Breaking News

Jurnalisme Warga

Lima Julukan Provinsi Aceh sebagai Tonggak Sejarah

Alhamdulillah, Provinsi Aceh punya lima sebutan yang terwariskan, walaupun sebagian warga Aceh tidak mengenalnya lagi.

Editor: mufti
SERAMBINEWS/tambeh.wordpress.com
T.A. SAKTI, pensiunan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie, Aceh 

T.A. SAKTI, pensiunan dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Syiah Kuala, melaporkan dari Gampong Bucue, Kecamatan Sakti, Pidie, Aceh

HAMPIR semua daerah di Indonesia memiliki label masing-masing. Sebutan itu merupakan cerminan dari perjalanan sejarah daerah yang bersangkutan.
Dalam peredaran waktu, kadangkala julukan itu hilang lenyap ditelan masa, tapi ada pula yang terwariskan secara turun-temurun hingga kini.

Alhamdulillah, Provinsi Aceh punya lima sebutan yang terwariskan, walaupun sebagian warga Aceh tidak mengenalnya lagi.

Lima gelar yang kini melekat pada sebutan daerah Aceh, saya urutkan sebagai berikut.

1. Serambi Makkah; 2. Bumi Iskandar Muda; 3. Tanah Rencong; 4)  Bumi Srikandi; dan 5. Daerah Modal.
Sebenarnya, ada gelar lain yang baru disematkan Badan Pusat Statistik, yakni Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatra dan nomor 6 termiskin di Indonesia. Namun, lakab/julukan itu belum final, sebab Pemerintah Aceh sedang berusaha serius mengenyahkannya.

Saya kira, semua julukan ini bukanlah tanpa alasan, sebab Pemerintah Aceh sendiri yang tahun 2008 dipimpin Dr Mustafa Abubakar MSi telah menerbitkan serangkaian Buku Sejarah Aceh, yang judulnya  terkait erat dengan lima julukan  itu, yakni: 1)  Aceh Serambi Makkah,  2) Aceh  Bumi Iskandar Muda, 3) Aceh Tanah Rencong, 4) Aceh Bumi Srikandi, 5) Aceh Daerah Modal, 6) Aceh, dari Konflik ke Damai, 7) Budaya Aceh, dan 8) Tsunami Aceh.
Hanya buku “Aceh dari Konflik ke Damai” yang tidak jadi diterbitkan.

1. Aceh  Serambi Makkah

Martabat Serambi Makkah  melekat sebagai nama pengganti bagi daerah Aceh mulai muncul sejak agama Islam menjadi anutan rakyat dan menjadi agama kerajaan di daerah ini.
Menurut keputusan beberapa seminar tentang masuk dan berkembangnya Islam  di Indonesia, disimpulkan bahwa agama Islam yang dianut oleh  rakyat Indonesia sekarang ini, buat pertama sekali dianut oleh masyarakat daerah Perlak Aceh Utara. Demikian keputusan seminar tersebut, baik yang diadakan di Medan (1963), di Banda Aceh (1978), maupun di Kuala Simpang,  tanggal 25–30 September 1980.

Ketiga seminar tentang masuknya Islam  di Indonesia sependapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia (Aceh) pada abad pertama Hijriah dan langsung dari tanah Arab (Makkah). Setelah sekian lama berkembang di Perlak (Aceh), barulah agama Islam   itu tersebar ke seluruh kepulauan Nusantara. Karena Islam itu secara langsung datang dari Tanah Suci Makkah dan juga karena Aceh-lah yang merupakan daerah pertama yang didatangi Islam, maka disebutlah Aceh dengan julukan Daerah Serambi Makkah.
Rakyat dan kerajaan Aceh mengamalkan secara murni dan konsekuen.  Persis seperti pengamalan agama Islam di Kota Makkah, begitulah keadaan Serambi Makkah di masa itu.

Kalau umat Islam yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara hendak melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah, mereka terlebih dahulu harus singgah di pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di Aceh, karena Aceh pada masa itu merupakan pintu gerbang untuk  berlayar ke Makkah. Hal ini merupakan satu lagi peranan penting yang diperankan oleh daerah Aceh sebagai negeri Serambi Makkah.

2. Bumi Iskandar Muda

Aceh disebut juga Bumi Iskandar Muda. Hal ini sehubungan dengan kejayaan yang dicapai Aceh di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia memerintah selama 30 tahun. Di masa itu wilayah Kerajaan Aceh sangat luas, meliputi Aceh, Langkat, Deli, Tanjung Balai, Riau, Perak, Pahang, Johor, Kedah yang semua daerah itu di Semenanjung Melayu juga bagian dari Aceh.

