Breaking News

Berita Viral

Bumi Masuki Era ‘Mendidih’, Juli Menjadi Bulan Terpanas: Pecahkan Rekor

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, Bumi telah memasuki era ‘mendidih’ setelah suhu panas bulan Juli pecahkan rekor.

Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Taufik Hidayat
SAM PANTHAKY / AFP
Pemanasan Global Berakhir, Bumi Masuki Era ‘Mendidih’, Juli Menjadi Bulan Terpanas: Pecahkan Rekor. | Foto Ilustrasi 

Pemanasan Global Berakhir, Bumi Masuki Era ‘Mendidih’, Juli Menjadi Bulan Terpanas: Pecahkan Rekor

SERAMBINEWS.COM – Dunia mencatat bahwa Juli menjadi bulan terpanas, memecahkan rekor dari yang sebelumnya pernah terjadi.

Ini menandakan bahwa pemanasan global yang terjadi beberapa tahun belakang telah berakhir.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, Bumi telah memasuki era ‘mendidih’ setelah suhu panas bulan Juli pecahkan rekor.

Karena itu, PBB memperingatkan bahwa umat manusia yang berada di dalam bumi ini berada dalam situasi berbahaya.

Data yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), badan iklim Eropa, dan Organisasi Meteorologi dan lembaga Copernicus menunjukkan suhu rata-rata di tiga pekan pertama bulan Juli 2023 jauh lebih tinggi dari rekor sebelumnya yang tercatat di tahun 2019.

Data juga menunjukkan 21 hari dari 30 hari terpanas di Bumi terjadi selama bulan Juli 2023.

Ilustrasi suhu panas.
Ilustrasi suhu panas. (Shutterstock)

Sekjen PBB Antonio Guterres dalam pidato yang disiarkan pada Kamis (27/7/2023) malam mengatakan, terjadi "zaman es skala kecil", karenanya Juli 2023 terjadi pecah rekor panas dalam sejarah Bumi.

"Perubahan Iklim sudah terjadi. Ini sangat menakutkan dan ini baru permulaan," katanya, dikutip dari ABC News.

"Era pemanasan global sudah berakhir. Era bumi mendidih sekarang sudah tiba,”

"Dampaknya sangat jelas dan kebanyakan tragis, anak-anak hanyut karena banjir, keluarga yang harus mengungsi dari gelombang panas, para pekerja pingsan karena panas yang mendidih."

"Sebagian wilayah yang luas di Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa, sedang mengalami panas yang menyengat,”

"Bagi seluruh penghuni planet bumim ini adalah bencana,” ujarnya.

Analisa terpisah mengenai suhu udara selama bulan Juli yang diterbitkan oleh Karsten Haustein, ilmuwan cuaca dari Leipzig University, Jumat (21/7/2023), memperkirakan suhu bulan Juli keseluruhan 0,2 derajat Celsius lebih hangat dibandingkan bulan Juli 2019.

Dr Haustein mengatakan, tidak saja Juli menjadi bulan terpanas dalam sejarah, tapi juga kemungkinan terpanas dalam ribuan, bahkan belasan ribu tahun terakhir.

"Kita mungkin harus mundur ke era Eemian sekitar 120.000 tahun lalu untuk menemukan kondisi yang sama," katanya.

Belahan Bumi Utara Paling Panas

Suhu udara di bulan Juli adalah suhu rata-rata di dunia, artinya ada bagian dunia yang sangat panas karena sebagian lagi sedang dalam musim dingin.

Gelombang panas dilaporkan terjadi di berbagai belahan dunia seperti di Eropa bagian selatan, Asia Tenggara, Afrika Utara dan Amerika Serikat.

Suhu yang tinggi melebihi rekor ini juga menyebabkan kebakaran di Yunani, Kanada dan Aljazair.

Menurut laporan Meteorologi China, stasiun pemantau cuaca Sanbao di Turpan yang terletak di provinsi Xinjiang mencatat suhu 52,2 derajat Celsius pada 16 Juli, sehingga menciptakan rekor baru bagi negara tersebut.

Suhu udara permukaan laut juga mencapai rekor tertinggi.

Bahkan di Kutub Selatan, yang sekarang ini sebenarnya masih musim dingin, menambah rekor dengan suhu yang lebih tinggi dari biasanya.

Ilmuwan cuaca dari University of New South Wales Associate, Professor Sarah Perkins-Kirkpatrick mengatakan, semua ini tentu saja berdampak besar bagi manusia penghuni planet Bumi.

"Kita berbicara mengenai suhu di 40 derajat atau lebih tinggi yang terjadi hampir setiap hari selama gelombang panas di daerah seperti Italia dan Yunani," katanya.

"Ini sangat menyiksa. Tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan hal tersebut. Seberapa pun bugarnya Anda,” tambahnya.

ILUSTRASI
ILUSTRASI (Kompas.com)

Apa Penyebabnya?

Penyebab pemecahan rekor suhu panas tersebut disebabkan karena meningkatnya emisi gas rumah kaca.

"Memang kemungkinan gelombang panas terjadi di musim panas, namun tidak akan terjadi selama ini atau sekuat ini tanpa adanya perubahan cuaca," kata Perkins-Kirkpatrick.

Direktur Institute for Climate, Energy and Disaster Solutions, Mark Howden mengatakan, yang juga mengkhawatirkan adalah fenomena cuaca El Nino baru mulai terjadi lagi.

Dampak udara panas ini memang bervariasi antarnegara, namun secara keseluruhan membuat suhu udara global lebih tinggi dari rata-rata.

"Hal yang mengkhawatirkan adalah kita mengalami musim panas yang sangat hangat di bumi bagian utara padahal dampak dari munculnya El Nino terkait temperatur global belum terasa" kata Dr Howden.

"Jadi ketika hal itu terjadi dan itu bisa saja terjadi dalam beberapa bulan mendatang, kita akan melihat berlanjutnya suhu panas ini."

Tindakan Cepat Diperlukan

Rekor suhu tinggi membuat para pakar mengatakan perlunya usaha untuk mengurangi emisi gas rumah kaca lebih cepat dari sekarang, serta mempersiapkan diri lebih baik untuk masa depan.

"Rasanya mengerikan melihat gambar-gambar kebakaran di Yunani saat ini," kata Perkins-Kirkpatrick.

"Apa yang terjadi di Australia tiga tahun lalu bukanlah satu peristiwa terpisah begitu saja. Sekarang sudah terjadi di mana-mana dan akan terus terjadi."

"Saya merasa bahwa kita belum mempersiapkan diri dengan baik,” sambungnya.

Dalam pidatonya, Sekjen PBB Antonio Guterres menyerukan pengambilan tindakan lebih cepat dan lebih jauh, termasuk target pengurangan gas rumah kaca baru dari negara-negara G-20 dan peningkatan investasi di bidang cuaca.

"Udara sudah tidak bisa kita hirup, suhu sudah tidak tertahankan, seemntara mendapat keuntungan dari bahan bakar fosil serta tidak adanya tindakan di bidang cuaca tidak bisa bisa diterima."

"Kita sudah mencapai beberapa kemajuan, namun semua itu tidak cukup atau kecepatannya belum memadai,” pungkasnya. (Serambinews.com/Agus Ramadhan)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved