Opini

Wow, Bank Makin Kaya, Kemiskinan Tetap Juara

“Wow, Aset Bank Aceh Capai 29,8 Triliun hingga Juni 2025”. Sejenak saya berpikir, “So, what? Apa manfaatnya bagi rakyat?”

Editor: mufti
zoom-inlihat foto Wow, Bank Makin Kaya, Kemiskinan Tetap Juara
FOR SERAMBINEWS.COM
Fahmi Yunus, Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Manajemen, University of Sheffield, Peneliti ICAIOS

Fahmi Yunus, Dosen FEBI UIN Ar-Raniry dan Peneliti ICAIOS

SAYA sempat terpukau membaca headline media online Serambi Indonesia beberapa hari lalu. Bunyinya “Wow, Aset Bank Aceh Capai 29,8 Triliun hingga Juni 2025”. Sejenak saya berpikir, “So, what? Apa manfaatnya bagi rakyat?”

Adalah Plt. Sekda Aceh, M Nasir, dalam berita tersebut memaparkan pencapaian yang diraih oleh Bank Aceh Syariah (BAS), semisal meningkatnya dana pihak ketiga mencapai Rp25,1 triliun hingga pembiayaan yang menunjukkan tren positif sebesar Rp20,6 triliun, serta untung sebanyak Rp257,7 miliar.

Pencapaian bank plat merah milik pemerintah Aceh itu bagi M Nasir dianggap keberhasilan Bank Aceh sebagai pilar utama pembangunan ekonomi daerah. Sementara itu, pada akhir Juli, saya ingat laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikupas oleh media detik.com, mengambil tajuk “Warga Miskin Aceh Masih Tertinggi di Sumatera”. Selama beberapa tahun terakhir ini Aceh secara konsisten berhasil mempertahankan predikat juara provinsi termiskin di Sumatera.

Dua berita ini adalah representasi wajah Aceh saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada klaim kesuksesan bank pemerintah dalam mengumpulkan pundi-pundi rupiah dan menumpuk kekayaan, namun pada saat yang lain, adanya kegagalan sistemik dalam mengentaskan kemiskinan. Mengapa dua ironi ini dapat hidup berdampingan?

Untuk memahaminya, izinkan saya mengkaji  titik temu dua berita tersebut dengan mengurai tensi (tensions) atau tekanan dan kompleksitas institusional BAS melalui lensa teori logika institusional (institutional logics). Teori ini merupakan suatu disiplin ilmu yang bertujuan untuk menganalisis perilaku orang-orang di dalam organisasi, dengan melihat bagaimana sistem simbolis dan materi mempengaruhi tindakan individu dan organisasi (Friedland, 2013; Thornton et al., 2012), atau sering disebut “rule of the game”.

Di sisi lain, logika institusional berperan dalam membantu individu atau organisasi memahami apa saja yang penting, mengambil langkah dalam kegiatan sehari-hari, mengkoordinir tindakan, dan menyediakan dasar untuk stabilitas dan perubahan institusional.

BAS adalah lembaga keuangan milik pemerintah Aceh yang bergerak di tengah logika yang majemuk. Pertama, sebagai bank yang tunduk pada logika pasar (market logic) atau ekonomis dengan tujuan mencari laba sebesar-besarnya (profit) dan efisiensi, atau cenderung pada paradigma kapitalistik. Kedua, sebagai badan usaha milik daerah yang patuh pada logika negara (state logic), di antaranya ikut berkontribusi dalam pembangunan dan melayani masyarakat.

Ketiga, sebagai bank syariah yang terikat pada logika agama (religious logic), yaitu keadilan dan inklusi melalui prinsip-prinsip maqashid syariah. Pertentangan atau tensi terjadi ketika satu logika mendominasi dan mengesampingkan logika lainnya. Artinya, di saat BAS mengklaim kinerja keuangannya meningkat dengan mengukur kenaikan aset artinya mereka hanya fokus pada profitabilitas dan efisiensi. Hal ini menunjukkan kecenderungannya untuk lebih mengutamakan logika pasar atau profit, melalui stabilitas atau likuiditas.

Padahal sebagai bank pembangunan daerah, BAS diharapkan mampu mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Dan yang paling penting adalah mengurangi angka kemiskinan serta kesenjangan sosial di Aceh, yang kita pahami sebagai masalah krusial yang belum usai. Ada logika penting yang sering diabaikan, yaitu logika negara yang bertujuan untuk melayani masyarakat dan pembangunan daerah. Padahal, jika mengutip misi resminya, lembaga ini diamanahkan sebagai penggerak perekonomian Aceh serta pendukung agenda pembangunan daerah dan nasional. Maknanya, kewajiban BAS adalah mendukung program pembangunan pemerintah dalam mendorong geliat pertumbuhan ekonomi.

Tensi ini semakin memicu kompleksitas institusional, di saat logika agama, sebagai bank syariah, juga ikut memiliki peranan penting. Sesuai dengan nama dan mandatnya, BAS harus beroperasi dengan dasar prinsip-prinsip keadilan, etika dan berlandaskan pada maqashid syariah. Manifestasinya yaitu, BAS seharusnya mampu menanamkan nilai-nilai Islam yang mengutamakan keadilan sosial dan ekonomi serta inklusi keuangan untuk masyarakat yang membutuhkan dan rentan.

Sementara, yang terjadi saat ini adalah suatu pemisahan (decoupling), yaitu keadaan di mana logika negara dan sosial-religius bergerak secara terpisah dengan logika profit. Logika ini terlihat berjarak dan tidak terintegrasi. Secara sederhana, kita menyaksikan bersama harapan kesejahteraan sosial dan keadilan yang “terpampang indah” pada misi resmi BAS dan pernyataan resmi pejabat negara, namun minim struktur yang konkret dalam pengambilan keputusan yang memihak kepada masyarakat.

Padahal logika negara melalui misi pemerintah menjadi sangat penting karena BAS adalah bank milik pemerintah. Pemerintah Aceh bertanggung jawab penuh dalam menentukan arah lembaga, apakah berorientasi laba semata atau mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

CSR saja tak cukup

Memang komando Pemerintah Aceh, yang diwakili gubernur tidak dapat ikut campur secara langsung dalam operasional bank. Tapi ada mekanisme yang bisa menentukan arah strategi BAS, misalnya melalui rapat umum pemegang saham (RUPS). Selama ini ada pemahaman di kalangan industri keuangan syariah bahwa mengentaskan kemiskinan atau menyelesaikan masalah-masalah sosial sudah memadai dengan mengalokasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan atau dana CSR saja.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved