Opini
Masa Depan Investasi Migas Aceh
Conrad Asia Energy Ltd-Singapura sebagai pemenang tender adalah perusahaan besar yang telah lama berkecimpung dan sangat berpengalaman dalam eksploras
Oleh Dr Drs H Nadhar Putra M Si, ASN Pemerintah Kabupaten Pidie dan Analis Kebijakan Publik
ADA sebuah berita gembira di pembuka tahun 2023, Achmad Marzuki Pj Gubernur Aceh bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyaksikan secara langsung penandatanganan kontrak kerja sama eksplorasi migas untuk Wilayah Kerja (WK) Offshore North West Aceh (ONWA) Block Meulaboh (Aceh Barat) dan Offshore South West Aceh (OSWA) Block Singkil (Aceh Singkil).
Kontrak kerja sama tersebut dibubuhi tanda tangan Kepala Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA) dan CEO Conrad Asia Energy Ltd - Singapura. Ceremonial berlangsung di Gedung Heritage Kantor Kementerain ESDM-Jakarta pada tanggal 5 Januari 2023.
Conrad Asia Energy Ltd-Singapura sebagai pemenang tender adalah perusahaan besar yang telah lama berkecimpung dan sangat berpengalaman dalam eksplorasi dan eksploitasi migas lepas pantai (offshore) dan telah memiliki beberapa Wilayah Kerja (WK) di Indonesia. Adapun besarnya cakupan area eksplorasi Offshore North West Aceh (ONWA) Block Meulaboh adalah 9.200 Km2 dan Offshore South West Aceh (OSWA) Block Singkil adalah 8.200 Km2. Besarnya investasi pada tahap eksplorasi ini adalah 30 juta USD.
• Terkait Draf Revisi UUPA, Masyarakat Sipil Aceh Usul Kedaulatan Tata Kelola Migas Aceh
Kedua Wilayah Kerja (WK) ini berada di fore arc basin dengan risiko geologi rata-rata moderate to high risk khususnya dalam hal migration dan keberadaan bebatuan induk. Sebelum kerjasama eksplorasi ini ditandatangani, joint study telah dilakukan pada pertengahan 2019 dan berakhir pada tahun 2020.
Eksplorasi perdana
Momen ini merupakan peristiwa penting dan sangat menggembirakan bagi Investasi Migas Aceh, paling tidak dapat dilihat dari dua hal. Pertama, kerja sama eksplorasi lepas pantai Blok Meulaboh dan Blok Singkil adalah kerja sama eksplorasi perdana di sepanjang wilayah potensial pantai barat dan selatan.
Berdasarkan hasil joint study, eksplorasi ini diyakini akan berkembang ke tahap eksploitasi dan sangat berpeluang dibukanya Wilayah Kerja eksplorasi dan eksploitasi baru. Tentu ini sangat menggembirakan bagi isu Ketenagakerjaan dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh.
Kedua, bahwa Pengelolaan Migas Aceh mulai didasari amanah butir 1.3 dalam MOU Helsinki dan pasal 160 (ayat 1-5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal-pasal tersebut berbunyi: (1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan di laut di wilayah kewenangan Aceh. (2) Untuk melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1,
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh dapat menunjuk atau membentuk suatu badan pelaksana yang ditetapkan bersama. (3) Kontrak kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi dalam rangka pengelolaan minyak dan gas bumi dapat dilakukan jika keseluruhan isi perjanjian kontrak kerja sama telah disepakati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh.
(4) Sebelum melakukan pembicaraan dengan Pemerintah Pusat mengenai kontrak kerja sama sebagaimana pada ayat 3, Pemerintah Aceh harus mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Selanjutnya (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai hal sebagaimana dimaksud pasal 1-3, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Perjuangan panjang
Dalam hal pengelolaan Migas Aceh ini, perjuangan masyarakat dan pemerintah Aceh belum selesai ketika diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Pasal-pasal dari aturan perundangan tersebut belum dapat dieksekusi sebelum diterbitkannya aturan pelaksanaan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Dengan perjuangan panjang dan melelahkan, sembilan tahun kemudian barulah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama SDA Minyak dan Gas Bumi di Aceh. PP yang memuat 14 bab dan 94 pasal ini mengatur detail tentang Prinsip-prinsip Umum Pengelolaan SDA Migas Aceh, Kewenangan Pengelolaan Migas Aceh, Pelaksanaan Survei Umum dan Data Migas Aceh, Pembentukan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), Penetapan Wilayah Kerja Migas Aceh, Penandatanganan Kontrak Kerja sama, Persentase Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh, serta hal-hal lain yang mengatur tentang Kewajiban Pasca Eksplorasi dan Eksploitasi SDA Migas Aceh.
Pasal 2 PP ini menyebutkan bahwa: SDA Minyak dan Gas Bumi di Aceh yang berada di darat dan laut di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh melakukan pengelolaan bersama SDA Minyak dan Gas Bumi di wilayah kewenangan Aceh. Untuk melaksanakan pengelolaan bersama, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh membentuk Badan pengelola Migas Aceh.
Selanjutnya pada pasal 3 diterangkan bahwa Kewenangan pengelolaan SDA Minyak dan Gas Bumi yang berada pada wilayah laut 12-200 mil dari wilayah kewenangan Aceh, dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dengan mengikutsertakan Pemerintah Aceh.
Keikutsertaan Pemerintah Aceh dalam Pengelolaan tersebut dilakukan melalui kegiatan Pengawasan dan Pemantauan terhadap Laporan Produksi Migas. Ayat 3 pada pasal ini juga menjelaskan bahwa Kontraktor Wilayah Kerja (WK) wajib menyampaikan Laporan Produksi Migas secara berkala kepada Gubernur Aceh.
Organ penting
Organ penting dalam pengelolaan Migas Aceh adalah BPMA yang secara struktural berkedudukan di bawah menteri ESDM dan bertanggung jawab kepada Menteri ESDM dan Gubernur Aceh. BPMA adalah badan pemerintah yang bersifat nirlaba dengan tugas melakukan pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan terhadap kontrak kerja sama kegiatan usaha hulu agar pengambilan SDA Minyak dan Gas Bumi milik negara yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Achmad Marzuki yang mantan Pangdam Iskandar Muda dipastikan menguasai betul teritorial Aceh, khususnya tentang Analisis Potensi Wilayah (Anpotwil) Aceh di bidang Migas. Pj Gubernur ini juga sangat yakin bahwa UU Pemerintahan Aceh dan PP 23 Tahun 2015 akan dapat dijadikan instrumen hukum untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Tentu saja Investasi Migas Aceh menjadi prioritas utama.
Bagi hasil Migas
Dulu, Aceh memang terkenal sebagai andalan produsen Migas Indonesia namun fakta tersebut tidak memberikan impact bagi kesejahteraan masyarakat Aceh, ini disebabkan karena saat itu belum ada pembagian hasil yang jelas antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh.
Kini, PP 23 Tahun 2015 menguraikan dengan jelas pembagian hasil Migas Aceh yang terdiri dari 3 katagori, yaitu bagi hasil dari: Penerimaan Negara Berupa Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak, penerimaan Bonus Tanda Tangan dan penerimaan Bonus Pencapaian Target Produksi.
Penerimaan Negara Berupa Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak dari pengelolaan Migas Aceh, Pemerintah Pusat mendapatkan 70 persen dan Pemerintah Aceh mendapatkan 30 % . Penerimaan dari Bonus Tanda Tangan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), Pemerintah Pusat mendapatkan 50
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.