Kisah Pilu Selempang Wisuda Almarhumah Siska Ditemukan di Gunung Marapi
Kisah pilu almarhumah Siska Afrina (22), korban meninggal akibat erupsi yang selempang wisudanya ditemukan di Gunung Marapi.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Eddy Fitriadi
SERAMBINEWS.COM - Kisah pilu almarhumah Siska Afrina (22), korban meninggal akibat erupsi yang selempang wisudanya ditemukan di Gunung Marapi.
Semestinya mahasiswi Universitas Negeri Padang (UNP) itu bakal diwisuda pada Minggu, 17 Desember 2023 mendatang.
Namun takdir berkata lain, dia lebih dulu dipanggil Sang Ilahi sebelum hari bahagia mengakhiri statusnya sebagai mahasiswi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah angkatan 2019.
Saat tim SAR melakukan evakuasi, jasad Siska berhasil dibawa turun pada Rabu (6/12/2023) dan menjadi korban terakhir erupsi Gunung Marapi, Sumatera Barat.
Baca juga: Kisah di Balik Berdirinya Tugu Abel Tasman di Gunung Marapi Sumbar, Tempat Terakhir Yashirli Amri
Baca juga: Fakta-fakta soal 4 Anak Meninggal di Jagakarsa, Pesan Darah dan Pelaku di Toilet Tanpa Busana
Dalam video singkat berdurasi 7 detik yang diunggah TikTok @ig.ronibyfrens2 itu terlihat dua orang relawan melipat selempang merah sambil diselimuti erupsi tebal.
"Ya Allah Siska, nyesek banget lihat salempang yang hanya tinggal kenangan. Alfatihah Sis," komen salah seorang warganet.
"Wishlist kak Alah (Siska Afrina) tersampaikan kak, foto wisuda background lautan awan," timpal warganet lainnya sambil memberikan emoticon sedih.
"Semoga Allah mengampuni segala kesalahannya dan dimasukkan ke dalam surgaNya," tulis warganet lainnya.
Siska membawa selempang wisuda saat pendakian ini dibenarkan oleh teman sekaligus adik tingkatnya.
Adik tingkat Siska, Genta Dwi Suka menyampaikan, seniornya itu sudah menyelesaikan ujian komprehensif dan sudah menuntaskan persyaratan untuk wisuda.
"Toga untuk wisuda sudah ada dan ditinggalkan di kosannya," ungkap Genta kepada Tribunnews.com sebagaimana dikutip, Kamis (7/12/2023).
"Sedangkan salempang wisudanya dibawa naik pada saat mendaki," tambahnya.
Baca juga: Kontroversi Pengungsi Rohingya, Kabag Prokopim: Pemko Sabang Tak Keluarkan Sepeser pun untuk Mereka
Diketahui pendakian Siska ke Gunung Marapi bukan merupakan kegiatan resmi dari kampus UNP.
Usai ditemukan sebagai korban ke 23 sekaligus menjadi yang terakhir, jenazah Siska dibawa ke RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi.
Korban Selamat Marapi: Ini Pendakian Pertama dan Terakhir
Sementara nasib baik di alami oleh Tita Cahyani (24), salah seorang pendaki gunung berapi Marapi.
Dia sedang dalam perjalanan turun dari puncak ketika gunung itu mulai mengeluarkan asap tajam, batu, dan abu dalam letusan yang akhirnya menewaskan 23 pendaki.
"Saya takut dan saya tidak ingin mengulanginya lagi," kata Cahyani dilansir dari Reuters, Kamis (7/12/2023).
Meski selamat, dia dirawat karena luka bakar parah di sebuah rumah sakit di Padang Panjang, sebuah kota di provinsi Sumatera Barat, sekitar 40 km (25 mil) dari gunung berapi tersebut.
Marapi setinggi 2.891 meter (9.485 kaki) adalah salah satu gunung berapi paling aktif di Indonesia.
Gunung yang terletak di sabuk tektonik "Cincin Api" yang merupakan rumah bagi sekitar dua pertiga dari jumlah total gunung berapi di dunia.
Letusan Marapi pada Minggu lalu adalah yang ketiga sepanjang tahun ini, dan yang paling mematikan sejak tahun 1979.
Baca juga: Liku-liku Perjuangan Disnak Aceh Mendapatkan SNI Kerbau Simeulue dan Kerbau Gayo, Begini Kisahnya
Baca juga: Petani Korban Diinjak Gajah Liar Meninggal di RSUZA Usai 9 Hari Dirawat, Almarhum Tinggalkan 2 Bocah
Lima puluh dua orang selamat dari letusan tersebut, termasuk Cahyani dan temannya Widya Azhamul Fadhilah yang berlindung di balik batu besar di sisi gunung berapi.
Mereka berlindung saat tanah berguncang dan udara dipenuhi asap belerang sehingga sulit bernapas.
“Saya dan dia sudah hipotermia, tangan dan kaki kami panas, dan kami menggigil hebat,” ungkap Cahyani.
Para wanita tersebut bersama tiga temannya lainnya juga berusaha melarikan diri dari letusan. Teman-teman ini semuanya dinyatakan meninggal.
Beberapa jam kemudian, tim penyelamat akhirnya tiba.
“Kami minta digendong, saya tidak mau pakai tandu karena sudah kesakitan,” kata Cahyani.
“Ini adalah pendakian pertamanya, dan juga yang terakhir, tambahnya.
Sejak tahun 2011, badan vulkanologi Indonesia telah mendesak lembaga konservasi setempat dan kementerian lingkungan hidup untuk menutup area dalam radius 3 km dari puncak bagi para pendaki.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.