PKL di Lhokseumawe
Jangan Asal Gusur PKL, Pengurus KNPI Lhokseumawe Tawarkan Solusi untuk Pj Wali Kota
“Masyarakat yang berdagang di tepi jalan dalam hal ini PKL, mereka merasa tidak didengarkan dan mereka menganggap Pemko telah...
Penulis: Zaki Mubarak | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Zaki Mubarak | Lhokseumawe
SERAMBINEWS.COM, LHOKSEUMAWE - Terjadinya kericuhan antara pemerintah dalam hal ini Satpol PP dan WH dengan Pedagang Kaki Lima (PKL) di beberapa tempat dalam Kota Lhokseumawe akhir-akhir ini, dipicu karena penertiban yang digelar oleh Pemko setempat dengan cara yang tidak persuasif.
Di mana saat ini Pemko Lhokseumawe rutin menggelar penertiban PKL secara masif dalam mewujudkan Kota Lhokseumawe bersih dan indah.
Namun menurut Wakil Ketua KNPI Kota Lhokseumawe, Samsul Bahri Samudra, terdapat perbedaan pandang antara PKL dan Pemko yang kemudian terjadi penolakan terhadap kebijakan tersebut.
“Masyarakat yang berdagang di tepi jalan dalam hal ini PKL, mereka merasa tidak didengarkan dan mereka menganggap Pemko telah berlaku semena-mena terhadap masyarakat kecil,” jelas Samsul Bahri Samudra, kepada Serambinews.com, Rabu (18/1/2023).
Disebutkannya, untuk itu ia melihat sistem yang berlaku sebelumnya seperti diketahui bersama, untuk kebijakan kepada pedagang tepi jalan pada pemerintahan sebelumnya masih dalam tahapan penataan.
“Seharusnya penggusuran atau disrepair dilakukan dengan tahapan edukasi dan itu tidak dilakukan, jadi terkesan adanya pembiaran terhadap aktivitas disemua tepi jalan. Jika pun ada,cuma sekedarnya saja tanpa ketegasan,” ucapnya.
Ditambahkannya, Pemko Lhokseumawe justru menggelar penertiban paksa yang terkesan arogan.
“Hal tersebut mengakibatkan terjadinya kekerasan yang diterima oleh PKL. Kami rasa ini sangat melukai hati masyarakat, apalagi sebagian besar PKL adalah ibu-ibu setengah baya. Kami sangat keberatan bila sikap seperti itu terjadi. Masyarakat Lhokseumawe adalah masyarakat yang trauma akan konflik, tindakan keras apapun yang diterima akan menjadi pemicu trauma, kami rasa pj walikota dapat memahaminya,” cetusnya.
Jadi sambungnya, pedagang yang terdapat di Desa Mon Geudong kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu yang berstatus janda dan para pengangguran.
“Jauh lebih baik mereka menjalankan usaha mikro untuk menghidupi keluarga mereka. Dari contoh tersebut maka merelokasi atau menutup paksa usaha mereka bukanlah langkah yang tepat. Bila usaha tersebut dihentikan paksa maka akan menjadi hal serius yang berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat menengah kebawah, atau bila mereka direlokasi ke tempat yang tidak strategis juga hasilnya akan buruk,” terangnya.
Untuk itu, sebut Samsul, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Lhokseumawe memandang bahwa pelaku usaha mikro yang terdapat diarea umum atau tepi jalan adalah aset berharga yang harus dijaga, dibina dan diberdayakan sebagai patriot pemberantas pengangguran dan kemiskinan yang sebagian besar dari mereka adalah pemuda.
“Sebagai aset berharga sudah sepantasnya pemerintah memberikan bekal kepada PKL berupa fasilitas inovatif agar Kota Lhokseumawe menjadi lebih indah serta dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang berkunjung. Serta KNPI Kota Lhokseumawe mendukung penuh UMKM yang berdaya demi kejayaan Kota Lhokseumawe,” pungkasnya.(*)
