Kisah Viral

Kisah Jason Arday, Pria tak Bisa Bicara dan Menulis hingga 18 Tahun, Tapi Kini Bergelar Profesor

Dia mengingat bagaimana dirinya sangat tergerak oleh penderitaan orang lain dan merasakan dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu.

Editor: Ansari Hasyim
SERAMBINEWS/BBC News Indonesia
Prof Arday berkata, saat belajar untuk gelar PhD di malam hari dia "menikmati" kritikan yang ditujukan pada karya-karyanya. 

SERAMBINEWS.COM - Meski belum bisa berbicara, Jason Arday kecil selalu memiliki pertanyaan tentang dunia di sekitarnya.

"Mengapa ada orang yang tidak punya rumah dan hidup di jalan?" dia ingat pernah menanyakan itu. "Mengapa ada perang?"

Lahir dan besar di Clapham, di barat daya Kota London, Prof Arday yang seorang sosiolog berkata beberapa momen terpenting dalam hidupnya adalah menyaksikan Nelson Mandela dibebaskan dari penjara dan melihat kemenangan simbolis Afrika Selatan di Piala Dunia Rugby pada 1995.

Dia mengingat bagaimana dirinya sangat tergerak oleh penderitaan orang lain dan merasakan dorongan yang kuat untuk melakukan sesuatu.

Kisah Viral Becak Hilang Dibawa Kabur, Kakek di Medan Dapat Hadiah Rumah dan Becak Baru

"Saya berpikir, kalau saya tidak bisa menjadi pemain sepak bola atau pemain snooker profesional, maka saya akan mencoba menyelamatkan dunia," kata dia.

Dikutip Serambinews.com dari laman BBC News Indonesia dalam artikel berjudul 'Saya tidak bisa menulis dan membaca sampai usia 18 tahun, sekarang saya profesor di Universitas Cambridge' - Jason Arday didiagnosis dengan autisme dan keterlambatan perkembangan umum di saat kecil.

Ia tidak bisa berbicara sampai usianya 11 tahun dan tak bisa menulis serta membaca hingga 18 tahun.

Kini di usia 37 tahun, dia akan menjadi pemuda kulit hitam termuda yang diberi gelar profesor di Universitas Cambridge.

Ibu Jason berperan besar dalam mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuannya.

Dia lah yang memperkenalkannya dengan berbagai macam musik dengan harapan ini akan membantu Jason dengan konseptualisasi bahasa.

Semua musik ini belakangan kemudian menarik minatnya akan budaya populer yang mewarnai beberapa penelitiannya.

Didukung oleh mentor, tutor sekolah, dan temannya Sandro Sandri, Prof Arday akhirnya mulai membaca dan menulis di usia akhir belasan tahun.

Dia lalu belajar Edukasi Fisik dan Studi Pendidikan di Universitas Surrey sebelum mengambil pelatihan untuk menjadi guru olah raga.

Tumbuh di area yang relatif miskin kemudian bekerja sebagai guru sekolah, kata dia, telah memberinya pengalaman langsung dalam merasakan ketimpangan sistemik yang dialami anak-anak muda dengan etnis minoritas dalam pendidikan.

Di usia 22 tahun, Prof Arday tertarik dengan gagasan untuk menempuh pendidikan pascasarjana dan mendiskusikannya dengan sang mentor.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved