Cerpen

Asal Mula Kabar Mantra Kampung Barat Selatan

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karya Nazar Shah Alam

TERNYATA seperti ini ceritanya, saudara-saudara!

Konon, pada suatu hari di masa silam, beberapa hari sebelum masuk bulan Ramadhan, seorang pemuda dari Barat-Selatan yang sudah sekian waktu merantau ke Bandaceh disasar sepuluh orang preman.Entah dari penjuru mana saja mereka. Seperti yang pernah kita saksikan di film-film kebanyakan, sepuluh bandit melingkari seorang anak muda. Dan anak muda kita memandang mereka dengan tatapan tegas tanpa mengiba.

“Siapa kalian?” tanya anak muda kita.

“Kami Pasukan Bandit Sepuluh Penjuru!” ucap lelaki berbadan daun bambu.

“Apa mau kalian?” tanya anak muda kita.

“Mencabut nyawamu!” ujar seorang bandit yang mengikat kepalanya dengan selendang ungu.

“Salahku apa? Kita tidak punya urusan apa-apa,” kata anak muda kita.

“Salahmu? Kau masih bertanya? Apa yang sudah kauberi pada Halimah sehingga dia begitu tergila-gila padamu? Kau beri pengasih?” tegas bandit yang mulutnya dibuat seperti sedang memakan sirih.

“Pengasih lembu adalah rumput, pengasih perempuan adalah tutur yang lembut. Tidak perlu kalian menuduh yang tidak pernah kalian tahu kebenarannya.” Anak muda kita berusaha mendinginkan suasana.

“Celaka, Tuan Banta. Dia mencoba mengajari kita,” ketus bandit berwajah apa adanya.

Tuan Banta adalah kepala Bandit Sepuluh Penjuru. Dari tadi dia hanya berdiri tegap seperti singa yang hendak menerkam musuh. Telinganya panas setelah mendengar ocehan salah seorang anak buahnya. Dia maju selangkah, anak muda kita mundur setapak. Mulut Tuan Banta menyengir, seperti melecehkan. Anak muda kita siaga hendak mengambil ancang-ancang.

“Halimah itu tunanganku. Setelah bertemu kamu, dia seperti hilang ingatan. Tarik mantra-mantra pengasihanmu atau nyawamu kami tanggalkan!” Tuan Banta mengancam dengan suara ditekan di bawah geraham.

“Demi Dzat yang menciptakan Adam dan Hawa, tidak saya berikan pengasih apa-apa untuknya. Kecuali itu, saya hanya memberi kasih sayang selayaknya lelaki sejati terhadap perempuan. Jika kemudian dia memilih saya daripada Tuan, barangkali sebab dengan saya dia lebih lebih merasa senang.”

“Bangsat!”

Tuan Banta meloncat ke arah anak muda kita. Beberapa kali dia melayangkan tinju, tak ada yang menemui tubuh anak muda kita itu. Sementara seluruh Bandit Sepuluh Penjuru tercengang, tidak mampu mengangkat kakinya dan tangan mereka pun mampu tak dikepal. Mereka hanya melihat Tuan Banta dihajar berkali-kali oleh anak muda kita hingga tersuruk-suruk.Ambruk.

Anak muda kita ini, saudara, adalah muda dagang. Ia merantau ke segenap tempat demi menuntut ilmu agama dan ilmu bela diri. Dia kumpulkan segenap pengetahuan demi memudahkan perjalanannya berdagang. Sebab pada masa silam itu, kejahatan merajalela di segenap penjuru. Ia pagari tubuhnya dengan mantra-mantra putih. Mantra hitam tidak mungkin ia amalkan, sebab ia muda dagang.

Dari segenap guru, dia sudah menguasai segenap ilmu. Maka tak heran manakala ia memukul Tuan Banta yang kejam itu, bisa saja ia tak perlu memeras keringat sedikit pun. Namun untuk memberi pelajaran lebih kepada para bandit, anak muda kita bergerak juga. Sekadar menunjukkan betapa ia lihai dalam bersilat dan tajam pukulannya. Beberapa kali dilepaskan tinju dan sepak ke badan dan muka sang kepala bandit. Rubuhlah Tuan Banta. Anak muda kita mendekati bandit-bandit yang cekang tertanam kaki, dan tak mampu melakukan apa pun lagi. Dia tampar masing-masing sekali. Mereka hilang pijakan. Kecutlah jiwa bandit sekalian.

Sekian waktu kabar itu hilang di pasar. Sehingga tiba-tiba pada suatu malam juga masih di masa silam seorang bandit bertubuh daun bambu datang ke arena Pasar Malam di Neusu. Sebagai bagian dari bandit sepuluh penjuru kehadirannya membuat orang-orang melipir jauh. Si tubuh daun bambu mencari-cari anak muda kita. Dia datang sendirian seperti hendak melunaskan dendam. Sehingga tibalah dia di hadapan sebuah kios kecil yang menjual obat-obatan kampung. Di sanalah anak muda kita sendirian bekerja saban akhir pekan.

“Penjual obat kau rupanya!” ujar si tubuh daun bambu seperti menyindir.

“Sudah sembuh sakit pipimu?” anak muda kita tak mau dikalahkan gertakannya.

“Aku sudah lumayan. Beberapa temanku sudah hilang ingatan. Kau memukul mereka di saraf sadar. Bukan main tenaga dalammu, anak muda!” dia semacam melapor atau mengeluh.

“Makanya jangan macam-macam dengan orang barat-selatan. Jika mereka marah, bisa gembung perutmu sebab diguna-guna. Tak perlu kusebutkan sudah berapa orang menjadi gila setelah kuhajar dengan tangan kiri. Tapi perlu kau tahu, seminggu yang lalu di sini seorang lelaki setegap Tuan Banta kalian itu, menghembuskan nafas terakhir,” bual anak muda kita demi menakut-nakuti bandit bertubuh daun bambu.

“Sebab apa? Mengapa?” tanya si tubuh daun bambu. Raut wajahnya mulai pias.

“Dia mengganggu gadis-gadis yang melintas di sini. Hilang sabar, kutampar dia pakai tangan kanan. Jatuh tubuhnya, terkelepar seperti ayam dipotong leher di hari meugang. Hanya satu jam..”

“Lalu? Lalu?”

“Mampus dia. Di sini. Tepat di tempat kamu berdiri,” tunjuk anak muda kita. Si tubuh daun bambu tersenyum bercampur takjub berbaur takut. Sesedikit kakinya bergerak, pindah dari tempat semula berdiri.

Bandit itu duduk di bangku pembeli tanpa disuruh oleh anak muda kita. Wajahnya seperti risau hendak bertanya atau menyampaikan sesuatu yang sangat penting.

“Kau mau obat apa?” tanya anak muda kita. Sang bandit terkesiap.

“Obat apa saja yang ada?”

“Kau luka apa?”

“Luka hati ditinggalkan kekasih durjana, Tuan!” adunya.

Anak muda kita bangkit dari tempat duduknya menuju si tubuh daun bambu. Dia melihat kiri kanan untuk memastikan keadaan.

“Kau mau mantra pengasihan atau mau balas dendam?”

Pertanyaan anak muda kita disambut dengan binar oleh bandit merana.

“Dua-duanya!” ujar bandit tak sabar.

“Shalat Subuh di tujuh masjid berbeda, berzikirlah, lalu baca: Allahu ya Rahman, Allahu ya Rahim, Allahu ya Karim. Asyhaduanlailahaillah. Niscaya sakit hatimu terhadap orang lain akan terobati dan jodohmu didekatkan. Jika ingin balas dendam, cukup membaca: brok bak ukeu brok bak pucok, Allah nyang jok balasan hamba. Tujuh kali setiap selesai sembahyang!” ujar anak muda kita mengajarkan.

“Baiklah. Terima kasih, Tuan!” ucap bandit bertubuh daun bambu itu sembari menggenggamkan uang beberapa ribu. “Saya boleh membeli obat sakit dalam perut beberapa botol?”

“Tentu saja. Pilih sendiri di sana. Itu obat sudah kumantrai, sembuh hanya dengan sekali usap asal tidak lupa ibadat,” ujar anak muda kita dengan ramah.

***

Sepuluh tahun kemudian setelah pertemuan terakhir dengan bandit bertubuh daun bambu, anak muda kita diundang ke penjuru timur. Di salah satu kampung ia dapati sebuah gubuk tua yang oleh warga di sana dilarang ia mendekatinya. Anak muda kita berkeras. Dia mendekat. Seorang gadis muda mendekatinya.

“Hei, Pengelana. Ini gubuk dukun sakti. Dia dari penjuru barat, berguru di selatan, ilmunya mampu membunuhmu sampai jarak angin bertiup!”

Anak muda kita memasuki pekarangan gubuk itu. Seorang lelaki tua berpakaian hitam keluar.

“Sudah kuduga Tuan akan datang. Silakan masuk!” ucap lelaki itu.

“Berapa orang sudah kau bunuh?”

“Tuan tidak perlu menduga sesuatu yang belum tentu benar adanya. Masuklah dulu!” ajak lelaki itu dengan pandangan bersahabat. Anak muda kita mengikuti ajakannya.

Di dalam gubuk, seorang perempuan tua keluar membawa air dalam cangkir kayu.

“Ini istri saya, Tuan. Mantra yang Tuan ajarkan tidak begitu bereaksi. Akhirnya saya rebut dia dengan cara kasar. Saya hajar lelaki yang merebut dia dulu, lalu saya bawa lari dia ke kampung ini. Saat sampai di sini, ada seorang pemabuk mengganggunya. Saya baca mantra yang Tuan berikan. Hanya dengan sekali dua pukulan, dia jatuh sampai meninggal. Setelah itu, orang-orang melihat saya penuh ketakutan!” kisah lelaki tua itu.

“Lalu?”

“Sebab saya tidak terbiasa berkebun, sedangkan di sini lahannya menuntut saya berkebun, saya mulai berpikir. Bagaimana caranya agar tetap bertahan hidup tanpa harus berkebun,” dia menarik nafas panjang. “Lalu terbesitlah dalam benak saya untuk menceritakan perihal kesaktian orang-orang selatan di warung-warung atau tempat-tempat persuaan.”

“Untuk apa kau ceritakan itu? Tidak semua orang Barat-Selatan sakti mandraguna, bagaimana kau meyakinkan mereka?” Tanya anak muda kita.

“Untuk memudahkanku menghidupi keluarga kecil kami ini. Aku menjual obat selatan dan dengan ilmu sedikit kuobati anak-anak kecil yang sakit. Orang-orang dewasa hanya kutakut-takuti agar tidak bejat. Meyakinkan mereka? Gampang sekali. Saya suruh mereka ke tempat Tuan di Bandaceh jika tidak percaya kekuatan orang Barat-Selatan. Saya ceritakan pada mereka bagaimana Tuan telah membuat orang menjadi gila dengan tamparan tangan kiri, serta membuat mati dengan tinju tangan kanan. Saya katakan pada mereka agar tidak macam-macam dengan orang Barat-Selatan, sebab mereka berbahaya. Ya, persis seperti yang Tuan katakan pada saya,” jelas lelaki itu.

Pikiran anak muda kita berkitar ke masa silam, manakala ia membual di hadapan kedai obat kampung pada suatu malam celaka yang membuat kabar dusta itu menjalar ke seluruh penjuru timur dan utara. Benar, beberapa waktu kemudian kedainya ramai diserbu orang berobat, sehingga ia kewalahan dan mendapat banyak sekali pemasukan. Orang-orang yang datang tidak hanya berobat, tapi juga berguru silat. Bila orang-orang itu bertanya tentang kesaktiannya, anak muda kita masih sering bercanda bual, “Makanya jangan macam-macam dengan orang Barat-Selatan. Jika mereka marah, kamu bisa gembung perutmu sebab diguna-guna. Tak perlu kusebutkan sudah berapa orang menjadi gila setelah kuhajar dengan tangan kiri. Tapi perlu kau tahu, seminggu yang lalu di sini seorang lelaki setegap Tuan Banta kepala bandit sepuluh penjuru itu, menghembuskan nafas terakhir!”

Alue Naga, Mei 2015

* Nazar Shah Alam, bergiat di Komunitas Jeuneurob. Lahir di Kuta Bakdrien 5 September 1989.

Berita Terkini