Cerpen

Sahabat Terkekang

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karya Muhammad Radhi Nasir

HARI ini seorang teman menemuiku, setelah sekian lama aku tidak bisa bertemu teman-teman, termasuk dia. Aku sedikit terkejut atas kedatangannya. Dia, Maulana Akbar Pratama, sahabatku waktu di SMA.

Dulu Maulana pernah bercerita kepadaku bahwa sejak kecil dia tidak punya banyak teman. Ayahnya, seorang komandan tentara. Beberapa kali dia pindah sekolah dan selalu tinggal di daerah konflik. Terakhir ayahnya ditugaskan ke Aceh dan saat itulah kami bertemu. Masa kecil Maulana tidak begitu gembira. Pergaulannya dibatasi. Tinggal di asrama tentara, dilarang bermain sepulang sekolah, bahkan disaat-saat tertentu dia mendapat pengawasan khusus dari orang-orang berbadan besar. Wajar saja kebanyakan orang menjauhinya. Anak-anak seperti kami tidak akan mau mengambil risiko. Siapa pun pasti akan merasa takut berada di dekatnya, takut diinterogasi terlebih dahulu, salah-salah nanti bisa ditembak. Begitu bayangannya.

Di SMA aku salah satu teman dekatnya. Mungkin satu-satunya teman yang dianggapnya dekat. Meskipun pertemanan kami hanya sebatas di kelas, ya kami teman sebangku.

Menurut Maulana, kekhawatiran ayahnya terlalu berlebihan. “Aku terlalu di kekang dan itu yang menyebabkan aku tidak punya teman,” katanya suatu hari.

Pengakuannya itu membuat aku tidak enak hati. Aku coba menghiburnya, “Mungkin itu karena dia sayang padamu. Ini daerah konflik dan ayahmu adalah seorang komandan. Orang tua manapun pasti akan mengkhawatirkan anaknya dan berusaha melindungi semampunya.”

Dia memandangiku dan berkata, “Lalu kenapa aku yang menjadi korban? Aku tidak tahu-menahu tentang konflik kalian. Sampai kapan konflik ini akan berakhir? Sampai kapan aku bisa bebas dari hal yang tidak aku mengerti dan tidak aku inginkan ini?”

Anak ini terlalu banyak bergaul dengan orang dewasa. Pikirannya terlalu rumit untuk aku pahami. Tanpa berpikir panjang aku coba menasehatinya. “Kita hanya dapat berdoa. Yakinlah semua ini pasti ada akhir.”

***

Konflik akhirnya selesai dan saat itu pula kami harus berpisah. Meskipun kami kemudian melanjutkan kuliah di Banda Aceh, namun selama di Banda Aceh Maulana sudah menjadi merpati yang bebas terbang kemana saja. Jauh dari orang tua membuatnya begitu liar, mencari teman sebanyak-banyaknya.

Aku mendengar, Maulana sering menghabiskan waktu dari satu cafe ke cafe lain, lalu ke warung kopi, bergabung dengan banyak organisasi, bahkan dia mengenal hampir setiap perkumpulan yang ada di kota ini.

Kebebasan itu benar-benar dimanfaatkannya untuk mencari teman sebanyak-banyaknya, pergaulan yang begitu luas, kartu tanda anggota yang sudah menebal, entah apa yang ia cari.

Pernah aku coba menghubunginya, setelah beberapa kali dihadang nada sibuk dari telpon genggamnya, akhirnya tersambung juga. “Halo....Dengan Maulana Akbar Pratama?”

Dengan suara ramah dia menjawab. “Hmm ya betul. Kalau boleh tahu ini dengan siapa ya?”

“Ini aku, Rahmat Santia. Dulu kita pernah satu Sekolah waktu SMA di.”

Halaman
1234

Berita Terkini