Serambi MIHRAB

Kelebihan Pendidikan Berbasis Dayah

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Oleh : Dr Saifullah SAg MPd

Dayah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang sudah sangat mengakar sejak Islam bertapak di Aceh pada abad pertama Hijriyah. Dimulai dari pendirian Dayah Cot Kala Langsa, kemudian lembaga dayah menyebar ke berbagai penjuru daerah bahkan sampai ke Nusantara, Malasia dan Thailand.

Dayah Cot Kala merupakan Pusat Pendidikan Tinggi Islam pertama di Asia Tenggara. Lembaga ini banyak berjasa dalam menyebarkan Islam serta melahirkan ulama dan alumni yang kemudian menjadi pendakwah Islam sampai ke berbagai penjuru hingga seberang selat Malaka.

Dakwah yang mereka lakukan merangsang lahirnya kerajaan Islam di daerah seperti Kerajaan Islam Samudera Pasai, Islam Benua, Islam Lingga, Islam Darussalam, dan Kerajaan Islam Indra Jaya. Hampir semua tokoh perjuangan kemerdekaan di Aceh adalah berasal dari Dayah. Seperti Teungku Chik Di Tiro, Teungku Chik Kuta Karang, Teungku Fakinah, Teungku Daud Bereu-eh dan seumpama beliau. Mereka ini adalah insan pilihan yang merupakan hasil dari didikan dayah.

Kiprah dayah diyakini tetap eksis di Serambi Makkah sampai saat sekarang ini. Menurut Teungku Muhammad Basyah Haspy secara lughawi “Dayah” berasal dari bahasa Arab “Zawiyah”. Artinya sudut, karena pengajian pada masa Rasulullah dilakukan di sudut-sudut mesjid. Kemudian dalam ucapan lughat Aceh terjadi perubahan, sehingga pada gilirannya disebutlah dayah. Dayah di Aceh adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikan Islam di Aceh.

Di sinilah letak perbedaan dayah dengan Pesantren. Pesantren berasal dari bahasa Sangsekerta yang artinya “Tempat proses belajar-mengajar agama Hindu”. Sedangkan dayah adalah tempat belajar sahabat. Dan Nabi langsung yang menjadi gurunya.

Dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam di Jawa yang berasal dari lembaga non muslim, kemudian diislamisasikan seiring dengan penyebaran Islam di Tanah Jawa. Sedangkan dayah adalah merupakan lembaga pendidikan Islam asli yang berasal dari Islam sendiri.

Lembaga pendidikan dayah berasal dari nabi dan sahabat, maka pendidikan di dayah lebih banyak diwarnai pendidikan keagamaan dan kecintaan terhadap Allah dan Rasulullah. Apa yang bisa diambil oleh masyarakat sebagai pelajaran dari pembelajaran yang dilakukan di dayah.

Allah berfirman dalam Alquran Surat al-Fath Ayat 29 menyebutkan: Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu Kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar (QS. Al-Fath:9).

Berangkat dari ayat tersebut, maka pendidikan berbasis dayah selalu menanamkan 5 perkara kepada peserta didiknya sebagai pelajaran inti yaitu pendidikan di dayah dengan menamkan nilai-nilai iman yang kuat dan kebencian terhadap musuh Allah dan Rasullah yaitu orang-orang kafir yang memusuhi Islam (kafir al-harby).

Pelajaran ini penting ditanamkan kepada santri dan masyarakat pada umumnya karena pada ketika itu Aceh sedang dalam kondisi peperangan melawan Belanda kafir laknatillah, sehingga perlu dikobarkan semangat jihad. Dan ini merupakan pesan Allah dalam Surat al-Fath ayat 29 yang maksudnya tegas terhadap orang kafir adalah merupakan ciri ummat Muhammad sejati.

Semangat cinta Islam dan tegas terhadap orang-orang kafir sampai sangat ini masih perlu dipertahankan, tidak saja bagi santri, akan tetapi bagi masyarakat pada umumnya, mengingat banyaknya aliran-aliran sesat yang gentayangan diberbagai penjuru bumi Islam umumnya dan Aceh khususnya.

Pendidikan di dayah dengan menanamkan ”nilai-nilai karakter” Dalam bahasa Alquran nilai-nilai karakter ini disebut dengan Ruhamâ’u bainahum (budaya toleransi dan kasih sayang sesama Muslim). Budaya kasih sayang. Dan sifat ini merupakan ciri ummat Muhammad ke-2 setelah ciri yang pertama tegas terhadap orang kafir.

Sebagai muslim, kita harus saling bahu-membahu dalam menegakkan kebenaran, apalagi ajaran Islam ini memang tidak mungkin bisa kita tegakkan sendiri-sendiri. Karenanya sifat tolong-menolong di antara sesama muslim harus diwujudkan sebagaimana perumpamaan yang disebutkan Rasulullah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Muslim yang artinya:

Perumpamaan seorang mukmin dalam berkasih sayang adalah laksana sebatang tubuh yang apabila salah satu anggota mengaduh karena kesakitan, maka terasa panaslah ke seluruh tubuh dan berjaga-jagalah semuanya tidak mau tidur (HR.Muslim). Kalau kemudian ukhuwah Islamiyah terasa sulit diwujutkan dan kaum muslimin tidak saling menyayangi, bahkan saling bermusuhan, itu bukan karena ajaran islam tidak bisa dilaksankan, tetapi karena keimanan yang belum mantap di hati kaum muslimin sehingga tidak bisa berukhuwah Islamiyah.

Pendidikan di dayah dengan menanamkan nilai-nilai ibadah. Dalam bahasa Alquran nilai-nilai ibadah ini disebut dengan “selalu ruku dan sujud” dalam arti amat mantap dalam melalukan penghambaan kepada Allah. Penghambaan yang demikian mantap merupakan sumber kekuatan bagi kaum muslimin, bahkan menjadi sumber keberhasilan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran Islam.

Inilah memang yang dicontohkan oleh Rasullah dalam perjuangannya. Syekh Musthafa Masyhur mengatakan “ Nabi ketika menghadapi persoalan genting, beliau berlindung melalui shalat. Rukuk  dan sujud dalam shalatnya dilakukan secara khusyu yang membawa rasa dekat dengan Allah.

Dan, bersama Allah pula beliau merasa berada dalam keadaan di suatu tempat sandaran yang kokoh, sehingga merasakan aman tentram, percaya diri, dan penuh keyakinan serta memperoleh perasaan damai, sabar terhadap segala bentuk ujian dan cobaan serta rela terhadap takdir Allah.

Keempat, Pendidikan di dayah selalu ditanamkan kepada santrinya untuk selalu mencari keridhaan Allah. Karena ridha Allah yang dicari, maka segala yang dilakukan disesuaikan dengan yang dikehendaki oleh Allah. Ini merupakan perwujudan dari rasa syukurnya kepada Allah atas segala nikmat yang diperoleh dan dirasakannya. Apabila seseorang telah bersyukur maka kenikmatan yang lebih besar akan diperolehnya. Allah berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7 yang artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih (QS. Ibrahim:7).

Kelima, Pendidikan di dayah dengan menanamkan nilai-nilai keteladanan. Dalam bahasa Alquran disebutkan “Memperlihatkan bekas yang positif dari ibadahnya dalam kehidupan sehari-hari). Hal ini karena ibadah dalam Islam bukanlah sesuatu yang dilakukan sekedar formalitas saja, guna menggugurkan kewajiban, melainkan ibadah itu harus meningkatkan keimanan, kesucian hati, dan ketakwaan kepada Allah. Sujut yang membekas bukanlah semata-mata kening yang menjadi hitam, tetapi yang pokok adalah ketundukannya kepada Allah dan Rasul-Nya serta selalu berusaha memperbaiki diri, keluarga, dan masyarakatnya agar tunduk kepada Allah. Dengan demikian, bekas yang positif dari ibadah adalah dekat kepada Allah dan mempunyai perhatian kepada sesamanya. Manakala nilai-nilai ini melekat dalam kehidupan kita bersama, maka kita akan menjadi umat yang kuat dan memiliki izzah yang membuat islam tetap jaya dan menjadi rujukan bagi seluruh ummat manusia dan pada gilirannya akan menjadi rahmatan lil’alamin.

* (Disampaikan pada Kutbah Jumat (8/2) di Masjid Agung Bireuen)

Berita Terkini