Berita Aceh Utara

RUU Kehutanan Harus jadi Titik Balik atas Ketimpangan Struktural dan Krisis Sosial-Ekologis

Indonesia tidak boleh lagi menggunakan paradigma kolonial yang menganggap hutan sebagai komoditas milik negara semata.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Muhammad Hadi
Foto Dok Forest Watch Indonesia
Potret kerusakan hutan dan kayunya diolah menjadi bentuk pelet kayu dan kemudian diekspor ke Jepang dan Korsel atas nama transisi energi. 

“RUUK harus berpihak pada keadilan ekologis dan pengakuan utuh atas hak-hak Masyarakat Adat Meratus, yang tersingkir karena wilayah adat mereka dijadikan kawasan hutan,” tambah Raden.

Di Kalimantan Barat, hutan yang luas tak menjamin kesejahteraan karena tata kelolanya masih dikuasai logika kolonial dan kepentingan kapital. 

“Hutan Tanaman Industri di dalam konsesi kehutanan adalah kebun monokultur yang bukan hutan. RUU Kehutanan bukan hanya soal regulasi, tapi soal keadilan dan masa depan,” tegas A Syukri dari Link-Ar Borneo.

RUUK harus menjadi benteng terhadap ekspansi korporasi, bukan jalan tol bagi proyek pangan dan energi yang mengorbankan hutan dan masyarakat adat.

Darwis dari Green of Borneo Kaltara menegaskan tanpa perlindungan sosial, penerapan prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dan pelaksanaan Putusan MK 35 di tingkat tapak, revisi ini hanya akan memperluas konflik, kriminalisasi, dan kerusakan ekologis di Kaltara atas nama pembangunan.

Afifuddin dari WALHI Aceh menambahkan jika RUUK tak berpihak pada rakyat dan ekosistem, maka yang lahir bukan solusi, tapi legalisasi krisis di Aceh.

Sulfianto dari Panah Papua menegaskan bahwa pendekatan eksploitatif dalam RUUK harus dihentikan, apalagi jika tanpa transparansi dan persetujuan masyarakat adat, maka yang terjadi bukan pembangunan, tapi penjajahan dalam bentuk food estate.

Baca juga: Harga Emas Hari Ini Naik, Berikut Rincian Harga Emas Antam Per Gram pada Selasa 10 Juni 2025

Di Jambi, transisi energi yang dijalankan konsesi kehutanan justru jadi kedok baru perampasan hutan, menggusur kebun rakyat, hingga konsesi yang berubah jadi tambang ilegal.

“RUUK harus dikawal ketat agar narasi hijau tidak terus dipakai untuk mengabaikan hak ulayat dan merampas ruang hidup masyarakat,” tegas Oscar Anugrah dari WALHI Jambi.

Penguasaan sepihak atas hutan di Gorontalo sejak kolonial hingga hari ini juga terus berlangsung dalam rupa baru, yakni investasi, proyek monokultur, dan proyek bioenergi di Kabupaten Pohuwato yang meminggirkan masyarakat lokal.

“RUUK harus menjadi alat koreksi terhadap warisan ketimpangan ini, bukan justru melanggengkannya demi kepentingan korporasi dan kepentingan transisi energi negara importir atas sumber daya hutan di Gorontalo," tambah Defri Setiawan dari Walhi Gorontalo.

Di tengah keterbatasan ekologis pulau-pulau kecil Maluku, kebijakan kehutanan tak bisa terus mengulang sejarah pengabaian dengan menunjuk wilayah adat menjadi kawasan hutan negara, bias pulau besar, hingga lahirnya proyek biomassa di Pulau Buru yang menggusur ruang hidup.

“Sudah saatnya masyarakat adat tidak sekadar diajak berpartisipasi, tapi diakui haknya sebagai pemilik sah hutan yang mereka rawat turun-temurun,” tegas Zul dari KORA Maluku.

Baca juga: Putin Mengamuk, Rusia Serang Ukraina Pakai Pesawat Nirawak dan Rudal, Pangkalan Militer Luluh Lantak

Faizal Ratuela dari WALHI Malut turut menambahkan ketika negara menjadikan pulau-pulau tak berpenghuni sebagai celah ekspansi proyek strategis nasional, tanpa melihat relasi komunal masyarakat dan daya dukung ekologi, maka yang dikorbankan bukan hanya hutan, tapi juga identitas, kesehatan, dan masa depan pulau-pulau yang rentan di garis gempa dan krisis iklim.

Dr. Andi Chairil Ichsan Kepala LPPM Universitas Mataram turut menambahkan bahwa RUUK bukan sekadar dokumen hukum, tapi cerminan memahami ulang makna hutan, memperbaiki struktur tata kelola, dan memastikan bahwa kekuasaan atas hutan tidak lagi dimonopoli, melainkan dibagi secara adil dan transparan demi masa depan sosial-ekologis yang berkeadilan.

Selain itu, Dessy Eko Prayitno, S.H., M.H. dari Universitas Indonesia menambahkan bahwa pengakuan hak masyarakat dan tata kelola hutan yang transparan, partisipatif, dan akuntabel harus menjadi roh dari UUK yang baru, baik pada tahap pengukuhan, perizinan, pengawasan, dan penegakan hukumnya.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved