Karya Awaludin Arifin
Seingatku, orang gila itu sudah lima hari di desa ini. Tidak ada yang tahu asal muasalnya. Orang desa ini tidak satu pun yang mengenalnya. Ada kabar angin mengatakan, ia dititipkan oleh seseorang yang juga tidak dikenal di depan kantor kecamatan. Saat itu orang-orang tidak curiga, sebab dia dititipkan dalam keadaan berpakaian layaknya orang waras.
Versi lain mengatakan, pada malam minggu empat hari yang lalu sebuah mobil mini bus berwarna hitam berhenti di persimpangan berseberangan dengankantor kecamatan, seorang pria berambut ikal turun dari mobil tersebut, ketika itu,malam belum begitu larut.Warga pun tak mencurigainya. Sedangkan mobil tersebut langsung beranjak pergi setelah menyapa dengan membunyikan klakson pada kerumunan orang.
Setelah kedatangan orang gila itu, warga desa pun kian ramai membicarakannya. Ada yang merasa empati dan iba kepadanya, ada juga yang tidak peduli dan enggan untuk menugurnya. “Paling kalau ditegur cuma cengengesan, kalau diajak bicara diam, ya namanya juga orang gila,” ledek seorang warga
Lima hari keberadaannya di desa ini, pakaiannya semakin kusam, rambut ikalnya tampak kusut dan runyam, celananya koyak tak karuan, giginya berkaratan serta alas kaki yang dikenakannya cuma sebelah itupun ia kenakan terbalik. Ciri-ciri tersebut semakin meyakinkan warga desa kami bahwa dia orang “gila”. Tidak satu gadis desa pun yang melirik padanya berharap untuk dirayu. Padahal ia memiliki paras yang lumayan tampan.
Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia pria yang bersahaja dan kulit putihnya menunjukkan bahwa awalnya ia bukan kelas pekerja keras, tinggi badannya pun sangat cocok untuk sekelas pemain bola basket. Itu semua kupastikan pada saat awal mula aku melihatnya secara tidak sengaja di halte depan kantor camat. Sebagai kepala desa aku harus mengamati setiap warga yang datang ke desa ini. Sekali lagi, pada saat itu, aku tidak menduga bahwa dia adalah orang “gila”. Atau mungkin hingga sampai saat ini. Kukira ketika itu ia adalah orang asing yang memiliki urusan dengan pihak kecamatan dan menunggu kendaraan umum untuk pulang ke tempat aslinya dan hal seperti itu lumrah terjadi.
Di pagi hari ia berjalan sejauh ia mampu melangkah, bahkan sebelum azan subuh ia telah bejalan empat hingga lima kilometer dari tempat tidurnya, sebuah halte kantor kecamatan. Dengan beberapa benda yang ia gantungkan di bahunya untuk dibawa ke satu tempat yang juga tidak ada satu warga yang mengetahuinya.
“Namanya juga orang gila, mana kita tahu yang dibawanya,” kata salah seorang jamah salat subuh.
Di siang hari ia kembali lagi ke desa kami dengan pakaian yang sama dan tampak lebih kusam, baunya pun kian menyengat, lalat berterbangan mengerumuninya. Untuk sesaat ia berdiri di depan sebuah warung nasi. Dari gelagatnya jelas bahwa ia meminta makan. Dengan sigap Kak Nah, pemilik warung, memberikannya sebungkus nasi tanpa lauk. Kak Nah tidak ingin ia berlama-lama di warungnya karena akan mengganggu ketentraman pelanggannya.
Dari semua ciri-ciri itu semakin meyakinkan warga desa kami bahwa dia orang gila. Tapi, tidak dengan aku.
***
Pukul empat pagi, rumahku ramai dikerumuni belasan warga. Hampir semuanya anak-anak muda dan remaja tanggung. Tentu, ini bukanlah hal biasa, pasti ada hal yang luar biasa terjadi di desa ini, pikirku sebelum kubuka pintu. Kucoba untuk menenangi massa yang telah berkerumun.
Nada-nada suara emosi warga membuat kupingku tidak begitu mendengar dengan jelas apa yang dipertanyakan kepadaku. Wajah mereka diliputi ketegangan dan mennunjukkan amarah, dan itu semakin membuatku tidak nyaman.
“Hajar dia!”
“Bakar dia!”
“Usir!”
Kondisi ini membuat aku takut. Aku takut tidak mampu mengendalikan massa yang kian beringas. Siapa yang mau dibakar?Siapa yang seharusnya diusir?Dan.. dan... si gila itu kini ada di dalam genggaman massa yang marah. Tangan-tangan pemuda itu dengan leluasa menjabak rambut ikalnya, menarik baju kusutnya, mengambil mukanya untuk kemudian dijotos, dan seterusnya. Bahkan seorang pemuda, anak Usop, hendak menyiram orang gila itu dengan sebotol minyak bensin. Seketika kutarik si gila dari pemuda itu agar ia tak terus menjadi mangsa keberingasan massa.
Tidak tahu pasti berapa kali tubuhnya sudah menerima pukulan dari warga, kalau saja satu warga menghantamnya satu kali, maka ada belasan hantaman yang bersarang di tubuhnya. Tapi, aku tidak melihatnya kesakitan atau bahkan terpancar aura balas dendam dari raut mukanya. Ia tetap tersenyum, walau kedua belah matanya sudah lembam.Kupastikan kelopak mata sebelah kanannya tidak dapat dibuka karena sudah bengkak besar, bibirnya pecah-pecah, pipinya lembam, keningnya terdapat benjolan seperti gumpalan daging, hidungnya tak henti mengalirkan darah.Semua itu pasti akibat ulah para pemuda tanggung yang menghakiminya. Nyaris aku tidak mengenalnya. Hanya senyuman itu, yang membuat aku mengenalnya. Kudekap ia erat. Aku berharap jika ada warga yang hendak menghakiminya lagi, kubiarkan tubuh ini yang menanggunya.
Setelah kupastikan dia aman bersamaku, kuminta warga tenang dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kubiarkan mereka berbicara.
Dengan nada berapi-api, si gila dituduh telah mencuri sapi warga dengan bukti-bukti yang akurat menurut mereka. Tuduhan-demi tuduhan terus dilontarkan kepadanya, ada yang menuduhnya mencuri ayam warga, buang air besar di pelataran rumah mereka, dan sebagainya. Apa yang membuat aku habis pikir, seorang pemuda mengatakan bahwa si gila telah merayu pacarnya.
Aneh, gumamku dalam hati. Dengan naluri kemanusiaanku yang mungkin jauh lebih sehat ketimbang mereka kucoba untuk mencerna dan merenungi apa yang dilakukan mereka kepada si gila. Bagaimana mungkin orang gila melakukan semua itu. Bukankah itu semua pekerjaan mereka yang waras.
Setelah semuanya berjalan selama hampir satu jam,warga berangsur-angsur meninggalkan rumahku, dengan perasaan hati yang sangat beragam, ada yang merasa kecewa mengapa aku tidak mengambil sikap membakarnya seperti yang mereka harapkan Ada juga yang menganggap aku kepala desa gila, karena membela orang gila. Kini, si gila tengah dalam perawatan istri dan anakku untuk kemudian dirujuk ke puskemas.
Sikap warga kepadanya telah menunjukkan sisi gelap manusia. Mengapa selama ini si gila dijauhi karena bau hanyir dari aroma tubuhnya, tapi karena tuduhan itu mereka dengan leluasa mendekatinya, bahkan tak berjarak satu sentipun.
***
Setelah kejadian itu, si gila pun kian ramai diperbincangkan oleh warga, belum pun pulih luka-luka yang dialaminya, kini ia harus menerima kenyataan pahit yang mungkin sangat sulit untuk bertahan hidup bagi kita orang waras. Mobil angkutan umum dan juga mobil-mobil warga kini menjelang siang hari tidak lagi melintasi halte depan kantor kecamatan karena ada “orang gila”, pegawai-pegawai kecamatan yang dulunya masuk pintu gerbang kantor melalui pintu depan, kini harus melewati pintu belakang.Begitu juga dengan Pak Camat.Anak-anak pergi sekolah tidak lagi melintasi jalan itu, mereka harus berputar dari jalur lainnya. Hanya beberapa anak-anak bandel yang berani melewatinya seraya mengganggunya, mengancamnya dengan kayu, melemparinya dengan kerikil dan ketika “orang gila” itu bangun anak-anak bandel itu lari berhamburan dan tertawa terbahak sambil berteriak “gila, gila, gila...”. Padahal si “gila” cuma tersenyum, persis pada saat pertama kali aku melihatnya di halte itu
Berbagai desakan datang dari warga agar aku menitipkan si gila ke pantai sosial, rumah sakit jiwa atau mengusirnya dari desa ini. Persis seperti yang dilakukan oleh orang yang membawanya ke desa ini. Tapi, mengapa harus aku? Mereka juga bisa melakukannya, lagipula untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa tidak membutuhkan rekomendasi dari kepala desa.
Entahlah, hal ini semakin memperkuat argumenku bahwa bukan dia yang gila. Aku rasa mereka telah kehilangan akal sehatnya, mereka tidak lagi menggunakan potensi pikirannya dengan cermat. Memang kenyataannya mereka sama sekali tidak menggunakannya.
***
Pagi ini tidak seperti biasanya, tumpukkan sampah sisa-sisa makanan ringan, sampah-sampah rumah tangga bertaburan di sekeliling kantor camat. Tidak terkecuali di halte penantian kendaraan umum itu. Sejak kepergian si gila, warga desa ini telah berani beraktifitas kembali di setiap tempat, tanpa perlu merasa khawatir dengan kehadiran lelaki gila itu. Hal buruknya adalah sampah-sampah sisa makanan warga, siswa, dan pegawai bertumpukan dan berserakan di mana
Tidak tahu pasti kapan si gila itu menghilang dari desa ini, dan tidak satu warga pun yang membicarakannya. Seakan sudah direncanakan demikian rahasianya oleh warga, atau mungkin orang gila itu sadar bahwa dia harus pergi.
Sebulan setelah kepergiannya, lima ekor sapi warga hilang, lebih dari sembilan ekor kambing jantan tetanggaku juga tidak kunjung pulang sudah hampir seminggu.Sampah-sampah bertaburan tak terkendali, bau-bau menyengat dari tumpukan sampahmemasuki rumah warga. “Mana dia si gila?” Teriak warga.
Krueng Geukuh, 08 -09 - 2015
* Awaludin Arifin, Staff Pengajar Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe.