Banda Aceh

Forum LSM Diskusikan Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah

Forum ini dihadiri peserta dari berbagai latar belakang mulai dari penyelenggaran Pilkada— Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Badan Pengawas...

Penulis: Masrizal Bin Zairi | Editor: Eddy Fitriadi
SERAMBI/MASRIZAL
SAMPAIKAN MATERI - Mantan komisioner KIP Aceh, Munawarsyah didampingi pemandu acara, Arman Fauzi sedang menyampaikan materi pada diskusi publik yang diselenggarakan oleh Forum LSM Aceh di MK Coffee Premium, Aceh Besar pada Rabu (23/7/2025). 

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Forum Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aceh mengadakan diskusi publik yang membahas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 terkait pemisahan Pemilu nasional dengan Pemilu lokal.

Forum ini dihadiri peserta dari berbagai latar belakang mulai dari penyelenggaran Pilkada— Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), praktisi hukum, akademisi, pengamat politik, aktivis, hingga praktisi media.

Adapun narasumber utama diskusi terbatas ini yaitu Munawarsyah, mantan komisioner KIP Aceh. Kegiatan yang dipandu Arman Fauzi ini digelar di MK Coffee Premium, Aceh Besar pada Rabu (23/7/2025).

Dalam diskusi itu, para peserta memberi pandangannya terkait putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional—Pilpres, DPR dan DPD, dengan pemilu lokal—Pilkada Gubernur/Bupati/Wali Kota, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota.

Munawarsyah antara lain menyampaikan bahwa ada implikasi yang timbul dari putusan MK, yaitu terjadi dua kali pelaksanaan pemilu. Pemilu nasional digelar tahun 2029. Setelah 2,5 tahun berselang baru dilaksana pemilu lokal.

“Rekayasa konstitusi untuk pemilu nasional tidak menjadi masalah karena masa periodenya pas. Yang jadi masalah pemilu daerah karena dilaksanakan 2,5 tahun setelah itu,” ujarnya.

“Implikasi dari putusan MK, akan ada kekosongan masa jabatan. Bagaimana mengisi masa transisi. Anggota DPRA kita sama dengan DPRD provinsi lainnya. Yaitu jabatannya lima tahun,” tambahnya.

Karena itu, menurutnya, Pemerintah dan DPR perlu segera menyelesaikan polemik ini sehingga tidak terjadi debat kusir. “Pemerintah dan DPR segera menyusun modifikasi atau formulasi Undang-Undang Pemilu. Sehingga ada perangkat hukum yang mengatur Pemilu,” ucapnya.

Putusan Mumang

Sikap kecewa disampaikan praktisi hukum, Mukhlis Mukhtar. Dalam diskusi itu, mantan anggota DPRA yang turut membidani lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) ini terlihat geram dengan putusan MK. 

“Menurut saya, putusan MK itu putusan mumang (kacau balau—bahasa Aceh). Banyak sekali yang aneh. Tapi menjadi tidak aneh ketika putusan MK menjadi putusan mengikat,” ujarnya.

“Saya lihat sangat miris memang. Memalukan sistem negara yang kita bangun dengan darah begitu, ternyata menjadi ruang olok-olok. Saya kira butuh pemikiran dan pemahaman yang sangat luar biasa menyangkut dengan putusan MK,” tukasnya.

Sementara pengamat politik Aceh, Taufiq A Rahim mengungkapkan berubah atau tidaknya sistem pelaksanaan pemilu, tidak membawa pengaruh apa-apa kepada rakyat karena hanya untuk kepentingan elite.

“Bagi rakyat, mau dipisah atau tidak sistem pemilu, rakyat tidak berpengaruh apa-apa. Yang nikmati para elite. Bagi rakyat, kalau manfaatnya tidak ada bagi rakyat, saya pikir nonsense semua,” ungkapnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum LSM Aceh, Sudirman Hasan saat membuka diskusi pada intinya menyampaikan kegiatan ini bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang sistem kepemiluan di Indonesia.(*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved