Sajian Berbuka Puasa

Pangkat, Menu Berbuka Khas Subulussalam

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang pedagang menjual pangkat dan simboling penganan yang terbuat dari pucuk rotan berbentuk mirip bambu-bambu kecil ini merupakan khas masyarakat Kota Subulussalam. Foto direkam, Senin (1/8) SERAMBI/KHALIDIN

PANGKAT dimakan, bahkan dijadikan menu berbuka puasa? Memangnya bisa? Ya, bisa! Tapi itu hanya terjadi di Kota Subulussalam dan Aceh Singkil. Masyarakat setempat memang menamakan “pangkat” makanan yang satu ini. Tapi jangan terkecoh. Ini bukan atribut atau emblem tanda eselon/kepangkatan sebagaimana dikenal di dunia militer, kepolisian, atau birokrat.

Pangkat dalam terminologi masyarakat Subulussalam dan Aceh Singkil adalah nama lokal untuk pucuk atau umbut batang rotan (Myrialepis paradoxa). Nah, pucuk rotan yang masih segar-segar ini biasanya dicari di hutan, lalu diolah menjadi anyang (sejenis urap) atau gulai pangkat.

Agar lebih nikmat, dalam gulai pangkat biasanya dimasukkan perencah (campuran gulai) berupa ikan lele selai (limbek masik) atau ikan asin. Setelah itu siap untuk disantap.

Bahwa anyang atau gulai pangkat merupakan salah satu makanan tradisional yang sangat digemari masyarakat Subulussalam dan sekitarnya, diakui Ny Khaliah (50), warga Subulussalam. “Pangkat adalah makanan yang sangat kami sukai. Dapat merangsang selera makan, terutama pada bulan puasa,” ujar Khaliah menjawab Serambi, Selasa (2/8).

Pada setiap Ramadhan, penganan yang langka ini biasanya muncul, meramaikan menu berbuka masyarakat Subulussalam dan Aceh Singkil. Dua daerah ini awalnya satu, lalu pada 2 Januari 2007 Subulussalam mekar menjadi kota dari induknya, Kabupaten Aceh Singkil. Namun, sebagian besar makanan tradisional di dua daerah ini masih tetap sama. Di antaranya adalah makanan yang berbahan baku pangkat.

***

Sebagai makanan khas Singkil-Subulussalam, boleh dibilang pangkat termasuk makanan berisiko tinggi dalam mendapatkannya. Sebab, untuk memperoleh pucuk rotan berdiamter 3 hingga 5 centimeter, orang harus berburu rotan ke hutan. Yang namanya masuk hutan, tentulah risikonya tidak kecil. Termasuk kemungkinan berserobok dengan babi hutan atau bahkan diterkam harimau.

Tapi, keinginan untuk mendapatkan pucuk-pucuk rotan yang masih segar, demi hidangan berbuka yang sangat khas, mengalahkan kekhawatiran bertemu dengan satwa liar di hutan.

Begitulah, menjelang atau awal-awal puasa, banyak orang di Subulussalam dan Singkil yang berburu pangkat ke hutan atau minimal ke pinggiran hutan, di mana populasi rotan banyak tumbuh. Bagi yang tidak mau berburu langsung ke hutan, mereka biasanya membeli pangkat yang dijajakan di pasar-pasar. Per batangnya (sekitar 1,5 meter) dijual dengan harga Rp 5.000.

***

Menurut Khaliah, tidak semua rotan bisa dimakan pucuknya. Pucuk rotan yang layak dikonsumsi hanyalah tanaman rotan getah, bukan rotan yang biasanya diolah menjadi perabotan.

Tanaman jenis palm yang mirip bambu-bambuan ini biasanya tumbuh merambat di hutan-hutan pada tepi sungai. Pangkat yang sudah dipotong-potong mudah ditemukan di pasar tradisional seperti di Pasar Terminal Terpadu Subulussalam atau di Pasar Bengkolan Kampung Ujung Singkil.

Penganan dari pucuk rotan ini pun ada dua jenis, yakni pangkat dan simboling. Pangkat berkuran lebih besar (3-5 cm), berwarna merah kekuning-kuningan. Rasanya tidak pahit, tidak pula kelat. Sedangkan simboling bewarna hijau muda, diameternya lebih kecil, rasanya agak asam, kelat, campur pahit. Pahitnya setara daun pepaya atau buah peria yang baru dipetik dari pohonnya.

Namun, menurut Khaliah, rasa pahit yang terdapat di makanan berbahan baku pangkat atau simboling justru dipercaya dapat merangsang nafsu makan seseorang.

Makanan berbahan baku pangkat atau simboling inilah yang sepanjang puasa Ramadhan banyak dijual di Subulussalam dan Kota Singkil. Sebagian ibu rumah tangga, membeli pangkat atau simboling dalam keadaan mentah, lalu dimasak sendiri menjadi lalapan atau bahan utama gulai berperencah lele salai. Belakangan, ada juga pedagang yang memasak anyang atau gulai pangkat dalam jumlah banyak untuk dijual. Biasanya, minat pembeli tergolong tinggi untuk mendapatkan makanan khas sekaligus langka ini.

***

Cara mengolahnya, menurut Khaliah, sebelum dimasak, pangkat dan simboling lebih dulu dikupas kulitnya dengan pisau. Lalu isi batangnya yang berwarna putih diambil. Kemudian dipotong sepanjang empat centimeter. Sebaiknya lebih dulu direbus untuk menghilangkan kadar getah atau rasa kelatnya. Setelah itu, pangkat atau simboling rebus siap untuk dijadikan anyang, urap, atau digulai.

Pangkat yang dijadikan anyang, dalam bahasa setempat dinamai ndelabar. Ke dalam anyang ini dimasukkan kelapa gonseng. “Kalau dibuat menjadi ndelabar, enaknya dimakan dengan onde-onde. Tapi kalau digulai, ya enaknya dengan lele salai,” kata Khaliah.  Tertarik? Silakan dicoba! (khalidin)

Berita Terkini