Video

VIDEO - Milenial dan Gen Z Lintas Agama Dialog soal Kerukunan, Benarkah Aceh Intoleran?

Surya Edi Rachman mempertanyakan apakah betul Aceh intoleran, sehingga itulah yang menjadi alasan kenapa terselenggaranya diskusi ini.

Penulis: Sara Masroni | Editor: Teuku Raja Maulana

Laporan Sara Masroni

SERAMBINEWS.COM - Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh menggelar dialog kerukunan pemuda lintas agama di Aceh sekaligus penandatanganan kerja sama dengan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Ar-Raniry di Ivory Cafe, Banda Aceh, Jumat (29/9/2023).

Dalam dialog bertajuk "Harmoni dalam Keberagaman" itu, sejumlah milenial dan Gen Z lintas agama menyampaikan pendapatnya soal moderasi beragama di Aceh.

Membuka dialog tersebut, Analis Kebijakan Ahli Muda sub Ketahanan Ekonomi Sosial Budaya, Badan Kesbangpol Aceh, Surya Edi Rachman menyampaikan, perlu didiskusikan lagi mengenai beberapa survei yang menyebut Aceh selama ini sebagai provinsi intoleran.

Dia mempertanyakan apakah betul Aceh intoleran, sehingga itulah yang menjadi alasan kenapa terselenggaranya diskusi ini.

Sementara Dekan FDK UIN Ar-Raniry, Prof Kusmawati Hatta menyampaikan, dari sisi dunia pendidikan di Aceh, khususnya kampus, sangat menjunjung tinggi moderasi beragama.

Menurutnya, selama ini masyarakat nonmuslim bebas berkehidupan di Aceh, mulai dari menjalani perekonomian, sosial hingga menempuh pendidikan.

Buktinya, bahkan secara ekonomi sebagian nonmuslim lebih maju dari umat muslim setempat. Hal ini menurutnya tidak mungkin terjadi bila Aceh intoleran.

Dekan FDK UIN Ar-Raniry itu berharap, ke depan perlu ditingkatkan lagi dialog lintas agama agar, pola pikir khususnya anak-anak muda semakin terbuka dan menghargai keberagaman.

Hal yang sama diungkapkan Ketua Pemuda Muhammadiyah Aceh, Musliadi M Tamin. Menurutnya, tidak ada umat yang dihalang-halangi di Aceh dalam hal beragama.

Pihaknya juga berharap anak-anak muda khususnya milenial dan Gen Z agar saling berteman dengan teman yang lintas agama.

Supaya sikap saling menghargai antarumat beragama dan sikap toleran dapat terus terjaga ke depan.

Pembicara lainnya, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) UIN Ar-Raniry, Syahril Furqani menyampaikan pentingnya komunikasi antarbudaya dan agama bagi masyarakat, khususnya anak muda di Aceh.

Sebab menurutnya, semakin baik komunikasi lintas agama di masyarakat, akan membangun hubungan yang kuat antar individu berbeda dan meningkatkan kesadaran akan keberagaman.

Menurutnya, semakin baik komunikasi lintas agama akan membuat individu semakin memahami perbedaan sekaligus mencegah konflik antarumat.

Sementara Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, Hasan Basri M Nur menyampaikan, sejumlah persepsi orang luar melihat Aceh seperti intoleran dan pemaksaan penerapan qanun pada semua orang adalah keliru.

Diungkapkannya, secara regulasi di Aceh jelas, bagi nonmuslim yang berbuat salah dipersilakan memilih antara hukum nasional atau qanun.

Bahkan menariknya kata Hasan, ada beberapa nonmuslim yang misalnya tertangkap berjudi, lebih memilih dihukum cambuk berdasarkan qanun tanpa harus masuk penjara lagi.

Sekretaris FKUB Aceh itu berharap ke depan semakin banyak anak-anak muda yang mengkampanyekan Aceh sebagai provinsi toleran.

Hal ini supaya semakin banyak pendatang, baik itu wisatawan, pengusaha atau investor hingga mahasiswa luar yang berkuliah di Aceh.

Menurutnya tidak perlu dilebih-lebihkan, cukup cerita realita di Aceh kalau saat ini rukun dan tak ada bentrok-bentrokan antarumat beragama, supaya orang luar mau datang ke Aceh.

Sementara beberapa peserta diskusi yang didominasi milenial dan Gen Z lintas agama itu menceritakan pengalamannya masing-masing selama tinggal di Aceh.

Sebagian nonmuslim khususnya para mahasiswa luar yang kuliah di Aceh awal-awal merasa gegar budaya melihat orang-orang di lingkungan sekitarnya berpakaian syar'i, minimal berjilbab.

Meski demikian seiring berjalannya waktu, mereka mampu beradaptasi dengan sendirinya dan mulai nyaman tinggal di Aceh.

Bahkan beberapa peserta nonmuslim yang memang sejak lahir di Aceh, merasa tidak diperlakukan berbeda dengan umat muslim lainnya yang merupakan mayoritas.

Mereka hidup tanpa hambatan dalam beragama, bersosial hingga mendapatkan pendidikan yang layak di Aceh.

(Serambinews.com/Sara Masroni)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved