Ternyata Ini Masalahnya Kenapa Aceh Sulit Punya Bendera Walau Sudah Tertuang di UU dan Qanun

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 atau yang lebih dikenal dengan UUPA, jelas disebutkan kewenangan Aceh soal bendera.

Penulis: Sara Masroni | Editor: Faisal Zamzami
SERAMBI FM/ILHAM
Kiri ke kanan - Ketua Banleg DPRA Mawardi M SE akrab disapa Tgk Adek, Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Dr Taufiq Abdul Rahim dan Direktur Eksekutif Katahati Institute Raihal Fajri MPd menjadi narasumber talkshow dalam program Serambi Podcast bersama Hurriah Foundation bertajuk Menyoal Perubahan Bendera Aceh dipandu host Iska Novita di Studio Serambi FM, Jumat (27/1/2023). 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Direktur Eksekutif Katahati Institute, Raihal Fajri MPd menjelaskan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 atau yang lebih dikenal dengan UUPA, jelas disebutkan kewenangan Aceh soal bendera.

Di antaranya pada pasal 246-248 yang menyebutkan kewenangan Pemerintah Aceh untuk menetapkan bendera, lambang dan himne Aceh sebagai kekhususan daerah berjuluk Serambi Mekkah ini hingga terbentuknya Qanun Nomor 3 Tahun 2013.

Kewenangan ini mengatur dengan jelas bahwa Aceh bisa membentuk Qanun atau daerah lain disebutnya Perda.

Hal itu cukup dengannya pembahasan DPRA dan gubernur, atau wali kota dan bupati dengan DPRK untuk mendapat persetujuan bersama.

Pasal tersebut juga jelas disebutkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 pada pasal 23 juncto pasal 232.

 

 

Artinya Qanun Aceh disahkan oleh gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA.

"Tidak ada sebutan secara khusus harus ke Mendagri, dua pasal tadi disebutkan kewenangan soal bendera dan bagaimana Aceh itu bisa merumuskan qanun," kata Raihal dalam program Serambi Podcast bersama Hurriah Foundation bertajuk Menyoal Perubahan Bendera Aceh dipandu host Iska Novita di Studio Serambi FM, Jumat (27/1/2023).

"Ini kan ceritanya mentok di Mendagri dan itu hampir sembilan tahunan.

Saya pikir itu bagaimana sikap pemerintahan pusat dan Pemerintah Aceh untuk melihat ini sebagai bagian dari perwujudan dan menjaga perdamaian berkelanjutan di Aceh," tambahnya.

Menurut Direktur Eksekutif Katahati Institute, hal ini momentum penting sebab Aceh punya peluang besar karena UUPA sedang didiskusikan dalam proses review untuk direvisi.

Dengan demikian, soal kewenangan Aceh dan lain-lain harus segera dibicarakan dan dijelaskan dalam proses revisi ini.

"Kenapa tiba-tiba kok urusan bendera ini gak selesai-selesai, padahal ada ruang-ruang kosong yang kemudian tidak mempertemukan para pihak untuk mendiskusikan ini," katanya.

Sementara Ketua Banleg DPRA, Mawardi M SE akrab disapa Tgk Adek menyampaikan, masalah bendera hanyalah sebagian kecil dari konsensus perjanjian MoU Helsinki.

"Ada hal yang besar, masalah perut yaitu tentang ekonomi, pembagian hasil (Migas) 70/30, pengelolaan pelabuhan bebas Sabang dan kewenangan-kewenangan Aceh yang menyangkut penambahan PAD," kata Tgk Adek.

"Kemudian tentang hak Aceh mengelolah alam, baik itu Migas dan juga Minerba, sampai hari ini juga itu Aceh belum mendapatkan apa-apa," tambahnya.

Kemudian mengenai isu bendera Aceh, menurutnya Pemerintah Aceh dan Pemerintah Indonesia tidak akan sanggup menyelesaikan persoalan ini bila dihadapkan dua institusi pemerintah.

"Karena yang berdamai itu GAM dan Republik Indonesia, disuruh selesaikan sama Pemerintah Aceh yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, itu tidak akan pernah selesai," ungkap Tgk Adek.

Perintah Aceh mendapat lambang dan bendera itu melalui Undang-Undang, kemudian mental dengan Peraturan Pemerintah (PP) yang bersifat secara kewenangan.

"Ini menjadi sebuah persoalan sebenarnya, bahasa selorohnya Indonesia juga keteteran dalam hal poin itu sendiri," ungkap Tgk Adek.

Dengan demikian, menurutnya persoalan bendera sebenarnya bukan lagi polemik di tingkat Aceh. Sebab rakyat Aceh, Pemerintah Aceh dan DPRA sudah final soal itu.

"Yang ada polemik pemerintah pusat, terkesan takut kalau mereka memberi bendera tersebut seakan-akan Aceh sudah merdeka," ujar Tgk Adek.

"Padahal orangnya, GAM sudah diberikan amnesti untuk kembali reintegrasi menjadi bagian daripada NKRI, kenapa lambangnya ditinggal," tambahnya.

Pihaknya berharap kepada seluruh rakyat Aceh untuk terus memperjuangkan hak-hak yang sudah diberikan.

"Saya tidak sepakat dan memang tidak menjadi relevan mengangkat isu bendera ketika sudah mendekati masa-masa tahun politik, karena yang jadi korban kami Partai Aceh," ungkap Tgk Adek.

"Karena setiap mau perhelatan akbar Pemilu, selalu dikait-kaitkan ini Partai Aceh angkat lagi isu bendera, mereka menjual lagi ini bahan kampanye, tidak!" tambahnya.

Ia kembali menegaskan bahwa masalah bendera hanyalah sebagian kecil dari konsensus perjanjian MoU Helsinki soal perdamaian Aceh.

Hal yang lebih besar sebenarnya memperjuangkan hak-hak Aceh seperti bagi hasil Migas, Pelabuhan Bebas Sabang hingga kewenangan-kewenangan lainnya yang menyangkut penambahan PAD Aceh.

"Saya melihat kalau hal ini terus menerus ada pembiaran dari pemerintah pusat, tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan persoalan ini, tentu akan menjadi sebuah bom waktu," kata Tgk Adek.

"Dan kami berharap, persoalan yang tidak mampu diselesaikan antara Pemerintah Aceh dan pemerintah pusat dalam konteks UUPA, maka itu harus dikembalikan kepada pembuat perdamaian biar selesai," pungkasnya.

Sementara Akademisi Universitas Muhammadiyah Aceh (Unmuha), Dr Taufiq Abdul Rahim berpendapat, bendera adalah identitas ke-Acehan.

Menurutnya, harkat dan martabat Aceh dianggap ada pada bendera tersebut.

Akademisi Unmuha itu berujar, persoalan bendera pada dasarnya sudah selesai, namun kenyataannya setiap ada yang menaikkan bendera Aceh maka akan berurusan dengan penegak hukum.

"Kenapa setiap yang menaikkan bendera itu, jangankan kita rakyat, anggota DPR kena tumbok, ini masalah," ungkap Taufiq.

Akademisi Unmuha itu berujar, masalah bendera adalah identitas dan kalau tidak dibolehkan lebih baik dilepaskan saja.

"Hak orang Aceh bicara tentang bendera," ungkap Taufiq.

Menurutnya ada pihak yang menekan secara psikologis agar eksekutif dan legislatif tidak memperjuangkan soal bendera ini dengan serius.

Pihaknya sebagai akademisi meminta keseriusan eksekutif dan legislatif agar bersama-sama memperjuangkan hal ini.

"Berani gak legislatif memerintahkan seluruh kantor pemerintahan yang ada di 23 kabupaten/kota menaikkan bendera itu. Kita kan punya hak dan wewenang," ungkap Taufiq.

Persoalan bendera terlihat sepele, namun menurutnya hal ini adalah identitas yang mesti diperjuangkan.

"Nah ketidakjelasan (identitas) Aceh hari inilah yang harus diperjuangkan ke pemerintah pusat," pungkasnya.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved