Berita Aceh Utara

Akademisi Sebut Negara Bisa Digugat Jika Proyek Irigasi Krueng Pase Mangkrak: Masuk Pelanggaran HAM

Proyek jaringan irigasi Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase sejatinya ditargetkan rampung pada Desember 2024.

Penulis: Jafaruddin | Editor: Saifullah
Dok BWS Sumatera I
IRIGASI KRUENG PASE - Kondisi proyek Bendung DI Krueng Pase idi perbatasan Desa Leubok Tuwe, Kecamatan Meurah Mulia dengan Desa Maddi, Kecamatan Nibong, Kabupaten Aceh Utara. Perampungan proyek ini molor dari jadwal yang ditetapkan sehingga terancam mangkrak. 

Laporan Jafaruddin I Aceh Utara

SERAMBINEWS.COM, LHOKSUKON - Keterlambatan penyelesaian proyek rehab lanjutan Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase di Aceh Utara dinilai tidak lagi sekadar masalah teknis, melainkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Sebab, mangkraknya proyek ini, menyebabkan 8.922 hektare sawah di sembilan kecamatan dalam Kabupaten Aceh Utara, tidak bisa digarap dalam lima tahun terakhir. 

Sehingga petani kehilangan pendapatan yang berdasarkan hitungan Dinas Pertanian dan Pangan Aceh Utara mencapai Rp 4 triliun.

Hal ini ditegaskan oleh Muksalmina, SHI, MH, Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal). 

Ia menyebut, negara berpotensi digugat secara hukum karena gagal melindungi hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan layak.

“Proyek ini tidak bisa lagi dianggap sebagai keterlambatan biasa. Negara telah mengabaikan hak ribuan petani untuk hidup layak. Ini bentuk pelanggaran HAM dalam konteks bisnis dan pembangunan,” ujarnya kepada Serambinews.com, Minggu (20/7/2025).

Proyek jaringan irigasi Daerah Irigasi (DI) Krueng Pase sejatinya ditargetkan rampung pada Desember 2024. 

Baca juga: Bendung Irigasi Krueng Pase Kanan Belum Maksimal, Petani di Wilayah Aceh Utara Rugi 137 Miliar

Namun progres di lapangan membuat tenggat mundur setidaknya hingga Desember 2025, bahkan berisiko molor hingga 2026.

Proyek yang telah menelan anggaran Rp 46,5 miliar, termasuk dana tambahan dari Kementerian PUPR senilai Rp 8,9 miliar, masih menyisakan lahan-lahan sawah terbengkalai akibat belum tersalurnya air irigasi.

Para petani di wilayah tersebut sudah lima tahun kehilangan akses terhadap lahan produktif yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. 

Dinas Pertanian dan Pangan Aceh Utara mencatat, kerugian ekonomi yang diderita petani mencapai lebih dari Rp 4 triliun hanya pada tahun 2024.

Dampaknya meluas hingga kenaikan harga beras di tingkat rumah tangga.

Muksalmina menyebutkan, bahwa keterlambatan proyek irigasi ini telah melanggar sejumlah ketentuan hukum dan konstitusi, antara lain, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945: "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan."

Kemudian Pasal 28C ayat (1) UUD 1945, hak atas pengembangan diri dan pemanfaatan sumber daya alam.

Dan Pasal 9 ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM: hak untuk hidup dan meningkatkan taraf kehidupan.

“Dalam konteks ini, negara bukan hanya abai secara administratif, tetapi telah gagal melindungi warga negara dari dampak negatif proyek,” urai. 

“Itu artinya ada perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad),” tegas Pakar Hukum Tata Negara Unimal.

Lebih lanjut, ia menyoroti, bahwa Indonesia telah mengadopsi prinsip Bisnis dan HAM melalui Perpres Nomor 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM (Stranas BHAM).

Dalam Perpres tersebut, negara diwajibkan untuk memastikan kegiatan usaha tidak melanggar HAM dan menjamin akses pemulihan bagi korban.

“Balai Wilayah Sungai Sumatera I sebagai pelaksana teknis proyek harus bertanggung jawab atas kerugian masyarakat,” tutur dia. 

“Negara bisa digugat karena tidak menjamin akses terhadap sumber daya yang menjadi hak rakyat,” katanya.

Dosen Fakultas Hukum tersebut menyarankan agar masyarakat, termasuk petani terdampak, mempertimbangkan langkah hukum, termasuk gugatan class action terhadap pemerintah dan kontraktor proyek.

“Kalau hingga akhir 2025 proyek ini belum juga selesai, berarti separuh dekade rakyat dipaksa menganggur oleh negara sendiri. Ini tak bisa ditoleransi,” ujarnya.

Tak hanya pemerintah pusat, Muksalmina juga menyinggung Gubernur Aceh dan Bupati Aceh Utara untuk segera mengambil langkah konkret.

Ia juga mendorong keterlibatan Komnas HAM, organisasi masyarakat sipil, dan lembaga bantuan hukum untuk menyelidiki pelanggaran HAM dalam proyek ini dan mendampingi masyarakat dalam proses pemulihan hak mereka.

“Bagi petani, air bukan sekadar kebutuhan pertanian, tetapi urat nadi kehidupan,” Muksalmina. 

“Jika negara tidak mampu menjaganya, maka negara telah ikut mencabut hak hidup warganya sendiri,” pungkasnya.(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved