Karya M. Joenoes Joesoef
PADA suatu pagi di bulan Februari 2015, ketika udara masih sejuk, sesosok laki-laki tua menapaki jalan raya Setui, lalu berbelok ke jalan yang dikenalnya sebagai Jalan Panti Asuhan. Dia baru berhenti melangkah, setelah sampai di sebuah jembatan. Di situ dia berdiri termangu. Dia menatap nanap ke arah sana. Ke arah Lamlagang. Setelah hampir enam dasawarsa hidup di rantau, laki-laki tua itu tak berani membayangkan, seperti apa keadaan di sana sekarang. Yang masih melekat dalam ingatannya, di Lamlagang itu dulu ada sebuah rumah besar, bagus, selalu rapi dan bersih. Yang juga masih melekat dalam ingatannya, di situ berdiamlah Jamilah, Cut Jamilah Azhari, gadis tinggi langsing, cantik tak terperi. Dan, amboi, Nuswar Jusharsyah, laki-laki tua itu, lalu terhanyut dalam sebuah kenangan panjang.
***
Nuswar bertemu Jamilah, karena sesama anggota ISMU (Ikatan Seniman Muda). Sebagian besar anggota ISMU adalah mudawan putra-putri. Ada yang sudah bekerja, ada yang baru menamatkan SLA atau masih di SLA. Nuswar sendiri sudah tamat STM, lalu jadi capeg, “Calon pegawai” di PLN. Status unik, yang baru bisa berubah kalau ada pegawai pensiun, meninggal dunia atau dipecat. “Capek betul rasanya jadi capeg ini,” begitu dia sering bergurau.
Jamilah, siswi kelas akhir SGKP, Sekolah Guru Kepandaian Putri, berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Teuku Azhari Raja Angkasa, selain hakim berwibawa, adalah juga keturunan bangsawan terhormat dan kaya raya. Dan demi menjaga martabat keturunannya itu, beliau teguh melestarikan dan melaksanakan nilai-nilai kekeluargaan yang luhur dan anggun. Itulah sebabnya, kegiatan Jamilah “berseni-seni” itu termasuk hal yang tak beliau setujui, apalagi restui. Bagi beliau, kegiatan itu adalah kegiatan “mengobral diri” yang sungguh tak pantas dilakukan orang dari golongan mereka. Untunglah ibunya punya pandangan yang berbeda. Dalam batas-batas tertentu, beliau mendukung kiprah Jamilah. Dan beliau pun jadi sukarelawan yang menyediakan diri sebagai bantalan penyangga untuk meredam murka dan rasa tak senang Teuku Azhari Raja Angkasa, bila sekali waktu nyaris tak terkendali.
Pemikiran ayahnya itu sering membuat Jamilah merasa terasing dan tertekan di rumah sendiri. Merasa terbelenggu. Merasa terterungku. Gerak-geriknya dibatasi. Ini tak boleh, itu tak pantas. Untung betul dia sudah bergabung dengan ISMU, sehingga dia punya tempat pelarian yang dapat diandalkan. Di tengah komunitasnya ini, dia merasa bebas, sangat bebas. Bagaikan burung, dia leluasa sekali mengepakkan sayap. Kalau pun masih ada yang mengganjal dalam kalbu, dia dapat curhat kepada sesama anggota komunitas, sehingga larutlah segalanya, menjadikan hidup ini jadi lebih cerah dan berseri-seri. Dan Nuswar yang paling sering jadi tempat dia curhat. Dan dia tak salah pilih. Nuswar selalu mengguyurnya dengan rasa sejuk dan nyaman yang melimpah ruah. Maka musnahlah segala ganjalan, keluh kesah, rasa tak jenjam dan entah rasa apalagi. Berganti dengan sikap yang sanggup menahan diri, tak serta merta marah, sedih atau menangis, jika sedang berhadapan dengan orang yang cenderung berbuat semena-mena terhadap dirinya, dalam hal ini ayahnya sendiri. Alih-alih berpikir dan bereaksi negatif, dia malah mencoba mengerti, mengapa dia diperlakukan seperti itu. Dia coba selalu berdamai dengan dirinya sendiri. “Damai, damailah hati. Dimana-mana kita memang sendiri,” demikian mantera yang diajarkan Nuswar, menghadapi kesuntukan yang amat sangat.
Di komunitas ISMU, keakraban Nuswar dengan Jamilah tentu tampak kasat mata. Dan lahirlah aneka macam bisik dan tafsir. Tetapi mereka yang kenal baik Nuswar, paham sekali, keakraban di antara dua anak manusia itu tidak melintasi batas persahabatan belaka. Nuswar sadar betul, dimana dia berada dan dimana pula Jamilah berada. Apa yang selama ini dijadikan bahan curhat oleh Jamilah, makin menebalkan kesadarannya itu. Sungguh gila dia kalau mau coba-coba main api, karena tahu betul, dia semata yang akan terbakar nanti. Maka amatlah dia jaga, supaya keterhubungannya dengan Jamilah selalu berada dalam batas-batas yang wajar dan semestinya. Tetapi, apa yang diketahuinya tentang perkembangan perasaan Jamilah terhadap dirinya? Tak sedikit pun. Sampai Jamilah mengisyaratkannya sendiri.
Ketika itu ISMU mementaskan “Awal dan Mira”, karya Utuy Tatang Sontani, Nuswar dan Jamilah jadi pemeran utama, sebagai Awal dan Mira. Ini bukan pertama kali mereka berpasangan di pentas. Seperti dalam “Dr Kambudja”, drama Trisno Sumardjo. Nuswar menjadi Dr Kambudja, sementara Jamilah menjadi Satyawati. Pementasan “Awal dan Mira” itu kemudian mengilhami Nuswar memberi nama pentas Mila Satyawati kepada Jamilah. Hadiah yang diterima Jamilah dengan sangat antusias. Menyandang nama itu, dia merasa terbebas dari tekanan ayahnya, yang secara terang-terangan bilang, amat risih membaca nama “Cut Jamilah Azhari” terpampang di spanduk atau brosur pertunjukan. Rasanya seperti membaca iklan barang-barang yang dijual obral. Sekarang, nama Cut Jamilah Azhari tak akan muncul lagi, digantikan Mila Satyawati.
Pada sebuah adegan digambarkan Awal hendak pergi meninggalkan Mira, dengan maksud bunuh diri. Sertamerta Mira pun bilang, “Kalau kau bunuh diri, aku pun bunuh diri!”
“Mengapa!?” tanya Awal.
“Karena aku cinta kepadamu! Cinta dengan segenap hati nuraniku!” jawab Mira.
Nuswar dapat merasakan, betapa menyentuh dan dramatisnya adegan itu. Lebih-lebih kalau menyimak ekspresi Jamilah dan tekanan kata-katanya saat mengucapkan dialognya. Terasa begitu pekat dia menghayati adegan itu.
Bukan hanya Nuswar yang terkesan dengan laku Jamilah. Ahmad Kacong, salah seorang senior ISMU, yang menyutradarai pementasan itu, ikut terkesan juga. “Belum pernah kusaksikan si Milah bermain begitu ekspresif, Nuswar. Begitu penuh dia menghayati perannya sebagai Mira itu. Kalau kuingat, dia itu masih murid SGKP, sukar kubayangkan, dia bisa seperti itu. Aku jadi curiga, Nuswar, jangan-jangan apa yang dia ucapkan itu bukanlah sekadar dialog antara Mira dengan Awal, tetapi sepenuhnya pernyataan Jamilah kepada Nuswar, he-he-he!”
“Janganlah bilang begitu, Bang! Awak kira, itu hasil akting sepenuhnya Jamilah sebagai Mira. Bukankah Abang sendiri yang pernah bilang, Jamilah itu besar bakatnya dalam seni peran. Mudah dia menghayati, lalu masuk ke dalam peran yang sedang dilakoninya. Kemudian diejawantahkannya dalam akting.”
“Betul itu! Tetapi sepenuh apa pun penghayatan seseorang itu, masih dapat dilihat bedanya dengan apa yang dilakukannya karena gerak hati. Paling sedikit, itulah yang kulihat pada si Milah saat dia mengucapkan dialognya itu.”
“Mengapa pula Abang nampak memaksa?”
“Aku tak memaksa. Aku hanya mau ingatkan kau, Nuswar, supaya tak kau abaikan isyarat itu. Kau yang akan rugi nanti, he-he-he!”
“Bang, awak kira, awak ini termasuk orang yang tahu dirilah!”
“Apa pula urusannya dengan soal tahu diri itu!?”
“Abang kan dapat melihat sendiri, awak ini siapa, Jamilah itu siapa.”
“Astaghfirullah! Mengapa pula anak ini! Di zaman begini, masih saja berpikir seperti itu. Hei, Nuswar, ihwal membeda-bedakan manusia itu sekarang sudah tidak ada lagi. Sudah hambus itu ke laut! Sekarang ini sudah tak ada perbedaan antara sesama manusia. Semua manusia itu sama!”
“Mungkin begitu, Bang. Tetapi kalau yang berkenaan dengan Jamilah, maksud awak keluarganya, lainlah halnya. Kalau saja Abang tahu apa yang terus menerus dikeluhkan Jamilah kepada awak, akan lainlah rasanya pendapat Abang.”
“Kalau sejauh itu, tak tahulah aku urusannya. Aku hanya coba sadarkan kau, supaya tak kau sia-siakan kesempatan. Janganlah sekali-kali punai yang sudah di tangan, kau lepaskan. Bodoh itu namanya, he-he-he!”
Adakalanya serasa terbakar juga Nuswar dengan provokasi Ahmad Kacong itu. Mau jugalah dia coba lebih dekatkan diri kepada Jamilah dan bersambut rasa. Tetapi setiap kali perasaan itu muncul, setiap kali pula bayangan Teuku Azhari Raja Angkasa mencogok di hadapannya, memelototkan mata, memilin misai. Langsung menguncuplah semangat Nuswar.
***
Suatu Ketika, orangtuanya mendesak dengan sangat supaya Nuswar lanjutkan pendidikannya dulu, ketimbang jadi capeg yang nasibnya tidak jelas. Makciknya di Jakarta siap jadi sponsor. Maka November 1960 dia pun berangkat ke ibu kota, dengan penuh semangat dan harapan. Tetapi nasib mengharuskannya menempuh lebuh yang tak dibayangkannya semula. Di tengah perjalanan studinya, makciknya kehabisan kekuatan untuk membantu. Maka dia dihadapkan pada pilihan berat: Pulang sebagai orang yang gagal atau lanjutkan studi dengan swadaya. Dia pilih lanjutkan studi. Artinya, dia harus usahakan sumber penghasilan sendiri. Artinya lagi, dia harus punya pekerjaan atau usaha yang mapan. Dan itu tidak mudah. Di ibu kota, perjuangan hidup betul-betul sudah mendekati batas perjuangan antara hidup dan mati. Larut dalam suasana seperti itu, dengan sendirinya tak ada lagi cerita lanjutan antara dirinya dengan Jamilah.
***
Dan berlalulah tahun-tahun dengan cepatnya. Tak mau ingkari panggilan alam, Nuswar pun menikah. Lalu punya anak. Lalu punya cucu. Tetapi, melalui kawan-kawannya yang tetap bermukim di Banda Aceh, dia masih bisa dengar-dengar kabar tentang Jamilah. Maka tahulah dia, beberapa tahun setelah mengajar, Jamilah masuk jurusan Tarbiyah di Ar Raniry, sehingga karirnya makin berkembang. Tetapi ada satu hal yang sangat pasti: Jamilah tidak pernah menikah.
Dan kini, Jamilah pun telah tiada. Pada 2010 Allah memanggilnya. Tetapi Jamilah tak akan pernah tiada dalam kenangan Nuswar. Jamilah bagaikan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Mereka memang tak dipersatukan oleh takdir. Mereka harus menjalani hidup sendiri-sendiri. Damai, damailah hati. Dimana-mana kita memang sendiri.
* M. Joenoes Joesoef, lahir di Ulee Lheu, 24 Juni 1938. Sekarang berdiam di Bekasi. Pensiunan yang menulis untuk cegah pikun dini