Angkatan perang Aceh hampir dapat mengusir angkatan perang Portugis di Malaka hingga mereka minta bantuan  ke Goa (India).
Kemakmuran rakyat di masa itu cukup merata. Sampai dewasa ini masih dilantunkan orang banyak syair Aceh yang mengisahkan kebesaran dan keagungan masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

3. Tanah Rencong

Mengenai sebutan Tanah Rencong, dapat saya jelaskan bahwa julukan ini berasal dari sejenis senjata yang khusus hak ciptanya dipunyai rakyat daerah Aceh. Kalau di daerah Jawa dan Malaysia terkenal dengan alat senjata keris; sebagai yang paling terkenal seperti keris pusaka Empu Gandring, maka di daerah Aceh terkenal dengan rencongnya. Pada masa dahulu, rencong merupakan alat kebesaran bagi rakyat dan orang patut-patut (ureueng ukok-ukok).

Senjata rencong ini bentuknya melengkung. Bentuk tersebut mengikuti bentuk tulisan Arab  kalimat suci dalam agama Islam, yaitu Bismillahirrahmanirrahim. Seni kebudayaan Islam terpatri pada bentuknya. Itulah suatu tanda bahwa Islam telah masuk sampai ke dalam tulang sumsum masyarakat Aceh. Segala hasil karya tangan,  seni kebudayaan, dan lainnya, semuanya menurut seni kebudayaan Islam. Bentuk dari hulu/gagang (uleei rencong) tidak sama. Ada yang panjang mencuat (rencong meucugek) dan ada pula yang tipis bulat gagangnya yang biasanya terbuat dari tanduk kerbau dan gading gajah.

Dewasa ini, banyak pejabat negara yang datang dari Jakarta atau luar negeri yang mendapat rencong Aceh sebagai hadiah dari Pemerintah Aceh sebagai kenang-kenangan atau bungong jaroe dari Tanoh Rencong.

4. Aceh Bumi Srikandi

Aceh disebut sebagai  Bumi Srikandi. Hal ini menunjukkan peran kaum perempuan di Aceh cukup tinggi dan besar.
Perempuan sepanjang sejarah Aceh bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga yang tangguh, melainkan juga mampu bertindak sebagai tokoh pemerintahan, panglima perang, dan pahlawan di bidang lainnya.
Beberapa perempuan Aceh yang menjadi sultan atau raja Aceh adalah Shafiatuddin Syah, Inayat Syah, Zakiatuddin Syah, dan Kamalat Syah. Sementara wanita Aceh yang jadi panglima perang, yaitu Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Laksamana Keumala Hayati (ketiganya sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional RI dari Aceh), Pocut Meurah Intan, dan Pocut Baren dari Woyla.

5. Daerah modal

Gelaran Daerah Modal melekat pada daerah  Aceh baru timbul sejak kemerdekaan Indonesia, yaitu semasa Perang Kemerdekaan Republik Indonesia (1945–1949).
Dalam suatu agresi, pihak Belanda hampir saja mencapai keinginannya. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Muhammad Hatta, Haji Agus Salim, dan sejumlah menteri kabinetnya telah ditawan Belanda. Pemerintahan Indonesia pada masa itu dikendalikan dari Sumatra di bawah pimpinan Mr Syarifuddin Prawiranegara sebagai PM Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).

Hampir semua daerah telah dikuasai, baik daratan maupun lautan. Hanya tinggal daerah Aceh yang tak sanggup ditembusi Belanda.

Rakyat Aceh bahu-membahu berjuang di Medan Area, Langkat dan Tanah Karo (Sumatra Utara). Sampai dengan peristiwa Konferensi Meja Bunda (KMB), pihak Belanda masih tak sanggup mematahkan pertahanan di perbatasan Aceh. Hal ini berarti, setelah Belanda meninggalkan Aceh pada tahun 1942, mereka tidak pernah menginjakkan lagi kakinya di Aceh.

Karena perjuangan yang gigih itu, Presiden Soekarno dalam satu pidato di Kutaraja (Banda Aceh sekarang) memberi gelar daerah Aceh dengan julukan Aceh Daerah Modal. Sejak dijuluki presiden pertama Indonesia itulah sampai sekarang Aceh masih tetap disebut-sebut sebagai Daerah Modal. Monumen Daerah Modal ini pun hingga kini masih ada, yakni bangunan tinggi menjulang di pekarangan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved