Opini
Masih Perlukah Kuliah?
Di era digital ini, yang seharusnya dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, banjirnya bahan bacaan di internet lewat gadget di t
Tabrani Yunis, Pengamat pendidikan, pegiat literasi dan Direktur Center for Community Development and Education Aceh
ANGKA partisipasi kasar (APK) Perguruan Tinggi di Indonesia untuk mengetahui berapa banyak penduduk usia 17-24 tahun yang menempuh pendidikan tinggi, masih menunjukkan angka yang rendah. Pada tahun 2024 tercatat masih pada angka 39.37 persen, lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia 43 persen, Thailand 49, 29 persen. Apalagi dibandingkan dengan Singapura yang sudah berada pada angka 91.09 persen.
Sebuah fakta yang miris melihat nasib bangsa yang katanya mendapat bonus demografi yang menjadi peluang emas bagi bangsa ini. Idealnya dengan adanya bonus demografi ini, banyaknya penduduk usia produktif, bisa menjadi modal pembangunan bangsa yang mengantarkan Indonesia menjadi negara maju.
Namun apa yang bisa dituai bila mereka hanya berpendidikan setingkat sekolah menengah? Untuk apa banyak usia produktif, bila kualitasnya masih rendah?
Ironis. Apalagi bangsa ini punya mimpi besar, yakni visi Indonesia emas tahun 2045. Sekali lagi, bila jumlah APK PT masih rendah dengan kualitas sekolah menengah, emas apa yang bakal didapat? Bukankah, untuk mencapai visi Indonesia emas, bangsa Indonesia harusnya memiliki APK PT yang tinggi? Bukankah untuk mencapai visi Indonesia emas 2045 itu menuntut adanya syarat tertentu, sebagaimana dituangkan dalam Rencana Jangka Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2025-2045?
Kita pasti ingat kata Presiden Indonesia, Joko Widodo, “Untuk mencapai Indonesia Emas 2045 dibutuhkan, sangat dibutuhkan, smart execusion, smart leadership, oleh strong leadership, yang berani dan pandai mencari solusi, dan yang punya nyali.
Nah, membaca cita-cita besar itu dan menyaksikan realitas mahasiswa dan perguruan tinggi negeri dan swasta serta realitas lapang saat ini, kita pun bertanya-tanya, apakah dengan angka yang rendah itu, kita masih harus berjuang meningkatkan APK Perguruan Tinggi lagi?
Tentu ya, karena syarat untuk bisa menikmati bonus demografi dan mencapai visi Indonesia emas 2045 membutuhkan orang-orang atau generasi yang berkualitas. Apalagi asumsi untuk menjadi negara maju harus memiliki APK yang tinggi. Dengan APK PT yang tinggi tersebut memberikan peluang besar untuk menjadi negara maju.
Jadi rumit bagi bangsa Indonesia meraih status negara maju, bila angka APK PT masih di bawah angka 40 persen. Lalu, apakah bila angka partisipasi kasar atau APK PT tinggi, bisa menjamin bahwa kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia akan menjadi jauh lebih baik?
Perlu ada kajian mendalam. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi dan swasta sangat perlu melakukan kajian, melakukan introspeksi atas eksistensi Perguruan Tinggi dalam menyiapkan lulusan-lulusan yang mampu menjadi katalisator pemanfaatan bonus demografi dan mewujudkan visi Indonesia emas tahun 2045 nanti. Idealnya, memang APK PT berada pada posisi tinggi, akan berkontribusi besar menjamin kualitas SDM yang berkualitas.
Rendahnya APK PT di satu sisi disebabkan oleh faktor ekonomi masyarakat yang semakin sulit. Namun demikian, faktor penyebabnya bukanlah faktor tunggal. Ada banyak faktor lain yang menghambat, yakni Pemerintah tidak mampu membuat biaya pendidikan ke PT menjadi semakin terjangkau.
Apalagi dengan status PTN yang BH dan BLU itu yang membuat biaya makin mahal, walau pemberlakuan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat ekonomi masyarakat, sistem yang katanya semakin terjangkau itu juga masih sangat memberatkan masyarakat.
Apalagi UKT tersebut akan berbeda di setiap jalur masuk dan juga PTN yang ada, di mana lewat jalur -jalur dan PTN berbeda, memiliki tingkat UKT yang berbeda. Jadi, ada gap lain, yang mampu masuk lewat jalur khusus dan PTN berkualitas, hanya dikecap oleh kalangan atas, dan kaya.
Di luar faktor biaya, ada persoalan mendasar yang menjadi akar masalah pembangunan pendidikan di tanah air yang ikut berkontribusi pada rendahnya APK PT, yakni rendahnya kemampuan literasi calon mahasiswa yang akan mengakses PTN, apalagi PTN favorit.
Banyak calon mahasiswa yang gagal, membuat mereka tidak melanjutkan kuliah. Tingkat persaingan yang tinggi dengan kemampuan literasi, numerasi dan sains yang rendah, membuat mereka kalah bersaing lewat jalur tes. Lalu ingin memilih PTS, mereka akan kesulitan dengan biaya yang lebih mahal. Semakin hebat PTN yang ingin diakses, semakin mahal biayanya. Jadi bagaimana kita bisa berharap APK PT meningkat? Kalau pun harus kuliah, ya kuliah di fakultas dan jurusan yang diinginkan.
Infobanknews.com mengutip Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia pada Agustus 2023 mencapai 7,86 juta orang. Angka tersebut lebih rendah 0,54 persen poin dibandingkan Agustus 2022 yang sebanyak 8,42 juta orang.
Miskin literasi
Harian Kompas edisi 15 Maret 2023 menulis, “Setiap tahun lulusan perguruan tinggi, baik sarjana, sarjana terapan, maupun vokasi, rata-rata sudah mencapai 1.8 juta orang. Namun sekitar 12 persen pengangguran di Indonesia justru didominasi lulusan sarjana dan diploma. Jumlah ini terus akan bertambah dengan semakin banyak lulusan PT yang baru setiap tahun.
Sehingga, tingginya jumlah sarjana menganggur di Indonesia, banyak yang bertanya, masih perlukah kuliah? Banyak nada pesimis calon mahasiswa dan juga orang tua ketika melihat realitas itu dan ditambah lagi dengan saratnya masalah mahasiswa yang sedang kuliah di perguruan tinggi. Ada banyak kondisi mahasiswa yang menyelimuti mahasiswa yang kini sedang di bangku PTN maupun PTS.
Bisa jadi orang tua banyak yang tidak tahu bahwa sesungguhnya anak mereka sedang tidak baik-saja. Orang tua tidak tahu selama ini banyak mahasiswa yang tersesat di belantara kampus. Banyak yang salah pilih jurusan, salah fakultas yang membuat mereka terumbang-ambing dalam ketidakpastian.
Padahal, memilih fakultas dan jurusan adalah memilih masa depan. Namun apa daya, ketika masuk PT, mereka tidak memahami jurusan yang dipilih. Karena tidak mendapat bimbingan di sekolah dan orang tua dalam memilih jurusan atau fakultas.
Mereka memilih jurusan hanya karena ikut-ikutan, tanpa mengenal jurusan yang mereka pilih. Kemudian, apa yang sedang terjadi di banyak mahasiswa sekarang, mereka bukan sedang belajar (kuliah), banyak yang hanya datang, duduk, dengar, diam dan pulang, lalu minta tambahan uang pada orang tua.
Bagaimana bisa kita katakan mereka belajar atau kuliah, membaca saja tidak ada? Mereka semakin malas membaca. Bayangkan saja, sudah hampir sarjana, ada yang tidak pernah membaca satu artikel, apalagi membaca buku secara tuntas?
Cobalah tanya kepada mereka yang sekarang sudah semester 8 atau yang sudah S2, ada berapa buku yang mereka sudah baca dengan tuntas. Padahal, kunci belajar itu adalah membaca, karena dengan membaca kita bisa mengenal dunia.
Di era digital ini, yang seharusnya dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi, banjirnya bahan bacaan di internet lewat gadget di tangan, maka semakin mudah dan kaya bacaan mereka, tetapi keberadaan gadget tersebut tidak dijadikan sebagai sumber belajar. Mereka sangat miskin kemampuan literasi.
Lalu, apa yang paling celaka di era ini, banyak mahasiswa yang tanpa malu meminta nilai pada dosen. Mereka belajar mengejar angka, bukan pengetahuan, ketrampilan dan soft skill. Juga belajar untuk mendapatkan gelar sarjana dan ijazah sebagai tanda pernah kuliah. Itulah fakta yang terjadi, termasuk kasus membeli atau membiayai orang lain menulis skripsi, karena mereka tidak mampu menulis skripsi, akibat rendahnya kualitas mereka, akibat rendahnya kemampuan literasi, numerasi dan sains. Bukan hanya di level S1, bahkan merembet ke level S2 dan S3.
Idealnya, para lulusan PT bisa membangun kehidupan yang lebih baik dan bahkan bisa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri dan bagi orang lain. Walaupun di dalam masyarakat kita ada yang pesimis berkata, untuk apa kuliah. Banyak orang tanpa kuliah S3, bisa dapat doktor. Bahkan lebih ekstrem lagi, terkait dengan kondisi politik saat ini, masyarakat melihat contoh nyata, tanpa kuliah juga bisa calon wakil Presiden, ya kan? Sementara yang kuliah sampai S1, terpaksa menganggur atau melanjutkan S2 dan setelah S 2, menganggur lagi. Sedih sekali, bukan?
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.