Oleh T.A. Sakti dan Muhammad Nur Hasballah
SEBAGAI masyarakat Aceh, kita merasa sedih dan gamang membaca berita “20 Mahasiswa Aceh di Jogja `Diusir’ dari Asrama” (Serambi, 20/5/2016). Sedih karena mahasiswa Aceh diusir dari asrama yang sudah ditempatinya selama puluhan tahun. Gamang, kita bertanya-tanya sudah sejauh mana upaya pemerintah Aceh dalam menangani kasus ini. Sewaktu gugatan muncul tahun lalu, pemerintah Aceh sudah berjanji untuk melawan sang penyerobot itu. Kasus gugatan terhadap asrama mahasiswa Aceh “Meuligoe Sultan Iskandar Muda” ini sudah mencuat sekitar 10 bulan lalu (Serambi, 1-2/7/2015).
Yogyakarta adalah ibukota Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki satu keistimewaannya, yaitu gubernurnya harus keturunan Sultan Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Walaupun keistimewaannya hanya masalah gubernur, tapi banyak keistimewaan yang dapat kita saksikan di kota ini, di antaranya bidang pendidikan, sesuai dengan gelar yang disandangnya sebagai kota pendidikan.
Akibat terkenal sebagai kota pendidikan, maka tidak heran bila kota ini diramaikan oleh pelajar dan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Hampir setiap provinsi, paling kurang mempunyai satu asrama pelajar dan mahasiswa di Yogyakarta. Suatu keistimewaan bagi provinsi Aceh, yang memiliki lima asrama di kota ini. Keunggulan Aceh ini terkait erat dengan sejarah perang kemerdekaan RI 1945-1949.
Setelah terdesak, karena hampir semua wilayah Indonesia sudah dikuasai Belanda kembali, Presiden Soekarno memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Yogyakarta. Gedung Agung, yang masih lestari hingga sekarang dijadikan sebagai Istana Presiden RI. Aceh sebagai wilayah satu-satunya yang tak dapat diduduki kembali oleh Belanda, dengan setia terus mendampingi RI dalam perang kemerdekaan itu. Karena itulah sejumlah pemimpin dan tokoh Aceh sering berkunjung dan berada di ibu kota negara Yogyakarta.
Saat itu, pemerintah RI pun memberikan beberapa rumah kepada para pemimpin dan tokoh Aceh. Setelah perang kemerdekaan RI berakhir pada 1949, rumah tokoh-tokoh Aceh itu dijadikan sebagai asrama pelajar dan mahasiswa asal Aceh. Misalnya, rumah yang ditempati Tgk Muhammad Daud Beureueh sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), menjadi Asrama Aceh Meurapi Dua.
Lima asrama Aceh
Itulah sebabnya asrama Aceh di Yogyakarta sampai berjumlah lima, karena rumah-rumah pejabat Aceh berubah fungsinya menjadi asrama pelajar mahasiswa Aceh, yaitu: Asrama Meurapi Dua, Jl Sunaryo No.2 Yogyakarta, Asrama Putri Cuk Nyak Dhien, Jl Kartini No.1a Sagan, Yogyakarta, Asrama Meuligoe Iskandar Muda (dulu bernama Asrama Taman Sultan Iskandar Muda) Jl Poncowinatan No.6 Yogyakarta, Asrama Sabena Jl Taman Siswa No.11a Yogyakarta, dan Asrama Kebon Dalem, Jl Mangkubumi, Yogyakarta.
Kelima asrama Aceh itu berada dalam koordinasi Taman Pelajar Aceh (TPA) Yogyakarta. Dapat ditambahkan, sampai saat ini asrama Meurapi Dua Yogyakarta berdampingan letaknya dengan asrama mahasiswa Sulawesi Selatan. Semula bangunan itu adalah rumah Andi Mattalata, seorang petinggi militer RI asal Sulawesi Selatan. Menyaksikan Tgk Daud Beureueh menyerahkan rumahnya untuk asrama mahasiswa Aceh, maka kemudian Andi Mattalata pun berbuat demikian.
Di sekitar dan sepanjang Jalan Sunaryo, Yogyakarta pada masa revolusi kemerdekaan RI banyak ditempati para petinggi RI. Di seberang jalan asrama Meurapi Dua adalah rumah kediaman Jenderal Sudirman. Sampai 1988, setiap Lebaran Idul Fitri beberapa mahasiswa Aceh selalu berkunjung ke rumah Buk Jenderal Sudirman, hingga kemudian beliau pindah ke Timoho, di selatan kota. Masih di Jalan Sunaryo No.8, dulu juga terdapat satu asrama mahasiswa Aceh, tapi kemudian dibeli oleh lembaga pemerintah.
Puluhan tahun waktu sudah berlalu, asrama-asrama Aceh di Yogyakarta dengan aman-damai ditempati para pelajar dan mahasiswa asal Aceh. Bagi mahasiswi dan pelajar putri tersedia Asrama Putri Cut Nyak Dhien, sedangkan bagi laki-laki dapat memilih di antara empat asrama putra yang ada. Alumni dari asrama-asrama TPA pun terus bertambah dari tahun ke tahun. Mereka hidup berkarya berkarya di berbagai profesi baik sebagai pegawai negeri atau pun karyawan swasta. Para alumni lepasan TPA Yogyakarta ini ada yang terus menetap di Yogyakarta, pulang ke Aceh, bekerja di berbagai provinsi di Indonesia, bahkan di luar negeri. Di antara mereka pernah menjadi anggota DPR RI, gubernur, rektor baik di Jakarta, Yogyakarta dan Aceh.
Begitulah keadaan aman dan nyaman terus berlangsung berpuluh-puluh tahun. Sewaktu saya (T.A. Sakti) mondok selama 14 bulan (1987-1988) di asrama Aceh Meurapi Dua, saat itu kondisi asrama masih tetap aman dan nyaman. Saya sempat menyaksikan beberapa tokoh Aceh, tokoh Yogyakarta atau tokoh Nasional menjenguk kami. Mereka adalah para mantan penghuni asrama Aceh. Jadi, hingga saat itu solidaritas masih kuat. Hanya kadang-kadang terdengar desakan pengurusan sertifikat asrama guna mencegah gugatan pihak luar. Tapi tampaknya usulan pengurusan sertifikat itu tak pernah dilaksanakan sampai tuntas.
Perlu diketahui bahwa letak beberapa petak tanah asrama Aceh cukup strategis untuk bidang bisnis, karena berada di pusat kota Yogyakarta yang terus berkembang. Asrama Kebon Dalem, Asrama Taman Sultan Iskandar Muda, dan Asrama Meurapi Dua merupakan petak-petak tanah yang amat tinggi harganya, karena berlokasi di pusat kota.
Ketika itu, para alumni TPA generasi pertama, kedua dan ketiga cukup banyak. Mereka memiliki solidaritas kuat atau amat kompak. Profil mereka dikenal luas, karena besar peranannya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Jadi, tak ada pihak yang berani mengusik keberadaan asrama-asrama Aceh saat itu.
Seiring berlalunya waktu, kekompakan antara alumni TPA dengan penghuni asrama-asarama Aceh semakin menipis. Faktor penyebabnya banyak. Tokoh-tokoh alumni TPA generasi terdahulu semakin hari terus berkurang, baik karena meninggal dunia atau akibat keuzuran mereka, sehingga menghilang dalam pergaulan. Para mahasiswa penghuni asrama Aceh sudah jarang berkunjung ke rumah-rumah sesepuh Aceh. Sebaliknya, para alumni juga semakin langka menjenguk (jak saweue) para mahasiswa ke asrama. Maka runtuhlah kekompakan itu.
Semakin berani
Kondisi demikian, sudah lama dinanti-nantikan oleh pihak yang mengincar tanah-tanah asrama Aceh yang amat strategis. Sejak itu, mereka mulai memainkan aksi untuk menggugat kepemilikan tanah-tanah asrama Aceh satu demi satu. Sasaran pertama yang hendak disabot adalah asrama Kebon Dalem di Jalan Mangkubumi, Yogyakarta. Ternyata gugatan mereka yang pertama berhasil mulus pada 1989.
Akibat tindakan pertama berhasil, maka mereka semakin berani. Seterusnya, mereka melanjutkan gugatan kedua pada 2013. Sasarannya adalah asrama Aceh Meuligoe Iskandar Muda di Jalan Poncowinatan No.6 Yogyakarta. Karena belum berhasil, entah bagaimana prosesnya, gugatan yang dulu diajukan oleh Inawati asal Solo, sekarang beralih kepada Sutan Suryajaya (Serambi, 1-2/7/2015).
Kami yang pernah tinggal di satu asrama Aceh di Yogyakarta, merasa amat prihatin membaca berita-berita Serambi itu. Sebab saya sendiri (Muhammad Nur Hasballah alias dengan nama khas asrama Meurapi Dua: Tgk Sabi), pernah terlibat langsung dalam kasus serupa. Pada 1989, asrama mahasiswa Aceh Kebon Dalem yang terletak di Jalan Mangkubumi, telah menjadi milik orang setelah kalah di PN Yogyakarta. Saat itu, T Dasrul Dewa Saputra sebagai Ketua TPA, begitu gigih berjuang mempertahankan Asrama Kebun Dalem. Namun tetap mengalami kekalahan, walaupun dibela oleh pengacara senior T Marhaban Zainun SH (tokoh Aceh di Yogyakarta).
Pada saat dilaksanakan eksekusi keputusan pengadilan, kami penghuni asrama Aceh Meurapi Dua, Jalan Sunaryo No.2 Yogyakarta, ikut bergotong-royong membantu mengeluarkan barang-barang milik warga asrama Kebon Dalem, seperti lemari pakaian, meja belajar, tempat tidur, kasus-bantal dan alat-alat dapur lainnya, lalu diangkut ke aula Asrama Putri Tjut Nyak Dhien, Jl Kartini No.1A Sagan Yogyakarta.
Apa yang telah menimpa asrama Kebon Dalem, saya berharap dan berdoa mudah-mudahan tidak dialami asrama Meuligoe Iskandar Muda Poncowinatan, Yogyakarta. Tragedi asrama Aceh Kebon Dalem amat memalukan kami para mahasiswa Aceh di Yogyakarta, sekaligus menciutkan martabat rakyat dan pemda Aceh. Keberadaan TPA di Yogyakarta amat mempengaruhi kesuksesan pendidikan bagi putra-putri Aceh. Kini wibawa dan kharisma TPA turun drastis, sehingga miliknya berani digugat orang.
Oleh sebab itu, kekuatan perlu dipadukan kembali untuk melawan pihak-pihak yang hendak merampas satu per satu asrama mahasiswa Aceh di Yogyakarta. Pemerintah Aceh mesti bertekad bulat untuk melawan gugatan itu. Kekuatan perlu digalang, dan semangat harus ditajamkan. Mudah-mudahan upaya hukum melawan Sutan Suryajaya yang dibela pengacara kelas kakap, memberi kemenangan mutlak bagi rakyat Aceh. Semoga!
T.A. Sakti (Drs. Teuku Abdullah, SH, MA), mantan penghuni asrama Aceh “Meurapi Dua”, Yogyakarta, Email: t.abdullahsakti@gmail.com dan Muhammad Nur Hasballah, wiraswasta dan alumni asrama Aceh “Meurapi Dua”, Yogyakarta, Email: muhammadhasballah@gmail.com
Nasib Asrama Mahasiswa Aceh di Yogyakarta
Editor: hasyim
AA
Text Sizes
Medium
Large
Larger