Selebritis

Kisah Pilu Marshanda: Tunangan Bule Tewas Jatuh dari Lantai 26, Sempat Ingin Mualaf Sebelum Menikah

Marsanda menambahkan, ia membutuhkan waktu dua tahun untuk memulihkan diri sebelum akhirnya siap membagikan kisah ini.

Penulis: Firdha Ustin | Editor: Amirullah
Instagram @marshanda99
Aktris Marshanda membagikan kisah pilu yang sempat mengubah jalan hidupnya. Ia mengungkap bahwa pernikahannya dengan seorang pria bule urung terlaksana akibat tragedi yang menimpa sang kekasih. 

SERAMBINEWS.COM - Aktris Marshanda membagikan kisah pilu yang sempat mengubah jalan hidupnya. Ia mengungkap bahwa pernikahannya dengan seorang pria bule urung terlaksana akibat tragedi yang menimpa sang kekasih.

Dalam video yang ia unggah baru-baru ini, Marshanda bercerita bahwa beberapa tahun lalu tepatnya tahun 2022, ia menjalin hubungan serius dengan pria asal Amerika yang berencana memeluk agama Islam dan ingin menikahi Marshanda.

Namun, rencana indah itu runtuh pada tahun 2023.

Seminggu sebelum hari yang dijadwalkan untuk muallaf, sang kekasih mengalami kecelakaan tragis, terjatuh dari balkon lantai 26 di sebuah apartemen di Jakarta.

Marshanda mengaku awalnya tidak ingin membuka cerita tersebut, bahkan sempat berpikir akan menyimpannya hingga akhir hayat.

Namun, ia kemudian menyadari banyak orang yang mengalami hal serupa, ditinggal meninggal oleh orang tersayang, baik pasangan maupun anggota keluarga.

Baca juga: Sudah Jadi Mantan, Momen Marshanda dan Ben Kasyafani Kompak Hadiri Kululusan Sang Anak Sienna

"Itu salah satu titik paling rendah dalam hidup gue. Jadi ceritanya gua enggak mau buka soal ini sebelum gue cerita ya," ujar Marshanda dikutip Serambinews.com dari kanal YouTubenya, Selasa (12/8/2025).

Menurut Marshanda, kehilangan itu terasa begitu mendadak dan tragis, sementara orang-orang yang mengalaminya sering kali tidak memiliki ruang atau wadah yang benar-benar memahami perasaan mereka.

Kisah Pilu Marshanda

Pada 2022, Marshanda menjalin hubungan serius dengan seorang pria berinisial B seorang pria bule asal Amerika.

Hubungan itu tidak pernah dipublikasikan karena sang kekasih merupakan sosok yang sangat tertutup dan tidak menyukai sorotan publik. 

Mereka sepakat baru akan mengumumkannya jika kelak menikah.

Selama enam bulan bersama, B bahkan rela pindah dari kota dan negara asalnya ke Jakarta demi tinggal dekat dengan Marshanda. Ia tinggal di sebuah apartemen di Jakarta.

Baca juga: Marshanda Dulu Tak Mau Berebut Hak Asuh Anak, Terungkap Alasannya

Memasuki bulan keenam, Marshanda datang ke apartemen B untuk menemaninya kontrol ke dokter jantung, usai sang kekasih mengalami serangan jantung seminggu sebelumnya di usia 37 tahun. 

Namun, sore itu ia menunggu lama di lobi dan teleponnya tidak dijawab.

“Selama enam bulan sama dia, gue nggak pernah lihat dia kena serangan jantung. Which was shocking juga ya. Kok bisa tiba-tiba kayak gini, dia juga nggak punya riwayat itu,” ujarnya.

Marshanda mengungkap B kekasihnya ini merupakan pria yang sweet, supportif bahkan sudah kenal dekat dengan keluarga Mashanda.

"Bahkan dia bisa memahami gue, menenangkan gue. Gue menyebut dia tuh kayak netralizer, neutralizer dan tranquilizer gue yang gue enggak pernah temuin di sosok siapapun," kenangnya.

Marshanda menceritakan, sore itu ia datang ke apartemen B karena satu jam lagi kekasihnya dijadwalkan kontrol ke dokter jantung. 

Baca juga: Jadi Suami Marshanda, Deva Mahendra Pilih Selingkuh dengan Ariel Tatum di Film La Tahzan

Saat menunggu di lobi, seorang satpam menghampirinya dan bertanya siapa yang sedang ia cari. 

“Saya mau jemput B. Dia tinggal di lantai sekian, kamar apartemen sekian,” kata Marshanda kepada petugas.

Petugas kemudian menanyakan ciri-ciri B, termasuk apakah ia orang Indonesia atau warga asing. 

Marshanda pun menunjukkan foto kekasihnya di ponsel.

Para satpam terlihat berunding, lalu memintanya ikut ke kantor manajemen apartemen. 

“Gue lupa perasaan gue pas jalan dari lobi ke kantor manajemen tuh apa. Masih penasaran, masih bingung, kenapa nih?” ucapnya.

Menurutnya, di ruang manajemen, para petugas berusaha membuat suasana tenang agar ia tidak takut, panik, sedih atau syok.

Marshanda mengisahkan, di kantor manajemen apartemen, petugas menunjukkan foto yang sebelumnya ia berikan. 

“Ini kan fotonya ya yang tadi Mbak kasih? Orangnya ini orang asing ya, namanya B?” ujar salah satu petugas, sambil menjelaskan bahwa mereka sedang mencari identitas pria tersebut karena tidak pernah mengenalnya sebagai penghuni tetap di sana.

Ia mengaku sempat kebingungan saat petugas mengatakan foto itu cocok dengan orang yang ditemukan meninggal dunia setelah terjatuh dari balkon lantai 26 ke lantai 10, di samping kolam renang, siang hari itu.

“Gue enggak bisa sih ngeproses ini,” kata Marshanda, mengingat kembali momen tersebut.

Menurut petugas, korban tidak membawa dompet atau KTP di saku dan belum diketahui dari kamar mana ia jatuh.

Jenazahnya sudah dibawa ke rumah sakit terdekat, sementara pihak apartemen meminta Marshanda menunjukkan nomor kamar B agar bisa mencari barang-barang pribadi atau dokumen yang dibutuhkan, mengingat kasus tersebut akan melibatkan kepolisian.

Marshanda menegaskan, “Gue bukan istrinya, jadi gue tidak berkuasa, tidak berwenang untuk memutuskan ini gimana nih gitu.”

Marshanda menceritakan bahwa setelah pihak manajemen apartemen memberitahukan kabar duka itu, ia segera menghubungi adiknya dan meminta agar telepon disetel ke loudspeaker supaya sang ibu dan adik-adik yang lain bisa mendengarnya.

Ia menjelaskan kepada pihak manajemen, “Sebentar ya, Pak. Aku mau nelepon keluarga,” sebelum akhirnya menyampaikan kabar tersebut.

Menurut penuturannya, Marshanda yang biasa disapa Caca, saat itu sekitar pukul 14.00 WIB, ia berkata kepada adiknya, 

“Dek, tolong di-speaker-in ya. Caca mau sampaikan sesuatu yang penting banget. Caca sekarang lagi di apartemennya B, dan dia ditemukan meninggal jatuh dari balkon tadi siang. Sekarang Caca bisa enggak minta adik-adik datang ke sini untuk temenin Caca aja? Karena habis dari sini kita akan naik ke kamarnya B nyari data dirinya dia, seperti ID card atau apapun itu. Terus Caca akan harus ke kantor polisi untuk ngasih keterangan dia siapa. Karena enggak ada orang lain di Jakarta yang dia kenal selain Caca," ungkapnya.

Marshanda mengaku mendengar suara tangisan di seberang telepon, menandakan keluarga sangat terkejut dan terpukul atas kabar tersebut. 

Dalam kondisi itu, Marshanda mengaku bingung hingga identitas dirinya terasa goyah, bahkan hal kecil seperti pilihan kata “gue” atau “aku” pun terasa asing.

Sambil menunggu kedatangan adik-adiknya sebelum menuju kantor polisi, pihak manajemen mengajaknya ke lokasi jatuhnya sang kekasih.

“Kita mau ajak Mbak Marshanda untuk melihat di mana titik dia jatuh,” ujar pihak apartemen.

Menurutnya, saksi mata dari penghuni apartemen serta petugas kebersihan yang sedang bekerja di dekat kolam renang turut menyaksikan peristiwa tersebut.

Ia pun berjalan menuju pintu yang terbuka langsung ke area kolam luar (outdoor).

Marsanda menceritakan bahwa ia mengatakan kepada pihak manajemen apartemen bahwa dirinya hanya sampai di lokasi itu saja dan tidak sanggup melihat ke luar tempat kejadian.

"Saya sampai sini aja. Sorry, saya enggak bisa lihat keluar di mana itu terjadi," katanya.

Pihak manajemen kemudian menjawab bahwa mereka memahaminya, sambil memberi arahan, "Ya pokoknya ya udah, Mbak. Mbak Marsanda, sini aja kami paham. Yang pasti di luar situ belok kanan."

Setelah itu, menurutnya, terjadi insiden di area samping kolam renang di mana seseorang jatuh langsung di lantai keramik. 

Petugas kebersihan segera mengangkat dan membersihkan lokasi tersebut selama sekitar empat jam.

Tidak lama kemudian, polisi datang dan memberi tahu bahwa mereka sudah bisa mengidentifikasi orang yang dimaksud.

Ada seseorang yang memberi informasi kepada Marsanda mengenai identitas orang tersebut, termasuk nomor kamar dan detail lainnya, sehingga ia bisa diinterview.

Marsanda mengaku tetap berada di area pintu masuk menuju kolam sambil menunggu pihak manajemen dan polisi memeriksa lokasi kejadian.

Setelah itu, mereka mengajaknya menuju kamar korban untuk mencari barang-barang yang bisa menjadi bahan laporan ke kedutaan Amerika, mengingat korban adalah warga negara Amerika.

Karena Marsanda yang membantu memesan kamar tersebut, ia mengetahui nomor dan lantainya.

Bersama staf manajemen apartemen dan pihak kepolisian, mereka naik ke lantai tersebut.

Setelah pintu dibuka, pihak manajemen dan polisi mempersilakannya masuk. Ia mengaku tetap tenang di bawah tekanan, meski proses berduka nantinya akan berlangsung panjang dan tidak mudah.

Di dalam kamar, polisi menemukan sejumlah barang seperti ponsel, paspor, pakaian, dan obat jantung.

Marsanda menambahkan bahwa seminggu sebelumnya korban sempat dibawa ke IGD akibat serangan jantung pertama.

Saat berada di kamar, polisi mengatakan kepadanya, "Nanti habis dari sini kita langsung ke kantor polisi sampai kita ke Polres. Kita perlu menginterview Mbak Marsanda."

Setelah pencarian selesai, polisi berencana menginformasikan hasil temuan ke kedutaan, yang kemudian akan menghubungi keluarga korban.

Marsanda pun menawarkan kontak keluarga korban dengan berkata, "Aku punya nomor mamahnya, aku punya kontak orang tuanya. Jadi kalau mau dikasih tahu silakan ini ada nomornya."

Ia lalu menuju parkiran dan mendapati adik-adiknya sudah datang.

Dalam perjalanan menuju Polres bersama adiknya, barulah ia mulai merasa syok dan bertanya-tanya bagaimana kejadian itu bisa terjadi, sambil berkata kepada adiknya yang menyetir untuk menemaninya.

Ia menceritakan bahwa saat itu ia mencoba benar-benar merasakan apa yang terjadi, karena menurutnya, banyak orang yang mengalami kematian mendadak dari orang yang sangat mereka sayangi justru masuk ke fase penolakan atau menjadi seperti “zombie” tampak tenang, seperti tidak terjadi apa-apa, bahkan hanya diam di mobil.

Marsanda mengaku ia sadar memiliki kecenderungan untuk “mem-pause” atau menunda perasaan sebenarnya, agar tetap bisa berfungsi, berbicara, dan menjalani wawancara dengan pihak kepolisian.

“Gue punya kecenderungan itu dan gue enggak mau. Gue maunya gue bisa ngerasain emosi yang sebetulnya dalam hati gue sekarang tuh apa. Syok. Gua enggak mau nunda,” ujarnya.

Ia menambahkan, biasanya ia menunda rasa duka (grief) ketika hal seperti ini terjadi, namun kali ini ia tidak ingin mengulangnya.

Di dalam mobil, ia mengaku terus bertanya-tanya dalam hati, “Kok bisa ya? Kok bisa ini, kok bisa kayak gini?” meski perasaannya lebih histeris daripada yang ia tunjukkan di luar.

Adiknya hanya berusaha menenangkan dengan kalimat singkat seperti, “Iya kak, iya kak,” sambil tetap dalam keadaan syok.

Niat Mualaf, dan Menikah dengan Marshanda

Setibanya di Polres, ia bertemu perwakilan kepolisian.

Petugas menanyakan identitas korban dan hubungannya dengan Marsanda.

