Cerpen

Buumm

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

“Adakah yang mencuri kerangka jembatan? Bagaimana nanti dengan jembatan itu?”

“Ya adalah. Jembatan itu ya begitu, sewaktu-waktu bisa ambruk. Tapi apa peduli para pencuri.”

Subari bin Ali, remaja tanggung yang satu, tak melepas genggamannya pada segumpal besi sebentuk nenas. Parang di tangan kanannya ia kerok kerak tanah di semua sisinya. Gumpalan itu sampai terlihat bersih. Dengan bajunya, ia mengelap pula. Ia ingin barang itu benar-benar mengkilap. Persis seperti orang-orang yang sedang berusaha membersihkan barang-barangnya yang lain.

“Tunggu!” perintah Jubir bin Harun, remaja tanggung satu lagi. “Jangan kamu ketok, nanti cacat.”

“Siapa yang mau ketok? Aku ingin membersihkan ukiran-ukiran di dalamnya.” Subari menyebutnya dengan ukiran.

Benda segumpal itu memang penuh ukiran. Di sela-sela itu, kerak tanah juga padat. Warnanya sudah kekuning-kuningan, warna tanah yang sudah bercampur dengan karatan. Entah sejak kapan ia tertimbun. Yang jelas, air dan tanah menempel membuat warnanya yang berbeda.

***

Besi segumpal itu ditemukan pertama kali oleh Jubir. Entah mengapa, ia terlihat agresif pagi itu. Semua yang dicurigai emas akan dikeruknya. Sepertinya ia sedang gila emas. Apalagi dalam dua minggu ini ia sering mendengar ada gunung emas di sekitar gampongnya. Ia mendengar orang-orang sudah saling berebut untuk mendapat tempat di Gunong Meuh. Seorang asing yang pulang dari sana beberapa waktu sebelumnya, memberitahu warga, bahwa ia menemukan sebutir emas. Warga berbondong-bondong ke sana. Bahkan para orang kaya dengan sigap membeli mesin pengeruk tanah.

Jubir tak pernah mendapat kabar tentang warga yang menemukan butiran emas. Inilah yang membuatnya mengurungkan niat nimbrung ke Gunong Meuh. Lagi pula orang tuanya, Harun dengan keras mengingatkan. “Jangan gila harta kamu,” kata Harun, waktu itu. Jubir menurut. Tapi ia sering membayangkan emas.

Bayangannya tentang emas, sering ia sampaikan ke temannya itu, Subari. Malah ia dengan gagah mengatakan bila mendapatkan banyak emas, yang pertama sekali dilakukannya adalah naik haji. Ibadah haji menjadi simbol kemakmuran di gampong kami. Hanya orang-orang yang makmur dan mendapat panggilan saja yang akan menunaikannya.

Begitulah, saat mereka ke kebun, gundukan tanah juga dikira emas. Lantas Jubir mengeruknya. Tak lama, parangnya menyentuh sesuatu dan berbunyi tiingg. Tangan Jubir dengan sigap meraihnya. Benda segumpal yang dikelilingi tanah, dengan menggunakan parang, dibersihkannya tanah itu.

Cara membersihkan tanah di gumpalan, persis seperti dikupas buah mangga dengan menggunakan parang. Tanah itu dikupas, dan benturan besi parang dan gumpalan kerap terdengar.

“Kita akan kaya. Kita akan kaya Sub,” katanya kepada Subari.

Subari hanya manggut-manggut saja.

***

Halaman
123

Berita Terkini