Serambi Spotlight
Kenapa Malu Berbahasa Aceh? Begini Penjelasan Guru Besar USK
Guru Besar Sastra Aceh Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr Mohd Harun MPd mengatakan, fenomena malu berbahasa Aceh kian hari kian meningkat.
Penulis: Sara Masroni | Editor: Eddy Fitriadi
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Guru Besar Sastra Aceh Universitas Syiah Kuala (USK), Prof Dr Mohd Harun MPd mengatakan, fenomena malu berbahasa Aceh kian hari kian meningkat.
Setidaknya ada empat penyebab kenapa bahasa daerah semakin bergeser dan berpotensi punah. Pertama, penggunaan bahasa daerah masih dianggap kolot oleh beberapa orang.
Kedua, terkait bernilai atau tidak bahasa daerah misalnya bisa digunakan dalam peningkatan karier dan sebagainya seperti bahasa asing.
Ketiga, soal hegemoni atau dominasi bahasa tertentu yang menyebabkan bahasa daerah bergeser.
Keempat, penyebab bahasa Aceh berpotensi hilang dan bermuara ke malu saat digunakan generasi ke depan nantinya karena dalam dunia pendidikan, bahasa Aceh bukan sebagai bahasa pengantar, padahal secara aturan pemerintah sudah memberikan keleluasan soal itu.
"Orang bertanya mungkin dalam hatinya, kalau menggunakan bahasa Aceh apakah saya bergengsi atau tidak. Jadi, soal gengsi ini, harga gengsi itu mahal sekali," kata Prof Harun dalam program Serambi Spotlight dipandu News Manajer Serambi Indonesia, Bukhari M Ali di Studio Serambinews.com, Selasa (14/5/2024).
Dia menyebutkan, harga gengsi dapat menyebabkan masalah dalam keluarga, budaya hilang dan bahasa Aceh bergeser hingga lama-kelamaan sampai kepada kepunahan.
"Harga gengsi itu bisa menyebabkan bahasa kita bergeser dan lama-lama bisa punah," tegasnya.
Baca juga: Turun! Harga Emas di Banda Aceh Hari Ini per Mayam, Selasa 14 Mei 2024
Baca juga: AS Tawarkan Israel Kasih Tahu Tempat Sembunyi Yahya Sinwar dkk Para Pemimpin Hamas, Ini Syaratnya
Guru Besar USK itu menyampaikan, seharusnya anak-anak ketika masih kecil dibiasakan bangga berbahasa daerah, baik di lingkungan terkecil seperti keluarga maupun sekolah.
Bila sudah dewasa tidak bisa berbahasa Aceh, padahal lahir dan tinggal misalnya di Banda Aceh, menurutnya ini termasuk kesalahan orang tua.
"Ketika anak kita kecil, tidak membiasakan berbahasa daerah dalam hal ini bahasa Aceh,” kata Prof Harun.
“Orang tua ikut bersalah kalau anaknya gagal berbahasa Aceh sebagai bahasa ibu kita, bahasa identitas kita. Karena identitas orang Aceh itu ditandai dengan bisa berbahasa Aceh," pungkasnya.
(Serambinews.com/Sara Masroni)
BACA BERITA SERAMBI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.