban tewas membawa teguran dari kantor PBB di Peru, yang menyatakan keprihatinan yang mendalam atas meningkatnya kekerasan.
“Kami mendesak pihak berwenang dan pasukan untuk mengambil tindakan mendesak untuk memastikan penghormatan terhadap hak asasi manusia, hak protes damai,” tambahnya.
Para pemimpin Gereja Katolik, yang dominan di Peru, menyebut kekerasan terbaru itu seperti perang.
“Kami berada di tangan barbarisme,” kata Kardinal Pedro Barreto, uskup agung dari pusat kota Huancayo, kepada stasiun radio RPP.
Pemerintah daerah Puno mengumumkan tiga hari berkabung atas kematian baru-baru ini dan meminta Boluarte untuk mengundurkan diri.
Pada Rabu (11/01/2023) delegasi dari Inter-American Commission on Human Rights akan mengunjungi Peru untuk menyelidiki protes dan tuduhan penindasan politik.
Sebelumnya, mantan presiden Bolivia Evo Morales, yang berasal dari etnis Aymara dan merupakan pemimpin pribumi pertama negaranya, meminta Peru untuk mengakhiri pembantaian saudara-saudara.
Dia telah dilarang memasuki Peru karena pemerintah menuduhnya mencoba mencampuri urusan negara.(*)
Sisa Rumah Firaun di Bawah Tanah Mesir Beredar Luas Media Sosial, Apa yang Sebenarnya Terjadi? |
![]() |
---|
Vietnam Tingkatkan Tunjangan Guru 70 Persen Hingga 100 Persen Bagi Guru di Wilayah Tertinggal |
![]() |
---|
Agni-V Meluncur! Perlombaan Rudal India dan Pakistan Memanas, India Kirim Sinyal Keras ke China? |
![]() |
---|
Satria Kumbara Meringis Kesakitan, TNI Tegaskan Tak Lagi Bertanggung Jawab Kepada Pengkhianat Negara |
![]() |
---|
The Fed Siap Tekan Suku Bunga, Wall Street Bergairah, Trump Ngamuk Lagi? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.