Jurnalisme Warga

Belajar Menulis Kreatif di Writing Camp 3R 2023

Komunitas yang biasa disebut 3R itu menyelenggarakan kegiatan ini agar para peserta mampu menghasilkan karya tulis sekaligus dapat dipublikasikan.

Editor: mufti
IST
HUSNA AJRINA, alumnus FMIPA Fisika Universitas Syiah Kuala dan Pengajar di jeutbahasa.co., melaporkan dari Aceh Besar 

HUSNA AJRINA, alumnus FMIPA Fisika Universitas Syiah Kuala dan Pengajar di jeutbahasa.co., melaporkan dari Aceh Besar

SELAMA tiga hari pada Sabtu–Senin, 18–20 Maret 2023, saya berkesempatan mengikuti Writing Camp 2023 yang dilaksanakan oleh Rumah Relawan Remaja. Komunitas yang biasa disebut 3R itu menyelenggarakan kegiatan ini agar para peserta mampu menghasilkan karya tulis sekaligus dapat dipublikasikan.

Ini bukan kali pertama saya mengikuti acara 3R. Saya mengenal 3R sejak bergabung sebagai relawan pustakawan di salah satu Pustaka Impian–perpustakaan desa yang diinisiasi oleh 3R— di beberapa desa di Aceh. Komunitas ini didirikan pada 2013 oleh Perdana Romi Saputra dan kini diketuai oleh Rahmiana  Rahman.

3R memiliki wilayah kerja di empat kabupaten, yaitu Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Tamiang, dan Aceh Selatan. Adapun markasnya berada di Gampong Lamlumpu, Peukan Bada, Aceh Besar.

Sebagai komunitas yang bekerja untuk kegiatan kemanusiaan, 3R bukan sekadar komunitas dengan berbagai program sosial, melainkan juga sebuah komunitas yang menerapkan konsep hidup sederhana dalam berkomunitas yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari para relawan.

Tidak heran, jika kita berkunjung ke basecamp 3R, kita akan melihat kehidupan relawan yang terbiasa memasak dan bersantap bersama-sama seperti sebuah keluarga besar. 

Relawan laki-laki dan perempuan mendapat tugas yang sama dalam hal memasak. Seolah melawan stigma yang sudah biasa kita dengar bahwa memasak hanya urusan perempuan. Di 3R relawan laki-laki pun harus lihai dalam mengolah makanan.

Sepuluh orang relawan inti memang tinggal layaknya keluarga besar di basecamp 3R. Merekalah yang paling aktif menyusun program-program 3R, seperti Program Peace Camp, Peace School, maupun Community Sharing. Tak terkecuali  kegiatan yang kali ini saya ikuti, yakni Writing Camp 2023.

Acara dimulai sesuai waktu yang tertera pada skedul  yang telah dibagikan kepada peserta. Tepat pukul 14.30 WIB, relawan 3R, Maghfudh, membuka acara yang berlangsung di lantai dua ruangan berdinding kayu dan di antara rak-rak besar berisi berbagai koleksi buku—ruang perpusatakaan di markas 3R.

Selaku moderator sekaligus penanggung jawab acara, Mahfudz menyampaikan bahwa ini Writing Camp Batch 1. Ia juga mengingatkan agar peserta menyimak dengan baik materi-materi penting yang nanti akan disampaikan oleh pemateri.

Seolah mengingatkan saya, “Simaklah dengan baik dan jangan lupa dicatat.” 

Seperti kata Imam Syafi’i, ”Ilmu adalah buruan, dan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat. Termasuk kebodohan kalau kamu memburu kijang, setelah itu kamu tinggalkan terlepas begitu saja.”

Dengan sebuah buku catatan dan pulpen, saya bersama sepuluh peserta lainnya sudah siap berburu ilmu tentang kepenulisan. Ihan Nurdin yang berprofesi sebagai jurnalis menjadi pemateri tunggal pada Writing Camp 2023 ini. 

Ihan membuka acara dengan menyapa para peserta yang hampir semua dia kenali. Hanya satu dua orang yang belum pernah dilihat sebelumnya. Ini memang bukan kali pertama Ihan berbagi pengetahuan tentang kepenulisan di 3R karena 3R rutin mengedukasi dan mengadakan sharing session untuk Guru Impian–sebutan untuk relawan inti yang ditugaskan untuk mengajar di beberapa desa terpencil di Aceh sebagai upaya pendidikan alternatif.

Ihan sempat beberapa kali menjadi pemateri untuk Kelas Menulis 3R. Jurnalis perempuan asal Aceh Timur ini membagikan pengalamannya terkait kepenulisan agar cerita dan pengalaman berkesan setiap relawan 3R dapat dituliskan yang nantinya akan dipublikasinya di buletin Rumah Relawan Remaja. Jika dilihat dari postingan Instagram, hingga Maret 2023, 3R sudah menerbitkan 47 edisi buletin.

“Teman-teman pernah kayak ini enggak? Sudah stand by di depan laptop, tetapi malah tertidur. Banyak yang ingin dituliskan, tetapi tak satu kalimat pun berhasil ditulis. Sampai akhirnya menyimpulkan menulis itu susah?” tanya Ihan mengawali materi pertama tentang Teknik Menulis Reportase.

Beberapa peserta menyahut, “Saya banget itu, Kak.” 

Sembari tersenyum Ihan mulai menjelaskan, “Teman-teman, perlu kita ubah mindset kita terlebih dahulu. Menulis bukanlah bakat, melainkan keterampilan yang bisa dilatih dan menulis bisa meningkatkan value seseorang.” 

Ia juga menceritakan sekilas tentang kisahnya menjadi penulis. Walaupun latar belakang pendidikannya ekonomi akuntansi, tetapi ia bisa berkarier dalam dunia kepenulisan seperti saat ini dengan menjadi jurnalis, editor, dan script writer. Hal ini menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang penulis bisa dari latar belakang apa pun. Yang penting adalah latihan yang berkelanjutan.

“Teknik reportase berupa observasi, wawancara, dan riset data menjadi sebuah cara agar ketika menulis tidak stuck atau kehabisan ide dalam menulis. Kalau mau menulis maka tentu harus tahu terlebih dahulu  informasi yang ingin dituliskan. Ada input, ada output,” tegasnya.

Materi pada hari pertama diakhiri dengan tugas menentukan tema, topik, dan judul tulisan. Setiap peserta diharapkan mampu menghasilkan tulisan dari pengalamannya selama menjadi relawan 3R minimal seribu kata. Tulisan inilah yang menjadi bahan bagi tiap-tiap peserta untuk disunting setelah mendapatkan materi mengenai Teknik Swasunting.

Ice breaking dengan iringan lagu “Gemu Fa Mi Re” menjadi pembuka kegiatan pada hari kedua. Melakukan ice breaking sebelum memulai kegiatan memang sudah menjadi ciri khas 3R supaya peserta tidak lesu. Saya juga pernah melihatnya ketika mengikuti kegiatan lain yang dilaksanakan oleh 3R. Tidak hanya peserta, Ihan selaku pemateri juga ikut bergabung dan semangat menari pada sesi ice breaking hari itu.

Untuk bisa melakukan swasunting, Ihan mengenalkan kami jenis-jenis kesalahan pada tulisan, mulai dari kesalahan nalar, data, berbahasa, hingga yang paling sering terjadi yaitu kesalahan ketik. Penulis buku antologi cerpen Rihon itu juga mencontohkan kesalahan-kesalahan yang paling sering dilakukan penulis, seperti penggunaan kata tidak sesuai KBBI dan tanda baca yang tidak sesuai penempatannya. 

Ia menjelaskan materi dengan cukup detail dan lugas. Saya sendiri dibuat takjub olehnya. Bagaimana tidak, sesekali saya tersadar ternyata beberapa yang dijelaskan pemateri terkait kesalahan penulisan adalah hal yang sering saya lakukan saat menulis selama ini.

Swasunting ini bertujuan agar kita dapat menulis sejernih kristal. Begitu kira-kira hal yang dapat disimpulkan dari materi hari kedua.

Hari ketiga kegiatan ini ditutup dengan kegiatan menyunting bersama tulisan hasil karya peserta Writing Camp 2023. Baru selesai membahas dua tulisan saja tidak terasa waktu telah berakhir. Walaupun belum sempat mengoreksi semua tulisan secara langsung, Ihan berjanji akan membantu untuk memonitoring peserta dalam melakukan swasunting tulisan peserta via daring. 

Menentukan sudut pandang yang jelas dalam menulis sebuah tulisan adalah poin utama yang dapat saya ambil dari mengikuti kegiatan yang diadakan oleh 3R kali ini. Beberapa pertanyaan tentang penulisan yang masih membingungkan saya selama ini sudah terjawab. Tinggal bertekad dan rajin berlatih saja sekarang. “Biasakan melihat kamus! Selain agar kata yang kita gunakan saat menulis itu tepat, juga dapat memperkaya kosakata saat menulis,” demikian pesan pemateri saat menutup pelatihan itu.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved