Berita Banda Aceh
Penista Agama di Aceh Bisa Dijerat Qanun No 6 Tahun 2014, ISAD Soroti Kasus Seleb DJ Sambil Ngaji
“Kita tidak berbicara soal menghukum orang, tetapi tentang menjaga kemuliaan Islam agar tidak dilecehkan di media sosial,"
Penulis: Agus Ramadhan | Editor: Yeni Hardika
Penista Agama di Aceh Bisa Dijerat Qanun No 6 Tahun 2014, ISAD Soroti Kasus Seleb DJ Sambil Ngaji
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Kasus penistaan agama yang diduga dilakukan oleh seleb Aceh berinsial MU, menjadi sorotan publik.
Publik Aceh menyayangkan dan geram atas tindakan MU yang diduga menistakan agama Islam saat siaran langsung di TikTok.
Dalam siaran langsung itu, MU diduga menistakan ayat suci Al-Quran dengan busana ketat dan celana pendek sambil memainkan musik Disc Jockey (DJ).
Sekretaris Jenderal Ikatan Sarjana Alumni Dayah (ISAD) Aceh, Dr Teuku Zulkhairi, mengatakan aksi selebgram Aceh berinisial MU melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan iringan musik Dj ‘jedag-jedug’ saat siaran langsung dan bahkan sambil memakai celana pendek sangat mengarah kepada pelecehan agama.
Sebab, katanya, pembacaan Al-Qur'an adalah hal sakral dan karenanya membaca Al-Quran dengan mengirinya bersama pemutaran musik elektronik semacam itu menjadi tendensi sebagai dugaan pelecehan agama.
Dr Zulkhairi mengungkapkan, Aceh telah mengatur hukuman bagi setiap orang yang melakukan penistaan agama Islam.
Hal itu tertuang dalam Qanun Jinayat Aceh Nomor 6 Tahun 2014, Pasal 23 Ayat 1.
Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa, “Setiap orang yang dengan sengaja di tempat umum menghina, melecehkan, atau merendahkan ajaran agama Islam dipidana dengan uqubat ta’zir.”
Menurut Dr Zulkhairi, aturan ini harus ditegakkan untuk memberi efek jera dan melindungi kemuliaan Islami.
“Jika kita tidak serius menindaklanjuti kasus ini, dikhawatirkan penistaan agama seperti ini akan terus berulang,” ungkapnya, Jumat (17/1/2024).
Karena itu, Dr Zulkhairi, meminta pemerintah untuk segera membentuk Satgas Media Sosial khususnya TikTok untuk menelusuri dan mencegah kejadian serupa di masa depan.
“Kita tidak berbicara soal menghukum orang, tetapi tentang menjaga kemuliaan Islam agar tidak dilecehkan di media sosial, apalagi oleh orang Aceh sendiri,” ujarnya.
“Fenomena dugaan pelecehan ini mencerminkan indikasi dekadensi moral yang cukup parah karena kurangnya edukasi dalam penggunaan media sosial serta kurangnya pengawasan,” tegas mantan Komisioner pada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aceh ini.
Selama ini fenomena penggunaan TikTok oleh selebgram Aceh, menurut Dr Zulkhairi, sudah sangat jauh dari nilai-nilai Islam dan budaya Aceh.
Platform tersebut kini dipenuhi konten negatif seperti fitnah, caci maki, membuka aurat, teumeunak dan bahasa-bahasa kurang pantas lainnya sudah seperti aksi-aksi yang menyerupai manusia tidak bertuhan.
“Media sosial seperti TikTok bukanlah wilayah bebas nilai. Dalam konteks Aceh, masyarakat seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga kemuliaan Islam, mengingat sejarah dan peradaban yang diwariskan para endatu kita,” jelasnya.
Dr Zulkhairi menekankan bahwa pembentukan Satgas Pengawasan Media Sosial merupakan langkah strategis untuk mengantisipasi kasus-kasus penistaan agama dan menjaga implementasi syariat Islam di ruang digital.
“Saya menyarankan agar Satgas ini nantinya dapat melibatkan unsur pemerintah, kepolisian, para ulama, akademisi, hingga tokoh masyarakat,”
“Mereka bertugas memastikan bahwa nilai-nilai Islami dan Syariat Islam yang berlaku di Aceh juga diterapkan di media sosial seperti TikTok,” ujarnya.
Selain itu, Dr Zulkhairi juga menyoroti urgensi penerapan Qanun Penyiaran Aceh, yang membuka peluang untuk mengatur penggunaan media digital seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan Facebook.
“Platform media sosial saat ini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan televisi dan radio. Oleh karena itu, pengawasan terhadap penyiaran berbasis internet harus menjadi prioritas,” pungkasnya.
Dr Zulkhairi berharap pemerintah Aceh melihat kasus secara serius dan segera mengambil langkah konkret seperti dengan pembentukan Satgas.
“Kita tidak hanya berbicara soal aturan Qanun yang harus dihormati, tetapi juga bagaimana menjaga identitas Aceh sebagai Serambi Mekah yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam,” katanya.
Kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya pengawasan yang lebih ketat terhadap media sosial di era digital, khususnya untuk menjaga syariat Islam yang menjadi landasan kehidupan masyarakat Aceh.
(Serambinews.com/ar)
Bertemu Komunitas OTP, Ketua DPRK Banda Aceh Sebut Pasangan Muda Gampang Cerai: Tidak Ada Rasa Malu |
![]() |
---|
Kadisdik Aceh Sambut Tim Sekolah Vokasi IPB, Bahas Program Vokasi dan Peluang Kerja ke Jepang |
![]() |
---|
Pelatihan Produksi Parfum, Wali Kota Illiza Teken MoU dengan Rektor UII Yogyakarta |
![]() |
---|
Profil Bang Jack Libya, Mantan Ajudan Hasan Tiro yang Kini Jadi Jubir KPA |
![]() |
---|
Pemerintah Aceh Targetkan Jadi Tuan Rumah MTQ Nasional 2028 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.