Aceh Besar
Mapesa Restorasi Makam Syah Bandar Abad Ke-17 di Darul Imarah Aceh Besar, Ini yang Ditemukan Tim
Mizuar menjelaskan, penemuan makam Syah Bandar ini berawal dari proses pembersihan yang telah dilakukan sejak...
Penulis: Rianza Alfandi | Editor: Eddy Fitriadi
Laporan Rianza Alfandi | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Masyarakat Peduli Sejarah (Mapesa) kembali melakukan meuseuraya, yakni aktivitas mingguan merestorasi makam dan nisan-nisan bersejarah.
Kali ini meuseuraya dilakukan di komplek makam milik elite Kesultanan Aceh Darussalam di Gampong Lamreung, Kecamatan Darul Imarah, Kabupaten Aceh Besar, Minggu (13/7/2025).
Ketua Mapesa Mizuar Mahdi, mengatakan di Gampong Lamreung ini pihaknya melakukan penataan pada makam Syah Bandar abad ke-17, yang merupakan salah seorang tokoh elit pada era Kesultanan Aceh Darussalam.
“Untuk jumlah makamnya di sini belasan. Jumlah total batu nisannya di atas 20-an yang sudah kita identifikasi, namun ada berapa lagi yang masih tertanam di dalam tanah, belum berhasil kita periksa,” kata Mizuar.
Mizuar menjelaskan, penemuan makam Syah Bandar ini berawal dari proses pembersihan yang telah dilakukan sejak beberapa waktu lalu, di mana berdasarkan pecahan nisan yang dikumpulkan terdapat inskripsi (ukiran pada batu) memahat sebuah gelar seorang bangsawan ataupun orang elit kesultanan pada era kesultanan Aceh Darussalam, yakni Syah Bandar.
Namun, kata Mizuar, pihaknya tidak bisa mengenali nama dari Syah Bandar tersebut lantaran bagian inskripsi lainnya sudah rusak dan hancur.
Tetapi, jika dilihat dari model dan pola kaligrafi serta tipe batu nisannya, Mapesa menduga Syah Babdar ini ada di era Kesultanan Iskandar Muda sampai dengan periode kesultanah yang memerintah di Aceh Darussalam.
“Ini berdasarkan rujukan beberapa batu nisan yang sama persis, berikut juga dengan pola kaligrafinya. Salah satunya yang bertarikh itu ditemukan di Gampung Pelanggahan. Tokoh tersebut bagian namanya sudah rusak, namun tarikh wafatnya disebut pada tanggal 1 Muharam, kalau dikonversi ke Masehi itu jatuh pada tahun 1679,” jelasnya.
Selain itu, Mizuar mengungkap, di sisi timur komplek makam tersebut pihaknya juga menemukan satu nama tokoh perempuan lainnya, yakni disebut dengan Tun Sumayyah.
“Namun, Tarikh (perhitungan) wafatnya juga tidak dipahat, namun dari pola kaligrafi dan bentuk batu nisan, dia juga berasal dari awal-awal abad ke-17 Masehi,” ujarnya.
Ia mengungkap, kata Tun adalah sebuah gelar kebangsaan di Kesultanan, sehingga menandakan tokoh perempuan yang dimakamkan di lokasi tersebut juga bukan tokoh biasa.
“Artinya komplek pemakaman ini adalah komplek pemakaman elit era Kesultanan Aceh dari periode penghujung abad ke-16 sampai dengan penghujung abad ke-17 Masehi. Jadi artinya ini adalah kubur-kubur yang telah diisi oleh tokoh-tokoh bangsawan dan elit Kesultanan Aceh dalam periode satu abad lebih,” pungkasnya.
Pada Meusuraya kali ini, Mapesa juga kedatangan Dr. Aqlaia Iankoskaia, di SOAS (School of Oriental and African Studies) London. Dia merupakan bagian dari tim proyek Naskah Sumatra, di mana ia juga memimpin studi kasus manuskrip Aceh.
Pada komplek tersebut Dr. Aqlaia melihat dan mempelajari secara langsung proses pemugaran makam dan batu nisan bersejarah.
“Sejujurnya saya tertarik dengan persepsi masyarakat tentang sejarah makam ini dan juga tentang kepentingan tempat ini bagi masyarakat sekarang,” singkat Aqlaia.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.