Karya Farizal Sikumbang
Jika hari menjelang petang, anak-anak kampung Cot Jeumpa yang berusia belasan tahun sering menemukan dia di balik batu karang sambil memegang pancingan. Dia akan betah di sana memancing ikan di laut sampai Magrib menjelang. Segerombolan anak-anak kampung itu sering pula menemaninya di sana jika mereka tak lagi bermain sepakbola. Sambil menunggu ikan memakan umpan di pancingnya, laki-laki itu selalu membuat anak-anak tergelak dengan gurauannya atau setidaknya memberikan kata-kata serupa nasihat. Terkadang, jika dia memiliki uang lebih anak-anak akan disuruhnya membeli makanan ringan dan mereka lalu membuat pesta kecil di tepi pantai itu.
“Tadi pagi, guru sekolah melemparku dengan penghapus papan tulis karena aku menggoda teman sebangku, Abu,” ujar Ibrahim. Dia anak laki-laki yang baru duduk di bangku kelas dua SMP. “Jika Abu gurunya. Kau akan Abu suruh ke depan dan membaca lima ayat pendek. Jika tak bisa pantatmu akan Abu lecut hingga bernanah, ha ha,” ujar laki-laki itu sambil tertawa ringan dan matanya terus memandang ke arah luasnya laut.
“Tapi Abu, mana bisa sekarang. Guru yang mengasari muridnya bisa-bisa masuk penjara, Abu,” si Jufri yang berbadan kurus dan berbadan pendek itu menyahut. Jufri sekarang sudah duduk di bangku SMA kelas satu. Wawasannya mungkin agak lebih luas daripada teman-temannya.
Laki-laki tua itu terdiam. Ia mangut-mangut. Itu memang benar adanya. Beberapa bulan yang lewat dia sudah membaca di koran yang terbit di daerahnya tentang guru yang berurusan dengan pihak kepolisian karena memukul seorang murid. Dia lalu mengangguk-anggukkan kepalanya, “Kau benar. Kau benar,” katanya kemudian. Lalu tersenyum pendek sambil menepuk-nepuk dengan pelan punggung anak itu.
Segerombolan anak-anak kampung yang berjumlah delapan orang itu terus bercanda bersama. Suara tawa mereka terkadang mengalahkan deru ombak. Batu-batu kecil sesekali mereka lempar jauh ke arah burung-burung elang laut yang sedang terbang rendah. Dan dia tidak merasa terganggu oleh ulah anak-anak itu. Dia merasa senang karena kesepian hatinya akan hilang.Tiba-tiba dia merasa seekor ikan memakan umpan pancingannya. Dia menariknya, benar saja, seekor ikan gerapu sebesar telapak tangan menggelepar-gelepar. Dia kewalahan menarik ikan itu dengan tangan kanannya. Tangan kiri laki-laki itu sudah buntung sampai ke siku. Segerombolan anak-anak itu melompat cepat ke arahnya. Mereka membantunya menarik ikan itu.
“Cepat kita bantu Abu.”
“Abu ikannya besar.”
“Hore, hore.”
“Abu kita berhasil.”
“Ya, ya,” balasnya tersenyum kepada anak-anak kampung itu.
“Besar Abu,” timpal si kecil berkulit hitam.
Dia biarkaan anak-anak itu melepaskan ikan dari pancingnya. Dia memang agak kewalahan jika melepaskan ikan itu dari mata kailnya. Maklum, hanya tangan kanannya yang dapat dia harapkan untuk bekerja. Sedangkan tangan kirinya buntung sampai ke siku. Dia telah menceritakan kepada anak-anak itu bahwa buntungnya tangan kirinya akibat Tsunami 26 Desember sebagai penyebabnya. Dia menceritakan peristiwa itu begitu memukau. Persis seperti tukang cerita yang handal. Anak-anak kampung itu begitu terpesona, takjub dan diakhir cerita membuat mereka murung.
Dia menceritakan bagaimana dirinya mati-matian melawan ombak besar. Bagaimana menahan sakit ketika tubuh dihantam benda-benda keras ke tubuh. Tapi tidak semua anak-anak meyakini cerita itu sebagai sebuah kebenaran. Beberapa dari orang tua mereka yang selamat dari bencana tsunami memberikan cerita versi lain. Kata orang tua mereka, buntungnya tanngannya itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Jauh sebelum tsunami melanda kampung itu. Tapi anak-anak yang tahu tak mau berdebat dengannya. Mungkin mereka tak ingin laki-laki itu tersinggung hati, atau mereka kasihan karena hidupnya seorang diri.
“Abu, kita panggang saja malam nanti bagaimana?”
“Ya.”
“Kita lempar lagi pancing abu,”
“Ya, lemparkan. Biar dapat yang lebih besar.”
Dan menjelang magrib mereka pulang. Hanya satu ikan yang dia tenteng pulang. Hari ini mungkin bukan hari keberuntungannya. Di atas kepala mereka langit agak sedikit gelap. Perlahan suara azan magrib mulai terdengar dari meunasah kampung Cot Jeumpa. Dalam perjalanan pulang anak-anak mengikutinya dari belakang. Dan anak-anak yang mengikuti dari belakang itu selalu memperhatikan ayunan tangannnya yang tak seimbang. Ada yang pincang karena tangan kirinya buntung. Angin laut mulai agak kencang bertiup.
Dan dia tahu anak-anak itu memperhatikan tangannya itu. Dia tidak marah. Dia tetap melemparkan senyum pada mereka. Tetapi di dalam hatinya, setiap anak-anak memperhatikan tangannya itu, rasa sedih muncul selalu. Dan kenangan itu, kenangan tahun 1955 itu seperti mata pisau yang mengiris sikunya yang buntung. Terasa pedih di hati.
Pada masa itu usianya sekitar enam tahun. Kampung-kampung masih disesaki semak-semak belukar. Belanda sudah angkat kaki dari tanah leluhurnya beberapa tahun yang lalu. Namun keamanan tidak pernah ada. Perlawanan orang kampung kali ini pada pemerintah Jakarta.
Suatu hari sebuah truk tentara yang membawa drum-drum minyak melintasi Cot Pulot. Pawang Leman seorang pimpinan tentara Darul Islam bersama beberapa anak buahnya menghadang truk militer itu. Mereka menembakinya membabi buta. Diakhir cerita truk itu terbakar. Semua prajurit Batalyon B anak buah Kolonel Simbolon dan anggota Batalyon 142 dari Sumatera Barat anak buah Mayor Sjuib ikut tewas. Lalu begitu cepat kabar itu sampai ke kampungnya. Dia ingat dengan langkah tergopoh-gopoh kakak laki-lakinya memberitahukan berita itupada Abinya.
“Benar Abi, Pawang Leman dan pasukannya telah menghancurkan tentara Pancasila. Bagaimana ini Abi. Kampung kita nanti pasti akan digeledah.”
Ada raut kecemasan di wajah Abinya.
“Tidak apa-apa anak-anakku. Kita tidak terlibat dalam kasus ini. Lagian di kampung kitakan tidak ada yang bergabung dengan pasukan Darul Islam.”
“Tapi Abi.”
“Sssst. Diamlah. Pergi tidur sana,” kata Abinya seperti menghalau mereka ke kamar tidur.
Di dalam kamar mata kakaknya menatapnya dengan tajam. Ada kecemasan yang berputar-putar di sana. Selebihnya dari tatapan mata itu dia ingat ibunya yang telah meninggal dua tahun yang silam karena penyakit kolera.
Esoknya ia kembali mendengar kabar dari kakak laki-lakinya itu.
“Abi, Tentara Pancasila telah menembaki para petani Cot Pulot.”
“Dari mana kau dapat kabar, Ibrahim?”
“Dari Teungku Mudin.”
“Lebih sepuluh orang mati ditembak, Abi.”
Lalu ketakutan melanda seisi kampung. Dan begitu saja kampung mereka dipenuhi oleh orang-orang berwajah takut dan murung.
Sampai hari ini dia masih begitu jelas membayangkan wajah ketakutan Abinya itu. Dan dia juga masih begitu terang benderang mengenang wajah pucat kakak laki-lakinya yang berusia dua puluh tahun saat itu.
Malam harinya mereka sekeluarga tidak bisa tidur. Mungkin juga keluarga-keluarga lainnya di kampung itu. Tindakan penembakan terhadap warga yang tidak berdosa membekas di kepala setiap orang. Termasuk juga pada dirinya.
Ketakutan itu berbuah pada pagi harinya. Di saat kantuk masih menekuk, samar-samar dia dengar suara keributan di luar. Dan berapa detik kemudian terdengar pintu depannya ditendang dari luar. Suaranya berdebum menyentakkan jantung. Beberapa orang berpakaian tentara menyeret Abinya keluar rumah. Dia hanya sekejap dapat melihat sosok Abinya. Ketika dia mengejar Abinya seorang tentara menghadangnya.
“Ayo ikut kamu.” Tentara itu menyeretnya ke luar rumah. Diantara kesakitan dia masih dapat melihat beberapa orang yang juga diseret kearah pantai.
Benar saja, sesampai di pantai dia lihat puluhan orang sudah dibariskan. Dia lihat kakaknya menatapnya dengan pucat. Kepalan Abinya dan beberapa orang kampong Cot Jeumpa ditodong senjata laras panjang.
“Kalian tidak bisa memberitahu di mana tentara Darul Islam!” bentak seorang tentara.
Dia ingat kala itu tidak ada yang bersuara. Tak ada yang menjawab tanya tentara itu, yang terdengaar hanya suara ombak.
Lalu terdengar suara letusan senjata yang menyalak, dan berulang-ulang yang diiring suara rintihan. Dia merasakan sebuah benda menghantan siku tangannya. Sakitnya sungguh tak terkira. Lalu dia tak ingat apa-apa. Semua terasa gelap dan pekat.
Dia tersadar dan telah berada di salah seorang rumah warga. Perempuan tua yang tinggal di ujung kampung merawat lukanya. Luka itu semakin hari semakin menyakitkan. Bahkan telah bernanah. Dalam kesakitan dia pendam pedih atas kematian Abi dan kakaknya.
Satu bulan kemudian seorang dokter membawanya ke Kutaraja. Dia tidak tahu nama dan wajah dokter itu. Yang dia tahu tangannya terpaksa diamputasi sampai ke siku. Dalam kepedihan dia jalani hidup seorang diri. Sampai kini, dia tetaplah seorang diri. Menghuni rumah baru bantuan korban tsunami.
Kini, jika suatu hari kalian datang ke kampung itu. Kalian juga akan menemukannya di sore hari dibalik batu karang di pantai itu sambil memancing ikan dengan sebelah tangan. Seperti hari ini. Dan kalian juga akan mendapatkan segerombolan anak-anak berusia belasan tahun bersamanya. Itu jika anak-anak itu tidak bermain sepakbola.
Banda Aceh, 20016
* Farizal Sikumbang, lahir di Padang. Guru SMA 2 Seulimeum, Aceh Besar.