Tuan Banta meloncat ke arah anak muda kita. Beberapa kali dia melayangkan tinju, tak ada yang menemui tubuh anak muda kita itu. Sementara seluruh Bandit Sepuluh Penjuru tercengang, tidak mampu mengangkat kakinya dan tangan mereka pun mampu tak dikepal. Mereka hanya melihat Tuan Banta dihajar berkali-kali oleh anak muda kita hingga tersuruk-suruk.Ambruk.
Anak muda kita ini, saudara, adalah muda dagang. Ia merantau ke segenap tempat demi menuntut ilmu agama dan ilmu bela diri. Dia kumpulkan segenap pengetahuan demi memudahkan perjalanannya berdagang. Sebab pada masa silam itu, kejahatan merajalela di segenap penjuru. Ia pagari tubuhnya dengan mantra-mantra putih. Mantra hitam tidak mungkin ia amalkan, sebab ia muda dagang.
Dari segenap guru, dia sudah menguasai segenap ilmu. Maka tak heran manakala ia memukul Tuan Banta yang kejam itu, bisa saja ia tak perlu memeras keringat sedikit pun. Namun untuk memberi pelajaran lebih kepada para bandit, anak muda kita bergerak juga. Sekadar menunjukkan betapa ia lihai dalam bersilat dan tajam pukulannya. Beberapa kali dilepaskan tinju dan sepak ke badan dan muka sang kepala bandit. Rubuhlah Tuan Banta. Anak muda kita mendekati bandit-bandit yang cekang tertanam kaki, dan tak mampu melakukan apa pun lagi. Dia tampar masing-masing sekali. Mereka hilang pijakan. Kecutlah jiwa bandit sekalian.
Sekian waktu kabar itu hilang di pasar. Sehingga tiba-tiba pada suatu malam juga masih di masa silam seorang bandit bertubuh daun bambu datang ke arena Pasar Malam di Neusu. Sebagai bagian dari bandit sepuluh penjuru kehadirannya membuat orang-orang melipir jauh. Si tubuh daun bambu mencari-cari anak muda kita. Dia datang sendirian seperti hendak melunaskan dendam. Sehingga tibalah dia di hadapan sebuah kios kecil yang menjual obat-obatan kampung. Di sanalah anak muda kita sendirian bekerja saban akhir pekan.
“Penjual obat kau rupanya!” ujar si tubuh daun bambu seperti menyindir.
“Sudah sembuh sakit pipimu?” anak muda kita tak mau dikalahkan gertakannya.
“Aku sudah lumayan. Beberapa temanku sudah hilang ingatan. Kau memukul mereka di saraf sadar. Bukan main tenaga dalammu, anak muda!” dia semacam melapor atau mengeluh.
“Makanya jangan macam-macam dengan orang barat-selatan. Jika mereka marah, bisa gembung perutmu sebab diguna-guna. Tak perlu kusebutkan sudah berapa orang menjadi gila setelah kuhajar dengan tangan kiri. Tapi perlu kau tahu, seminggu yang lalu di sini seorang lelaki setegap Tuan Banta kalian itu, menghembuskan nafas terakhir,” bual anak muda kita demi menakut-nakuti bandit bertubuh daun bambu.
“Sebab apa? Mengapa?” tanya si tubuh daun bambu. Raut wajahnya mulai pias.
“Dia mengganggu gadis-gadis yang melintas di sini. Hilang sabar, kutampar dia pakai tangan kanan. Jatuh tubuhnya, terkelepar seperti ayam dipotong leher di hari meugang. Hanya satu jam..”
“Lalu? Lalu?”
“Mampus dia. Di sini. Tepat di tempat kamu berdiri,” tunjuk anak muda kita. Si tubuh daun bambu tersenyum bercampur takjub berbaur takut. Sesedikit kakinya bergerak, pindah dari tempat semula berdiri.
Bandit itu duduk di bangku pembeli tanpa disuruh oleh anak muda kita. Wajahnya seperti risau hendak bertanya atau menyampaikan sesuatu yang sangat penting.
“Kau mau obat apa?” tanya anak muda kita. Sang bandit terkesiap.
“Obat apa saja yang ada?”