Opini
Runtuhnya Pilar Kekhususan Aceh Menjelang Pilkada Serentak 2024
Pertama yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama Penerapan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh. Pengaturan kehidupan beragama tetap menjamin kebebas
Oleh: Marzuki Ahmad SHI MH, Dosen Fakultas Hukum Unigha Sigli
ACEH, provinsi dengan status otonomi khusus, kini menghadapi tantangan serius terhadappilar-pilar kekhususannya. Apa yang dulu diperjuangkan sebagai solusi untukkonflik berkepanjangan dan pembangunan daerah, kini terancam oleh munculnya oligarki gaya baru.Otonomi khusus Acehyang diberikan melalui UU Nomor 11 Tahun 2006 seharusnya menjadi landasan bagikesejahteraan rakyat dan pembangunan daerah yang berkelanjutan.
Namun, realitanya jauh dari harapan. Kita menyaksikan bagaimana kekuasaan dan sumberdaya terkonsentrasi di tangan segelintir elite politik dan ekonomi.
Pilar Kekhususan Aceh
Pilar Kekhususan Aceh mengacu pada aspek-aspek khusus yang diberikan kepada Provinsi Aceh sebagai daerah otonomi khusus di Indonesia.
Berikut ini adalah pilar-pilar utama kekhususan Aceh:
Pertama yaitu penyelenggaraan kehidupan beragama Penerapan syariat Islam bagi pemeluknya di Aceh. Pengaturan kehidupan beragama tetap menjamin kebebasan beragama bagi pemeluk agama lain. Penyelenggaraan kehidupan adat Pelestarian dan pengembangan adat istiadat Aceh. Pemberdayaan lembaga adat. Kedua, Penyelenggaraan pendidikanPengembangan dan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat Aceh.
Baca juga: Saat Mendaftar ke Kantor KIP Aceh Bustami Naik Jeep, Mualem Naik Ford
Ketiga, Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah Pembentukan lembaga Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Keterlibatan ulama dalam pengambilan keputusan penting. Penyelenggaraan pemerintahan yang berbasis syariah, pembentukan Qanun (Peraturan Daerah) yang sesuai dengan syariat Islam.
Keempat, Pembentukan lembaga Wilayatul Hisbah (polisi syariah). Pengelolaan sumber daya alam. Kewenangan khusus dalam pengelolaan sumberdaya alam di darat dan laut. Pembagian hasil sumber daya alam antara pemerintahpusat dan Aceh.
Kelima, Pelaksanaan otonomikhusus di bidang ekonomi. Kewenangan khusus dalam perencanaan, pengelolaan, danpengawasan pembangunan ekonomi Pengembangan perekonomian yang berbasis syariahPelestarian dan pengembangan kebudayaan Perlindungan dan pengembangan budaya Aceh. Promosi kebudayaan Aceh di tingkat nasional dan internasional.
Pilar-pilar ini merupakan dasar dari kekhususan yang diberikan kepada Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dari beberapa uraian di atas terlihat adanya indikasi runtuhnya pilar kekhususan Aceh antara lain:
1. Pemanfaatan dana otonomi khusus yang tidak tepat sasaran dan tidaktransparan.
2. Implementasi syariat Islam yang cenderung simbolis dan tidak menyentuhsubstansi.
3. Pembagian kekuasaan yang tidak merata, dengan dominasi kelompoktertentu.
4. Pembatasan ruang demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilankeputusan.
Praktik oligarki gaya baru di Aceh ditandai dengan adanya Penguasaan proyek-proyek strategisoleh kelompok elit tertentu. Politisasi birokrasi untuk kepentingan kelompokberkuasa. Pemanfaatan sentimen kedaerahan untuk mempertahankan kekuasaan.Kontrol terhadap media dan informasi.
Fenomena ini tentubertentangan dengan semangat awal pemberian otonomi khusus. Jika dibiarkan,akan berdampak serius pada kesejahteraan rakyat, stabilitas sosial-politik, dan masa depan Aceh secara keseluruhan. Untuk mengembalikan Aceh pada jalur yangbenar, menurut hemat kami ada beberapa hal mendesak yang perlu dibenahi dan inisangat penting untuk diwujudkan, antara lain:
- Independensi kekuatan partai-partai politik Lokal dengan tidak berafiliasi dengan Parnas atau denganistilah lain batal wudhu
- Reformasi tata kelola pemerintahanyang transparan dan akuntabel.