Ia menjelaskan semuanya, bahwa Marshanda dan pacar bulenya tengah menjalin hubungam, keduanya pun berniat menikah.

“Kami sedang ada hubungan dan sebetulnya hampir tunangan. Baru seminggu sebelum B meninggal, dia habis bertemu ustaz karena sudah sepakat untuk mualaf. Dia juga sudah berbicara kepada mamaku bahwa dia akan menikahi aku,” jelasnya kepada polisi.

Ia menambahkan bahwa B datang dari California ke Jakarta untuknya, dan seluruh keluarga korban berada di Amerika sehingga di Indonesia ia hanya mengenal dirinya.

Pihak kepolisian kemudian meminta data diri, alamat, nomor telepon keluarga korban di Amerika, lama tinggal di Indonesia, hingga kondisi kesehatannya.

Wawancara berlangsung sekitar satu hingga dua jam.

Setelah selesai, polisi menjelaskan bahwa semua proses selanjutnya akan ditangani oleh kedutaan.

“Mohon maaf, karena Mbak Marsanda itu bukan istri, bukan anggota keluarga yang secara hukum diakui, maka semua ini akan di-handle oleh keluarganya B. Kedutaan akan berkoordinasi langsung dengan mereka,” kata pihak kepolisian.

Marsanda menceritakan bahwa setelah wawancara di kantor polisi yang berlangsung hingga pukul setengah dua pagi, pihak kepolisian menjelaskan koordinasi selanjutnya akan dilakukan oleh kedutaan dengan keluarga korban di Amerika.

Ia sendiri tidak sempat melihat momen terakhir sebelum tunangannya meninggal.

Beberapa jam kemudian, ia mendengar kabar bahwa keluarga memutuskan untuk melakukan autopsi demi memastikan penyebab kematian, apakah ada unsur pendorongan atau hal lain.

Menurutnya, saat itu masih belum ada yang mengetahui pasti mengapa korban bisa jatuh dari balkon, dan hal itu menjadi misteri.

Setelah pemeriksaan di polisi selesai, adiknya menunggu untuk mengantarkan pulang.

Namun, ia memilih tidak ke rumah keluarga karena ingin memproses perasaan sendirian.

“Kalau aku mau nangis, biarin aku nangis, dan itu enggak bisa dilakukan keluargaku karena mereka enggak tega lihat aku hancur,” ujarnya.

Jatuh dari Balkon karena Serangan Jantung

Dalam perjalanan pulang, Marsanda mengaku sempat berdoa, meminta agar malam itu ia bisa bermimpi bertemu sang tunangan untuk mengucapkan perpisahan.

Ia yakin bahwa niat itu akan terkabul.

Malamnya, ia mengalami tidur seperti lucid dream, berada di antara sadar dan terlelap, lalu bertemu sosok B dalam mimpinya.

Ia menuturkan bahwa dalam mimpi tersebut, ia langsung bertanya, “Kamu ngapain? Why did you commit… menghilangkan nyawamu sendiri?”

B, dalam mimpinya, menjawab, “No, aku enggak. Aku enggak melakukan yang kamu kira. Aku kena serangan jantung, sakit banget, dan sendirian di apartemen. HP jauh, enggak kuat gerak. Aku di balkon, mikir punya dua pilihan: sakit sampai mati di sini atau loncat supaya sakitnya langsung selesai.”

Marsanda mengaku bahwa saat mendengar bagian itu di mimpi, ia merasakan panas di dada kirinya.

Ia juga melihat B tampak ikhlas dan mengatakan, “Ini akan menjadi pertemuan terakhir kita. Lanjutkan menjadi dirimu, kamu mau jadi healer, bantu banyak orang, dan bahagia. Find a good guy.”

Ia terbangun dengan air mata membasahi pipi.

Sebulan kemudian, hasil autopsi mengonfirmasi bahwa sebelum meninggal, B memang memiliki riwayat serangan jantung.

Meski begitu, baginya peristiwa itu tetap misteri. “Enggak ada yang tahu mimpi aku beneran apa enggak, tapi aku percaya sama yang aku dengar di mimpi,” ujarnya.

Marsanda menambahkan, ia membutuhkan waktu dua tahun untuk memulihkan diri sebelum akhirnya siap membagikan kisah ini.

Dari peristiwa tersebut, ia belajar tentang rasa kehilangan mendalam akibat kematian mendadak orang terdekat.

(Serambinews.com/Firdha Ustin)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved