Cerpen

Pawang Nu

Editor: bakri
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Karya Ida Fitri

LANGIT berubah gelap. Perahu kecil nelayan itu menari-nari di tengah gelombang. Hujan mengguyur deras, pertir menyambar. Pawang Nu menggigit bibirnya kuat-kuat. Ombak setinggi 4 meter tak lelah menghantam lambung perahu, kemudian mempermainkannya seperti buih saja. Tanpa belas kasih, tanpa rasa bersalah. Malam itu laut mengajak Pawang Nu, pawang ikan terbaik di Mongkeulayu menarikan tarian kematian. Ia harus berebut kuasa dengan El Maut.

Terdengar bunyi krikk! Sepertinya tiang-tiang layar hendak menyerah. Pawang Nu berpikir keras. Ia harus membuat pilihan. Bibir pantai sangat jauh, jika mengambil keputusan yang salah ia akan berakhir di lautan. Apa kata orang kampung, jika mereka mendengar pawang terbaik mati di laut? Itu tidak boleh terjadi.

Pawang Nu mendekati tali pengikat layar. Kemudian membuka simpul-simpulnya satu demi satu. Layarnya kini tergulung sempurna. Ia telah memutuskan untuk berlayar tanpa layar. Petir masih menyambar, angin bertiup semakin keras. Kapal kecil itu berputar-putar tanpa arah. Dan sebuah tiang layar jatuh menimpa lelaki tersebut.

***

Sudah dua hari nelayan Mongkeulayu selalu pulang dengan tangan hampa. Tak ada ikan yang bisa mereka bawa pulang. Laut tak mau bersahabat dengan mereka. Bulan Desember merupakan bulan terkutuk untuk para nelayan. Ombak setinggi dua meter lebih menjadi momok yang menakutkan mereka. Belum lagi angin kencang dan hujan yang turun tak menentu.

Juragan Ramli berteriak mengamuk di kedai kopi pinggir pantai. Tempat yang biasanya dikunjungi para nelayan sehabis melaut. “Keparat semua! Kalian hanya bisa menghabiskan uangku.”

“Tenang Juragan, ini bulan Desember. Bukan salah awak kapal tak bisa menangkap ikan,” jawab Mantri Hasan, seorang cerdik pandai guru madrasah desa. “Benar, salahkan saja laut yang menggila,” ujar yang lainnya. “Alah kalian saja yang tidak punya keahlian.”

“Apa? Barusan kau bilang apa?” tanya seorang lelaki berbaju kaos biru bangun dari mejanya menuju ke depan Juragan Ramli.

“Nelayan Mongkelayu tak punya keterampilan!” sahut juragan dengan nada tinggi.

“Diam kau! Aku …” lelaki berkaos biru menepuk-nepuk dadanya, “Pawang Nu besok akan membawa pulang kakap-kakap merah laut Mongkelayu. Camkan itu.”

Ucapan sang pawang disambut tepuk tangan nelayan lain yang ada di warung kopi tersebut. Mereka tidak meragukan kemampuan Pawang Nu. Lelaki tersebut tidak pernah pulang dengan tangan hampa. Ikan-ikan seakan berlomba untuk masuk perangkap yang dipasang di perahu kecilnya. Tidak hanya sampai di situ, ikan besar juga berlomba memakan umpan yang dipasang di mata kailnya.

Pernah suatu kali beberapa warga datang ke rumahnya untuk meminta hapalan pengasih ikan. Lelaki empat puluh tahun itu hanya tertawa menanggapi permintaan warga yang umumnya bermata pencarian sebagai nelayan itu. “Tidak ada mantra atau hapalan,” jawabnya pada waktu itu. Tapi warga tidak percaya pada pengakuan lelaki itu. Mereka tetap menganggap Pawang Nu punya doa pemanggil ikan atau apalah istilahnya.

Warga dengan cepat mendengar jika Pawang Nu akan melaut untuk membawa pulang kakap-kakap merah laut Mongkeulayu. Burung menyampaikan kabar tersebut dari satu rumah ke rumah lainnya. Jika di bulan lain itu biasa saja tapi ini di Bulan Desember.

Hingga malam itu, saat Pawang Nu akan pergi melaut. Lelaki, perempuan dan anak-anak mengantar kepergian lelakinya. Ia menjadi ikon perlawanan para nelayan terhadap Juragan Ramli yang notabene pemilik perahu bermesin di desa tersebut. Pemilik modal dianggap lebih berkuasa. Tapi para nelayan merasa memiliki harga diri sebagai pekerjaan yang diwarisi turun temurun. Dan Pawang Nu dengan ketrampilannya bisa menaikkan citra kaum nelayan.

Seperti biasanya ia melaut dengan menggunakan perahu tradisional yang mengandalkan angin dan bintang sebagai penunjuk jalan. Nelayan sepertinya harus melaut pada malam hari. Pada malam hari angin darat akan berhembus dan membawa perahu layarnya menuju lautan.

***

Pawang Nu membuka matanya perlahan. Kepalanya masih nyeri dan matanya agak berkunang. Tapi cahaya cerah matahari membuat penglihatannya semakin baik. Bunyi air yang menghantan pinggiran perahu menyadarkannya kalau ia berada di tengah laut.

Cepat ia bangun dan mengingat apa yang telah terjadi. Perahunya diamuk badai. Sebuah benda keras menghantam bagian belakang kepalanya. Sudah berapa lamakah ia tidak sadarkan diri? Dan di laut mana saat ini ia berada?

Matahari di atas sana menantang garang arah depannya. Itu menunjukkan arah timur. Kalau ingin pulang ia harus menuju arah selatan. Suhu di laut cenderung lebih dingin pada siang hari. Dan angin akan bertiup dari laut ke darat. Inilah saatnya untuk pulang. Lelaki itu mulai bangkit dan memasang kembali layar perahu. Setelah semuanya beres, angin mulai membawa perahu menuju selatan, masalah baru muncul.

Ia sudah berjanji untuk membawa pulang kakap merah pada Juragan Ramli. Tapi badai memupus semua harapan. Dan suatu kejaiban Tuhan ia masih hidup, perahunya tidak hancur saat ia tidak sadarkan diri.

Pawang Nu tak pernah pulang dengan tangan kosong. Kemana hendak diletakkan wajahnya kalau kali ini pulang dengan tanga hampa? Ia tidak mampu menanggung rasa malu karena kalah dengan badai.

Setelah merenung beberapa lama, lelaki itu mengambil belati dari ikat pinggangnya, kemudian mulai mengerat wajahnya pelan-pelan. Setelah semuanya selesai ia ambil sebuah jarum jahit yang disediakan istrinya untuk menambal layar yang robek atau membetulkan alat perangkap ikan.

Pelan-pelan ia mulai menjahit wajahnya ke layar perahu dengan bergelantungan pada tiang-tiang layar. Setelah semuanya selesai ia tersenyum puas. Kini wajahnya sudah berpindah tempat ke layar perahu. Nanti saat ditanya ia tinggal menjawab. “Aku tak tahu kemana perginya ikan-ikan itu. Wajahku sibuk menatap langit yang begitu indah.”

* Ida Fitri, lahir di Bireuen 25 Agustus. Sekarang menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat di Puskesmas Aceh Timur.

Berita Terkini