- Penguatan lembaga pengawasanindependen
- Pemberdayaan masyarakat sipil danmedia.
- Revitalisasi nilai-nilai lokalyang menjunjung keadilan dan kesejahteraan bersama.
- Jalur Independen/Perseoranganharus diberikan ruang yang cukup.
Tanpa langkah-langkah tersebut, Aceh berisiko terjebak dalam lingkaran oligarki yangakan semakin sulit diputus. Sudah saatnya semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat Aceh sendiri, berkomitmen untukmengembalikan marwah otonomi khusus demi Aceh yang lebih baik.
Saat ini paraelit parlok seolah batal wudhu untuk menjadi imam. Padahal Aceh provinsi dengan status otonomi khusus, kini menghadapi tantangan baru menjelang Pilkada serentak 2024. Kekhususan yang selama ini menjadi kebanggaan danidentitas Aceh tampaknya mulai goyah, tergerus oleh arus politik nasional danmunculnya bentuk oligarki gaya baru.
Erosi Kekhususan Aceh Selama bertahun-tahun, Aceh menikmati hak-hak istimewa dalam penyelenggaraan pemerintahanlokalnya, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Namun, keputusan untukmengikutsertakan Aceh dalam Pilkada serentak nasional 2024 seolah mengikiskekhususan tersebut. Ini bukan sekadar perubahan jadwal, tetapi potensialmengubah dinamika politik lokal secara fundamental.
Dari awal fenomena inisudah bisa kita baca secara masif. Diamnya berbagai pihak telah membuat Acehkehilangan nilai tawar di level pusat. Untuk diketahui, Munculnya Oligarki Gaya Baru menjelang Pilkada di Bumi Serambi Mekkah bukan tanpa alasan. Sementara di sisi lain kekhususan Aceh terus terkikis, muncul fenomena oligarkigaya baru.
Elite politik lokal dan nasional mulai membentuk aliansi,memanfaatkan celah transisi ini untuk mengkonsolidasi kekuasaan. Partai lokal,yang sebelumnya menjadi pilar demokrasi khas Aceh, sejak awal menujupenjaringan calon, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/ Wakil Bupati,Walikota/ Wakil Walikota sudah terlihat menjalankan Politik Dinamis diawalmenangis di akhir, dimana tidak lakon yang dimainkan terkesan pragmatis, contohnya ketua Partai A mendaftar pada Partai B, Ketua Partai B mendaftar pada Partai A, ini barang terus menghiasi berita di media hampir tiap hari, di saatmenjelang pendaftaran semua elite dan para calon tadi kocar-kacir alias batal wudhu.
Anehnya Parlok juga harus bergerak tayammum ke pulau jawa. Pergeseran ini berpotensi melemahkan suara rakyat Aceh. Ketika fokus politik beralih ke panggung nasional, isu-isu lokal yang spesifik mungkin terabaikan. Partisipasi masyarakat dalam proses politik lokal bisa menurun jika mereka merasa aspirasimereka tidak lagi menjadi prioritas.
Tantangan dan Peluang
Meski demikian, situasi ini juga membuka peluang baru. Aceh bisa memanfaatkan momentum ini untuk memperkuat posisinya dalam konteks nasional, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai lokalnya.
Diperlukan kearifan dari para pemimpin dan masyarakatAceh untuk menyeimbangkan tuntutan nasional dengan kepentingan lokal. Apalagikalau kita melihat paslon yang muncul ke publik saat ini sebuah kombinasi ideal dimana pasangan H. Muzakir Manaf yang berhaluan Parlok bergandengan denganFadhlullah, alias Dek Fad yang notabene 2 kali DPR-RI yang juga Ketua Partai Gerindra Aceh saat ini yang memiliki akses langsung dengan Pusat. Pasangan kedua Cagub dan Cawagub Bustami Hamzah Tgk. Muhammad Yusuf A Wahab (Tusop) bisa dipastikan tidak ada calon yang maju dari jalur Independen.
Kita berharap partisipasi masyarakat Aceh Menjelang Pilkada serentak 2024, Aceh berada dipersimpangan kritis. Tantangannya adalah mempertahankan esensi kekhususan Acehsambil beradaptasi dengan dinamika politik nasional yang baru.
Diperlukankesadaran dan partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat Aceh untukmemastikan bahwa perubahan ini tidak mengorbankan kepentingan dan identitasunik Aceh.(*)a
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.