Jurnalisme Warga
Sampah Menumpuk, Gaji tak Cukup: Potret Krisis Kebersihan di Pasar Rukoh Banda Aceh
Lorong-lorong sempit dipenuhi tumpukan sampah; sisa sayuran, plastik, dan limbah organik lainnya tampak menggunung di beberapa titik.
Laporan: Raihannah dan Happyna Ramadhani( Mahasiswa Prodi KPI Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, email: happynaramadhani@gmail.com)
BANDA ACEH - Suasana Pasar Rukoh, Banda Aceh, yang biasanya dipenuhi hiruk-pikuk para pedagang dan pembeli, tampak lebih lengang pada Jumat siang (16/5/2025). Bau menyengat menyambut setiap langkah kaki yang masuk ke kawasan pasar.
Lorong-lorong sempit dipenuhi tumpukan sampah; sisa sayuran, plastik, dan limbah organik lainnya tampak menggunung di beberapa titik. Tidak hanya merusak pemandangan, kondisi ini juga memicu keluhan dari para pembeli dan keresahan dari para pedagang yang menggantungkan hidup mereka di sana.
Edo (22), seorang pedagang sayur yang sudah tiga tahun berjualan di Pasar Rukoh, mengungkapkan bahwa kebersihan pasar memang menjadi persoalan yang tak kunjung selesai.
"Kondisi pasar memang masih kurang bersih, tapi kami sudah terbiasa. Mau bagaimana lagi? Kami hanya bisa berusaha tetap menjaga dagangan kami agar tetap terlihat rapi dan bersih," ujarnya dengan pasrah.
Namun tidak semua pengunjung benar-benar menjauhi pasar ini. Ros (54), seorang pembeli yang tinggal di kawasan Darussalam, tetap setia berbelanja di Pasar Rukoh meskipun mengakui kondisi lingkungannya tidak nyaman.
"Iya, pasar ini memang kotor, saya juga sering lihat sampah berserakan, terutama di sore hari. Tapi saya tetap ke sini karena barang-barangnya lengkap. Mulai dari ikan segar, sayur, sampai bumbu masak, semua ada di satu tempat. Jadi meskipun tidak nyaman, saya tetap memilih belanja di sini," kata Ros.
Apa yang dirasakan Ros adalah gambaran dari banyak pembeli lainnya: Ada ketergantungan terhadap pasar karena kelengkapan dan harga yang kompetitif, namun terpaksa menerima kondisi yang seharusnya bisa diperbaiki.
Upah di Bawah UMR
Sementara di balik layar, para petugas kebersihan yang berjibaku setiap hari dengan bau dan limbah juga menghadapi tantangan yang berat. Agus (52), salah satu dari empat petugas kebersihan yang bekerja di Pasar Rukoh, mengungkapkan bahwa sampah diangkut dua kali sehari, yaitu pukul 06.00 dan 10.00 pagi.
Agus dan tiga kawannya adalah petugas kebersihan di bawah Pemko Banda Aceh. Selama ini mereka bekerja tanpa jaminan ketenagakerjaan (BPJS) dan gaji bulanan yang masih di bawah UMR.
"Kami setiap hari bekerja membersihkan sampah di Pasar Rukoh. Kami semua berstatus sebagai buruh,” kata Agus.
“Tapi kadang kerja kami seperti sia-sia, karena setelah sampah dibersihkan, langsung kotor lagi. Sampah datang terus, tidak ada jeda," ujarnya.
Namun lebih mengkhawatirkan adalah soal upah. Agus hanya menerima Rp 2,5 juta per bulan — angka yang jauh di bawah Upah Minimum Regional (UMR) Banda Aceh tahun 2025 yang telah mencapai Rp3.898.856.
"Gaji kami tidak cukup, apalagi harga kebutuhan makin mahal. Tapi mau bagaimana, kami kerja karena memang butuh. Setiap hari harus berteman dengan sampah dan bau demi bertahan hidup," ungkap Agus lirih.
Upah yang diterima Agus dan kawan-kawan terasa tidak adil, bahkan melanggar dari ketetapan pemerintah. Hal ini dinyatakan Hasan Basri M. Nur, dosen kami di Prodi KPI UIN Ar-Raniry.
“Pemko Banda Aceh seharusnya membayar kepada petugas kebersihan sesuai UMR yaitu di atas Rp 3,8 juta per bulan. UMR itu kan ketetapan pemerintah dan pemerintah mesti patuh pada aturan ini,” ujar Hasan Basri M. Nur.
Kondisi ini mengungkap realitas yang kerap tak terlihat dalam wajah pasar tradisional, di balik harga murah dan kesibukan perdagangan, ada para pekerja yang bekerja keras dengan penghargaan yang minim.
Buruh kebersihan seperti Agus berperan penting dalam menjaga roda ekonomi pasar tetap berjalan, namun sering kali diposisikan hanya sebagai pelengkap, bukan prioritas.
Butuh Kesadaran Warga
Pihak pengelola pasar mengakui adanya tantangan besar dalam sistem kebersihan. Kurangnya kesadaran sebagian besar pedagang dan pengunjung untuk membuang sampah pada tempatnya menjadi hambatan utama.
Tempat sampah memang tersedia, tetapi banyak yang memilih membuang limbah langsung ke lantai atau ke selokan terdekat. Akibatnya, saluran air kerap tersumbat, terutama saat musim hujan, yang kemudian menimbulkan genangan dan bau busuk yang semakin mengganggu.
Krisis kebersihan ini bukan hanya soal estetika lingkungan, tetapi menyangkut kesehatan masyarakat. Sampah organik yang membusuk dapat menjadi sarang lalat, tikus, dan kuman penyakit.
Ini menciptakan resiko kesehatan tidak hanya bagi pengunjung, tetapi juga bagi pedagang dan pekerja pasar, termasuk petugas kebersihan yang setiap hari bersentuhan langsung dengan limbah tanpa perlindungan memadai.
Sementara itu, ketimpangan upah dan status kerja buruh kebersihan memperlihatkan lemahnya komitmen terhadap kesejahteraan tenaga kerja informal. Dengan beban kerja yang berat dan resiko tinggi, upah di bawah UMR menjadi ironi yang tak bisa diabaikan.
Padahal, jika tenaga kebersihan mogok atau tidak ada, pasar bisa lumpuh. Namun keberadaan mereka masih sering dipandang sebelah mata, bahkan oleh pengelola pasar sendiri.
Potensi Pasar Rukoh
Pasar Rukoh sebenarnya memiliki potensi besar. Letaknya strategis di kawasan pendidikan dan permukiman menjadikan pasar ini pusat ekonomi rakyat yang vital.
Jika dikelola dengan serius dan diberi perhatian yang layak, baik dari aspek kebersihan maupun kesejahteraan tenaga kerja. Pasar Rukoh bisa menjadi contoh pasar tradisional yang modern, sehat, dan manusiawi.
Namun perubahan tidak mungkin terjadi jika tanggung jawab hanya dibebankan pada satu pihak. Pemerintah daerah harus hadir dengan kebijakan yang adil, termasuk sistem penggajian buruh serta penyediaan alat dan perlindungan kerja yang memadai.
Pengelola pasar harus meningkatkan pengawasan dan ketegasan dalam penerapan aturan kebersihan. Sementara pedagang dan pengunjung juga harus memiliki kesadaran kolektif untuk menjaga lingkungan bersama.
Kebersihan pasar bukan hanya soal sampah yang diangkut, tapi juga soal bagaimana kita menghargai mereka yang menjaga ruang publik kita tetap layak digunakan. Tanpa keadilan upah dan tanggung jawab sosial, pasar tradisional akan terus dihantui masalah lama yang belum terselesaikan.
Pasar Rukoh masih kekurangan fasilitas publik, terutama toilet. Ini semestinya menjadi “PR” Pemko Banda Aceh dan segera membangun toilet.
“Kami berharap Pemko Banda Aceh membangun toilet di Pasar Rukoh agar pengunjung menjadi lebih nyaman,” ujar Cilfi Balqis, salah satu pelanggan setia Pasar Rukoh.
Selain penyediaan toilet, pemerintah perlu memasang papan pengumuman untuk tidak membuang sampah sembarangan di pasar. Informasi pada papan pengumuman ini akan menumbuhkan kesadaran pengunjung ketika berada di pasar.
Saatnya kita sadar bahwa kebersihan bukan hanya soal visual, tetapi juga refleksi dari nilai-nilai keadilan, martabat, dan kemanusiaan. Semoga!
Banda Aceh, 16 Mei 2025
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.