Karya Iswandi Usman
EMPAT buah lampu teplok mulai dinyalakan. Murid-murid Neklah Garu menggantungkan teplok-teplok itu di pancang yang tertancap di empat sudut lapangan silek. Suasana jadi tambah benderang dipadu cahaya purnama yang bersinar terang. Lima puluh orang murid itu duduk bermandikan cahaya, dan takjub mendengar nasihat singkat yang sedang disampaikan guru mereka -guru Pencak Silat Cakar Siwah Gayueng Api.
“Kalian semua murid-muridku, dengarkan baik-baik pesan dariku. Belajar ilmu bela diri bukanlah untuk berkelahi. Kanuragan hanya untuk mempertahankan diri dari ancaman. Bukan untuk dipamer-pamerkan. Bukan untuk mencari lawan dan bukan untuk memancing lawan supaya mencari dan menantang. Kalian mengerti?”
“Mengerti!” jawab para murid serentak.
“Bagus. Sekarang mulailah berlatih dengan pasangan masing-masing. Berlatihlah dengan tekun supaya kalian semua berhasil menguasai jurus-jurus Siwah dariku!”
Semua anak-anak muda itu pun segera bangkit dan mengambil posisi dengan pasangan mereka masing-masing. Kuda-kuda empat puluh derajatpun mulai mereka pasang. Gerakan demi gerakan mulai mereka peragakan. Suara dari desahan nafas yang mereka atur pun terdengar begitu bergelora, meskipun suasana terasa mulai dingin dihembus semilir angin di malam Minggu, awal bulan Januari yang ranum.
Neklah Garu berjalan ke sudut lapangan. Ia menarik seonggok tukok u dan mencampakkan ke tanah, kemudian ia mendudukinya. Ia mulai membalut rokok daunnya. Sesekali Neklah Garu menepuk nyamuk yang menggerayangi tubuhnya yang tanpa baju, hanya memakai kain sarung yang melilit di pinggangnya.Neklah Garu juga sesekali mengibas-ngibaskan kain sarung untuk mengusir nyamuk yang menusuk kulitnya bagaikan jarum, sambil memperhatikan semua gerak-gerik murid-muridnya. Sesekali Neklah Garu menyalakan korek api di ujung rokoknya yang padam karena tembakau yang lembab akibat uapan embun.
“Johan. Jangan kau baca mantra gayueng itu dalam latihan. Kau bisa kesurupan. Binasa kawanmu nanti!” Neklah Garu menegur Johan yang terlihat mulai gamang dengan mulut yang komat-kamit.
“Si Usen bisa bangkit nanti kalau kau panggil-panggil. Sekejap mata dia bisa saja meraga sukmamu!” Lanjut Neklah Garu, menyebut nama Usen, makhluk gaib yang mereka percaya mampu merasuki tubuh manusia jika mantra gayuengnya itu dibacakan oleh seseorang.
“Hah, Si Ham lagi itu. Berlatihlah dengan tenagamu sendiri. Jangan kau gunakan tenaga sahabat dalam tubuhmu. Biarkan mereka bersemayam dengan tenang dalam ragamu. Jangan kau usik!” Neklah Garu juga menegur Hamdani, pasangan Johan dalam berlatih.
Jurus demi jurus dalam latihan silat itu pun berlalu seimbang. Keringat murid-murid Neklah Garu tampak bercucuran dan berkilat di sekujur tubuh mereka dan membasahi celana training yang mereka pakai.
Tanpa terasa waktu yang bergulir telah sampai di seperempat malam. Mencondongkan bulan ke langit barat yang bertaburan bintang.
Di tengah kesungguhan murid-murid Neklah Garu berlatih, Bang Din, anak kandung Neklah Garu datang sambil menjinjing beberapa bungkusan plastik berisikan minyak tanah dan air kopi. Bang Din terus berjalan menghampiri ayahnya.
“Di mana kau belanja? Sudah tengah malam baru kembali. Macam jauh saja kedai?!” ujar Neklah Garu dengan nada sedikit membentak.
“Ha?” Bang Din memiringkan telinganya. Tampaknya ia tak begitu jelas mendengar kata-kata ayahnya barusan. Neklah Garu tak melanjutkan omelannya, sebab ia sadar bahwa anaknya itu tak dapat lagi mendengar secara normal, semenjak anaknya itu menenggak racun siput di gubuk tambak. Racun itu dituangkan pamannya ke dalam botol mineral kosong, kemudian pamannya itu menyangkutkan botol berisi sisa racun itu di dinding gubuk, dengan maksud menyimpannya. Bang Din, karena didera haus yang amat sangat, setelah seharian bekerja menggali tambak di bawah panas matahari, dia mampir sejenak ke gubuk hendak minum. Bang Din mencari-cari botol air. Tapi tak ditemukannya. Dia melihat ada botol lain yang tergantung di dinding. Bang Din meraih racun yang disangkanya air putih itu, kemudian meminumnya. Setenggak saja sudah cukup membuat telinga Bang Din tak normal lagi.Bahkan racun itu hampir saja merenggut nyawanya kala itu. Neklah Garu bersyukur anaknya masih bisa selamat dari ancaman racun laknat itu.
Neklah Garu bangkit. Lalu memperkuat lilitan kain sarung pada pinggangnya. Kemudian berjalan ke tengah lapangan
“Cukup. Berhenti dulu sebentar. Istirahat sambil minum kopi!”
Serentak murid-murid perguruan silat Siwah Gayueng Api mengerumuni gurunya. Mereka membentuk lingkaran. Neklah Garu kini duduk di tengah barisan bundar itu. Setelah selesai menikmati kopi dan kue seadanya. Neklah memerintahkan murid-muridnya untuk memejamkan mata dengan kepala tertunduk, dia juga meminta mereka supaya mengikuti mantra yang sedang ia bacakan dengan suara yang teramat perlahan dan samar bagaikan desir angin.
“Salamalaikum ibuku bumi. Salamailaikum ayahku langit. Salamalaikum waya malaikat empat puluh empat. Bak hazarat lon mohon pinta. Mantra jiboh mantra hanco. Peugunci jiboh, peugunci hanco. Gayueng siraja gayueng. Gayueng api meraga sukma. Sukmaku api. Bara tangan panaskan api. Api bara tamsil terbakar. Keramat isin nibak sifat. Siro retuning siro anguasa lakuaning api. Langit merah langit api. Segara gayueng segara apiiii….”
Begitu sampai diujung rajah mantra gayueng api, suasana yang dingin perlahan berubah jadi hangat.Lalu menjelma bagaikan panas bara api. Telapak tangan Johan terasa berat. Ia coba mempertahankan beban di telapak tangannya dengan cara mengatur nafas dalam-dalam. Bergetar sekujur tubuhnya. Gemeretak gigi-giginya. Matanya kian rapat terpejam. Kepalanya kian tenggelam dalam tunduk menyentuh dadanya yang bidang. Urat-urat di tangannya kian bermunculan bagaikan cambuk api. Dan kemudian ia sontak bangkit dan melompat keluar dari lapangan silat.
“Rajah gayueng apiiii…!” Teriak Johan sembari berlari ke areal persawahan yang luas terbentang. Johan memainkan jurus-jurus siwah dengan tangkasnya. Jendrang dan jerami sehabis musimpanen berhamburan disapunya. Asap bermunculan pada jerami dan jendrang yang terkena telapak tangan Johan. “Haiiiyyaaappp….Hup. Hup. Haaaiiikkkkkhhh yaakhhh…,” suara yang keluar dari mulut Johan bak pendekar yang tengah bertanding saat sedang meladeni serangan musuh.
Mendengar teriakan Johan, Hamdani pun tak dapat lagi membendung gairahnya. Ia tak dapat mengendalikan lagi kekuatan gayueng yang bangkit dalam jiwanya. Hamdani melompati semak-semak dan pucuk ceumeucoet. Tanpa ia hiraukan bebulir ceumeucoet merekati celananya hingga meuseuringam di celana training hitamnya, celananya itu terlihat bagai salah bordir.
“Berhenti. Jangan kalian bakar tumpukan jerami besar ituuu…!” Neklah Garu buru-buru mengejar kedua murid andalannya itu ke tengah sawah. Tapi api yang berada di telapak tangan para muridnya itu telah memberangus tumpukan jerami yang ada. Api membumbung dengan kobaran asap yang meujahoi-jahoi ke angkasa, asap itu laksana menutup sinar purnama hingga suasana menjadi gelap. Dan cahaya api seakan mengalahkan wajah bulan lima belas hari.
Neklah Garu terus berlari sampai dapat menangkap Johan dan Hamdani yang sedang kesurupan. Dengan segenap kegigihan Neklah Garu serta kepiawaiannya dalam menjinakkan pengaruh mantra, pada akhirnya dia berhasil melumpuhkan pengaruh mantra yang sedang menguasai raga Johan dan Hamdani. Kedua muridnya itu lemah terkulai di atas tanah. Kemudian Neklah Garu juga tersungkur dalam kekalutannya sendiri.
“Habis kita. Hancur!” Keluh Neklah Garu.
“Darimana dapat uang buat membayar semua bulir padi yang tertimbun di bawah jerami-jerami itu. Itu semua padi orang yang ditutup dengan jerami supaya tidak lembab dengan embun. Goni padi mereka tutup dengan jerami-jerami yang tertumpuk-tumpuk itu!”
“Kalian membakarnya!”
Neklah melepaskan pandangannya ke liang langit. Kemudian tertunduk, menatap purnama yang mengapung di celah tanah sawah yang tergenang air yang sesekali meleleh oleh angin yang meniup air di liang tanah. Neklah Garu pun pasrah pada hari esok yang tak pasti.***
* Iswandi Usman lahir di Matang Panyang, Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, 5 Februari 1981. Sehari-hari bekerja sebagai guru di SD Negeri 8 Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara.